“Jelegarrrrr”,
Tiba-tiba suara petir yang begitu keras membangunkan tidurku. Aku merasa kaget dan duduk terdiam dengan dentuman jantung yang seolah berdetak laksana dentuman genderang perang di atas bukit Badar. Istrikupun yang tidur di sebelahku terbangun dan bertanya heran atas apa yang telah terjadi. Akupun meyakinkan istriku bahwa tidak terjadi apa-apa, lalu aku mengajak kembali istriku untuk tidur lagi. Akupun kembali membaringkan tubuhku dan ku rangkul istriku dalam dekapanku agar dia tidak merasakan kedinginan akibat hujan yang begitu deras.
Tapi, aku tidak bisa kembali memejamkan kedua mataku, mataku tertuju pada langit-langit kamarku yang seolah sedang menayangkan segala alur cerita dalam mimpiku tadi. Mimpi yang baru saja ku alami tidak hanya malam ini, tapi mimpi ini telahh adir menghiasi tidurku selama tiga malam berturut-turut. Apa sebenarnya isyarat dari mimpiku itu.
Aku bermimpi bahwa almarhum ayah ku mendatangiku dan memberikan tiga wasiat yang begitu aneh, pertama dia mengatakan bahwa ketika aku nanti pergi ke tempat kerjaku akan ada seorang pengemis yang berbaju merah dan bertopi jerami yang meminta uang padaku, maka aku harus memberikannya sebagai bentuk rasa syukur atas rezeki yang ku terima, lalu dia mengatakan bahwa akan ada orang yang menyerahkan cincin bermata batu giok yang berwarna biru milik ayah yang di kembalikan kepadaku dan aku harus menerimanya, sementara wasiat yang terakhir adalah wasiat yang sangat membuatku takut dan merasa cemas, dia mengatakan bahwa dua bulan lagi istriku akan melahirkan akan tetapi antara anak dan istriku akan ada yang meninggal dan aku harus menerima dengan ikhlas segala ketetapan Tuhan yang di berikan kepadaku, dan terakhir ayahu mengatakan bahwa mimpi ini akan benara-benar menjadi kenyataan.
Sungguh, aku tidak percaya dengan segala apa yang di ucapkan ayahku di mimpi itu, aku yakin itu hanya mimpi belaka yang hanya menghiasi tidurku saja, meskipun itu terjadi secara berturut-turut. Ketika aku mulai melupakan mimpiku itu, tiba-tiba aku teringat kisah yang di sampaikan ustadz M. Nur ketika membahas kitab Ar-ruh karangan Ibnu Qayyim Al Jauziyyah, ketika pengajian mingguan di lingkungan perumahanku, bahwa pada kitab itu di sebutkan kisah dua sahabat yakni Sha’ab bin Jutsamah dan Auf bin Malik. Kisah itu menerangkan tentang mimpi Auf bin malik yang bertemu dengan sahabatnya Sha’ab yang lebih dahulu meninggal dunia. Di dalam mimpinya itu, Sha’ab memberikan wasiat bahwa dia mempunyai utang kepada seorag Yahudi dan menyuruh Auf bin Malik untuk membayarkannya dengan Uang yang tersimpan di busur panah yang tergantung di dalam rumahnya, kemudian dia mengatakan bahwa kucing peliharaan keluarganya telah mati beberapa hari yang lalu dan yang terakhir Auf bin Malik di suruh untuk berbuat baik terhadap putri Sha’ab karena beberapa bulan lagi dia akan meninggal dunia. Awalnya Auf bin Malik tidak percaya dengan hal tersebut, akan tetapi karena terdorong rasa penasarannya maka ia tergerak hatinya untuk membuktikannya, dan ternyata apa yang dikatakan oleh Sha’b adalah benar. Lebih jauh Ustadz M. Nur menjelaskan bahwa roh orang-orang yang hidup dan yang sudah meninggal dapat saling bertemu kala tidur, lalu mereka saling bertanya. Kemudian Allah menahan roh orang yang sudah meninggal dan mengembalikan roh orang-orang yang masih hidup ke jasadnya.
Aku jadi berfikir, apakah mimpiku sama dengan yang di alami Auf bin Malik, di mana roh ku telah bertemu dengan roh ayah ku, apakah mimpiku adalah isyarat yang benar-benar akan menjadi kenyataan. Ah,, mana mungkin orang sekelas Auf bin Malik yang mempunyai derajat ibadah yang sangat tinggi sama dengan ku yang hanya orang biasa. Suara gema adzan Subuh yang menghempaskan kensunyian malam dan mengiringi kehadiran fajar menyadarkan aku dari segala lamunanku, Akupun membangunkan istriku untuk bergegas menyambut panggilan suci dari Tuhan yang tidak pernah tidur itu untuk segera Shalat.
Pagi ini mentari begitu cerah, tiba saatnya aku malaksanakan kewajibanku sebagai seorang suami untuk mencari nafkah bagi keluargaku. Dengan baju kemeja putih berdasi panjang hitam yang begitu rapih karena telah di setrika istriku tercinta aku segera mengendarai sepeda motorku untuk berangkat ke kantor. Di tengah perjalanan aku terhenti karena trafik light yang sedang merah, tiba-tiba dari sampin g kiriku ada seorang pengemis yang menghampiriku dengan menyodorkan wadah yang berisi uang receh lima ratus rupiah sebanyak tiga buah. Akupun mengambil uang dari saku celana kananku untuk segera mengisi wadah yang masih kosong itu, tapi ketika kepalaku menoleh tertuju pada pengemis itu aku langsung terpaku kaget, dia adalah pengemis yang mengenakan baju merah bertopi jerami. Bayanganku langsung tertuju pada mimpi yang telah ku alami tadi malam. Dia benar-benar mirip dengan orang yang di sebutkan ayahu. Batinku langsung berspekulasi bahwa wasiat kedua dan ketiga juga akan menjadi kenyataan. Tidak, aku tidak mau wasiat yang ketiga itu terwujud. “tidiiiiid,,tidiiiiiid,,tidiiiiiid,,, suara kelakson dari belakang menyadarkan aku dari lamunanku. Akupun kembali melanjutkan perjalananku ke kantorku, selama perjalanan aku masih memikirkan hal yang telah terjadi di lampu merah tadi. Hal itu tetap menjadi beban fikiranku hingga aku kembali pulang dari pekerjaanku. Aku masih merasa hawatir, bahwa segala wasiat ayahku dalam mimpi benar-benar akan menjadi kenyataan.
Aku rebahkan badanku di sofa ruang tengah rumahku, aku merasa lelah setelah seharian bekerja, dan juga merasa lelah memikirkan hal-hal yang belum tentu akan terjadi. Istriku tercinta datang menghampiriku dengan senyum yang mempesona berbalut busana yang begitu menawan membawa secangkir teh hangat yang di pegang hati-hati oleh kedua tangannya. Wangi harum tubuhnya berbaur dengan keharuman teh wangi yang telah di buatkan istriku. Melihat istriku itu, rasa lelahku hilang, setelah istriku menyimpan teh buatannya di meja, akupun langsung memegang tangan istriku dan menariknya untuk duduk di pangkuanku. Aku menciumi keningnya dan membisikan kata-kata romantis untuknya. Istriku seditikt tertawa manja sedikit kegelian.
Tiba-tiba bel rumahku berbunyi dan menghentikan cumbuan kami, istrikupun langsung menuju pintu rumah dan membukakan pintu untuk tamuku yang datang. Istriku mempersilahkan tamu itu untuk masuk, akan tetapi dia tidak menerima twaran itu, alasannya kaarena sangat terburu-buru dan hanya ingin bertemu sebentar dengan ku, istrikupun memanggilku untuk segera menemui tamuku itu. Aku segera menghampirinya dan membujuknya untuk duduk sebentar walaupun hanya untuk minum, tapi dia tetap menolak dengan ramah. Tiba-tiba dia memberikan sebuah kotak yang trbuat dari kayu, dia pun berkata bahwa isi dari kotak itu adalah benda milik ayahku dan bermaksud untuk mengembalikannya padaku. Aku merasa heran, aku tidak mengenal dia tapi dia seolah mengenalku dan memberikan benda yang katanya adalah milik ayah. Tanpa rasa curiga akupun menerima pemberiannya itu, dan dia pun lantas permisi untuk segera pergi.
Setelah aku menutup pintu rumahku, tiba-tiba fikiranku melayang pada mimpi tadi malam. “jangan-jangan ini adalah cincin yang di sebutkan ayah ku”, hatiku bergumam. Aku jadi merasa semakin hawatir, bagaiman jika ini benar, berarti wasiat yang ketigapun benar-benar akan terjadi. Aku segera menuju sofa dan duduk untuk segera membukanya. Alangkah terkejutnya diriku, isi Dallam kotak kaayu itu adalah cincin yang bermata batu giok biru. Tiba-tiba kehawatiranku merubah sekelilingku menjadi terasa gelap gulita. Bayanganku tertuju pada istriku yang sedang hamil tua, ketakutanku pun semakin menjadi-menjadi. Hatiku terus bergumam, “apakah wasiat ketiga akan benar-benar terjadi”. Secara tidak sadar aku meletakan sepuluh jariku ke wajahku dan mengusap-ngusapnya seraya berdo’a supaya tidak terjadi apa-apa pada istri ataupun anak yang sedang di kandungnya.
“ada apa abi” ucap istriku yang tidak kusadari tiba-tiba dia duduk di sampingku. “apa yang telah terjadi” lanjut istriku dengan mengusap-ngusapkan tanganya dengan begitu lembut ke punggungku.
“tidak ada apa-apa sayang” ucapku dengan memasang wajah yang seolah tidak ada beban dalam fikiranku.
“yaudah sekarang abi mandi dulu sana, umi udah menyiapkan air hangat untuk abi mandi” ucap istriku dengan senyuman yang memancarkan pesona kecantikannya. “setelah mandi kita Shalat Isya berjamaah dan kita istirahat”, tambah istriku.
Dua bulan telah berjalan, selama itu pula kehawatiranku selalu menghantui ku, keseharianku selalu di bayang-bayang kegelisahan, aku takut apa yang akan terjadi antara istri dan anak pertamaku yang sedang di kandungya. Setiap Do’a yang ku ucapkan setelah shalat, aku selalu mengharapkan keselamatan untuk mereka berdua, aku tidak ingin terjadi apa-apa. Aku ingin mereka selamat.
Tiba-tiba istriku berteriak kesakitan dari dapur ketika ia sedang menyiapkan makan malam bagiku, akupun menjaid kaget atas apa yang sedang terjadi. Akupun segera menghampirinya, ku temui istriku sedang berbaring merintih kesakitan, aku segara mengengkatnya menuju tempat tidur, aku yakin ini adalah pertanda bahwa istriku akan segera melahirkan. Aku segera menelepon Bu Heni, Bidan yang kebetulan tidak jauh dari rumahku, sesaat kemudian Bu Heni pun datang di temani suaminya dengan segala perlengkapan untuk proses kelahiran. Perasaan ku begitu bahagia, tapi juga berdebar karena merasa khawatir dengan kondisi istriku yang sedang merintih kesakitan.
Aku menunggu di tengah rumah di temani suami Bu Heni sambil berdo’a mengharapkan keselamatan untuk istri dan anaku, tiba-tiba Bu Heni keluar dari kamar dan menghampiriku, dia mengatakan bahwa bayi yang di kandung istriku sangat sulit untuk di keluarkan, dia menyarankanku untuk membawanya ke Rumah Sakit untuk di sesar. Akupun kaget dengan tawarannya itu. “ sesar”, satu katu yang selalu menjadi momok bagi setiap orang, termasuk diriku saat ini.
Bu Heni meyakinkanku bahwa tidak ada cara lain lagi, dan aku harus segera bergegas membawa istriku, dengan menggunakan mobil Bu Heni, kami pun segera mambawa istriku ke Rumah Sakit. Setibanya di sana, istriku pun segera di bawa keruangan khusus operasi sesar. Aku dan Bu Heni beserta suaminya menunggu di luar, jantungku terus berdetak menandakan rasa kehawatiranku. Tiba-tiba, fikiranku terlintas pada mimpi beberapa bulan yang lalu. Mimpi wasiat dari ayahu, kehawatiranku berubah semakin menjadi-jadi, aku merasa takut wasiat ketiga dari ayahku akan segera menjadi kenyataan. Mulutku tidak henti-hentinya melafalkan do’a kepada Allah agar tidak terjadi apa-apa, tingkahku semakin menjadi tidak karuan, aku berdiri dan jalan kesana kemari, Bu Heni pun menenangkan diriku dengan nasehat-nasehatnya. Tapi itu tidak mempan, aku masih saja takut, sgela ucapan ayah dalam mimpiku semakin terdengar jelas di telingaku. Suhu tubuhku semakin terasa dingin, tapi keringat bercucuran dari kening dan badanku. Pundaku terasa semakin berat, aliran darah di dalamnya yang menuju otaku tersa tersendat, jantungku terasa semakin berdetak kencang. Aku semakin takut.
Tiba-tiba dokter yang mengoprasi istriku membuka pintu dan mempersilahkanku masuk, dia mengucapkan selamat kepadaku atas kelahiran pertama anaku yang berkelamin perempuan, tapi setelah itu ku lihat wajah dokter menjadi tertunduk layu.
Melihat wajahnya aku semakin hawatir, hatiku bertanya prihal apa yang terjadi dengan istriku. Aku segera masuk, anaku yang mulanya di gendong oleh suster diserahkan kepadaku. Aku segera menciumnya dan ku teteskan air mataku. Akupun segera mengadzani di samping telinga anaku itu, aku menangis bercampur bahagia. Aku langsung segara menghampiri istriku yang sedang berbaring, dan aku katakan kepadanya bahwa anak yang telah lahir adalah perempuan, jenis kelamin yang menjadi harapan istriku. Tapi istriku tetap diam, matanya masih saja tertutup. aku tidak henti-hentinya membangunkan istriku, akan tetapi dia masih saja menutup matanya. Dokterpun menghampiriku dan memegang pundaku, dia pun mengucapkan kata yang tidak sanggup aku dengar, “sabar pak atas apa yang telah menimpa istri bapak”, ucap dokter sambil mengelus-elus pundaku. Aku terdiam mematung, mataku menjadi kosong, aku tidak percaya atas apa yang telah terjadi. Dengan air mata yang meleleh dari mataku, aku kuatkan diriku untuk mencium kening istriku, “Umi, kenapa kamu cepat-cepat pergi meninggalkan kami, kenapa kamu tidak menyempatkan dirimu untuk memberi kehangatan ciuman pertama seorang ibu pada anak kita ini”.
Bu heni pun menghampiriku untuk menegarkan ku,”Pak Andi, anda jangan berlarut-larut dalam kesedihan, memang untuk sekarang ini jasad Istri anda telah terbujur kaku, tapi percaya lah Pak, arwah istri bapak akan di tempatkan di tempat tertinggi sebagai seorang mujahidah dan senantiasa di beri kenikmatan oleh-Nya” ucap Bu Heni padaku.
Akupun merelakan atas apa yang sedang Allah gariskan padaku, mungkin ini adalah jalan hidup yang memang di takdirkan untuk ku. Aku yakin, nan jauh di sana istriku selalu mengawasiku dan anaku, dan aku akan selalu mebuat arwahnya tersenyum bahagia melihat kami berdua.
Selamat tinggal istriku, pesona wajahmu akan selalu menjadi penghias rumah abadi kita, harumu senantiasa memberikan kewangian di setiap ruangannya, pancaran senyumanmu adalah kehangatan di kala dinginku dan kesejukan di kala gerahku, kau adalah yang terindah di dalam hidupku dan takan pernah trgantikan untuk selamanya…..
Aku bermimpi bahwa almarhum ayah ku mendatangiku dan memberikan tiga wasiat yang begitu aneh, pertama dia mengatakan bahwa ketika aku nanti pergi ke tempat kerjaku akan ada seorang pengemis yang berbaju merah dan bertopi jerami yang meminta uang padaku, maka aku harus memberikannya sebagai bentuk rasa syukur atas rezeki yang ku terima, lalu dia mengatakan bahwa akan ada orang yang menyerahkan cincin bermata batu giok yang berwarna biru milik ayah yang di kembalikan kepadaku dan aku harus menerimanya, sementara wasiat yang terakhir adalah wasiat yang sangat membuatku takut dan merasa cemas, dia mengatakan bahwa dua bulan lagi istriku akan melahirkan akan tetapi antara anak dan istriku akan ada yang meninggal dan aku harus menerima dengan ikhlas segala ketetapan Tuhan yang di berikan kepadaku, dan terakhir ayahu mengatakan bahwa mimpi ini akan benara-benar menjadi kenyataan.
Sungguh, aku tidak percaya dengan segala apa yang di ucapkan ayahku di mimpi itu, aku yakin itu hanya mimpi belaka yang hanya menghiasi tidurku saja, meskipun itu terjadi secara berturut-turut. Ketika aku mulai melupakan mimpiku itu, tiba-tiba aku teringat kisah yang di sampaikan ustadz M. Nur ketika membahas kitab Ar-ruh karangan Ibnu Qayyim Al Jauziyyah, ketika pengajian mingguan di lingkungan perumahanku, bahwa pada kitab itu di sebutkan kisah dua sahabat yakni Sha’ab bin Jutsamah dan Auf bin Malik. Kisah itu menerangkan tentang mimpi Auf bin malik yang bertemu dengan sahabatnya Sha’ab yang lebih dahulu meninggal dunia. Di dalam mimpinya itu, Sha’ab memberikan wasiat bahwa dia mempunyai utang kepada seorag Yahudi dan menyuruh Auf bin Malik untuk membayarkannya dengan Uang yang tersimpan di busur panah yang tergantung di dalam rumahnya, kemudian dia mengatakan bahwa kucing peliharaan keluarganya telah mati beberapa hari yang lalu dan yang terakhir Auf bin Malik di suruh untuk berbuat baik terhadap putri Sha’ab karena beberapa bulan lagi dia akan meninggal dunia. Awalnya Auf bin Malik tidak percaya dengan hal tersebut, akan tetapi karena terdorong rasa penasarannya maka ia tergerak hatinya untuk membuktikannya, dan ternyata apa yang dikatakan oleh Sha’b adalah benar. Lebih jauh Ustadz M. Nur menjelaskan bahwa roh orang-orang yang hidup dan yang sudah meninggal dapat saling bertemu kala tidur, lalu mereka saling bertanya. Kemudian Allah menahan roh orang yang sudah meninggal dan mengembalikan roh orang-orang yang masih hidup ke jasadnya.
Aku jadi berfikir, apakah mimpiku sama dengan yang di alami Auf bin Malik, di mana roh ku telah bertemu dengan roh ayah ku, apakah mimpiku adalah isyarat yang benar-benar akan menjadi kenyataan. Ah,, mana mungkin orang sekelas Auf bin Malik yang mempunyai derajat ibadah yang sangat tinggi sama dengan ku yang hanya orang biasa. Suara gema adzan Subuh yang menghempaskan kensunyian malam dan mengiringi kehadiran fajar menyadarkan aku dari segala lamunanku, Akupun membangunkan istriku untuk bergegas menyambut panggilan suci dari Tuhan yang tidak pernah tidur itu untuk segera Shalat.
Pagi ini mentari begitu cerah, tiba saatnya aku malaksanakan kewajibanku sebagai seorang suami untuk mencari nafkah bagi keluargaku. Dengan baju kemeja putih berdasi panjang hitam yang begitu rapih karena telah di setrika istriku tercinta aku segera mengendarai sepeda motorku untuk berangkat ke kantor. Di tengah perjalanan aku terhenti karena trafik light yang sedang merah, tiba-tiba dari sampin g kiriku ada seorang pengemis yang menghampiriku dengan menyodorkan wadah yang berisi uang receh lima ratus rupiah sebanyak tiga buah. Akupun mengambil uang dari saku celana kananku untuk segera mengisi wadah yang masih kosong itu, tapi ketika kepalaku menoleh tertuju pada pengemis itu aku langsung terpaku kaget, dia adalah pengemis yang mengenakan baju merah bertopi jerami. Bayanganku langsung tertuju pada mimpi yang telah ku alami tadi malam. Dia benar-benar mirip dengan orang yang di sebutkan ayahu. Batinku langsung berspekulasi bahwa wasiat kedua dan ketiga juga akan menjadi kenyataan. Tidak, aku tidak mau wasiat yang ketiga itu terwujud. “tidiiiiid,,tidiiiiiid,,tidiiiiiid,,, suara kelakson dari belakang menyadarkan aku dari lamunanku. Akupun kembali melanjutkan perjalananku ke kantorku, selama perjalanan aku masih memikirkan hal yang telah terjadi di lampu merah tadi. Hal itu tetap menjadi beban fikiranku hingga aku kembali pulang dari pekerjaanku. Aku masih merasa hawatir, bahwa segala wasiat ayahku dalam mimpi benar-benar akan menjadi kenyataan.
Aku rebahkan badanku di sofa ruang tengah rumahku, aku merasa lelah setelah seharian bekerja, dan juga merasa lelah memikirkan hal-hal yang belum tentu akan terjadi. Istriku tercinta datang menghampiriku dengan senyum yang mempesona berbalut busana yang begitu menawan membawa secangkir teh hangat yang di pegang hati-hati oleh kedua tangannya. Wangi harum tubuhnya berbaur dengan keharuman teh wangi yang telah di buatkan istriku. Melihat istriku itu, rasa lelahku hilang, setelah istriku menyimpan teh buatannya di meja, akupun langsung memegang tangan istriku dan menariknya untuk duduk di pangkuanku. Aku menciumi keningnya dan membisikan kata-kata romantis untuknya. Istriku seditikt tertawa manja sedikit kegelian.
Tiba-tiba bel rumahku berbunyi dan menghentikan cumbuan kami, istrikupun langsung menuju pintu rumah dan membukakan pintu untuk tamuku yang datang. Istriku mempersilahkan tamu itu untuk masuk, akan tetapi dia tidak menerima twaran itu, alasannya kaarena sangat terburu-buru dan hanya ingin bertemu sebentar dengan ku, istrikupun memanggilku untuk segera menemui tamuku itu. Aku segera menghampirinya dan membujuknya untuk duduk sebentar walaupun hanya untuk minum, tapi dia tetap menolak dengan ramah. Tiba-tiba dia memberikan sebuah kotak yang trbuat dari kayu, dia pun berkata bahwa isi dari kotak itu adalah benda milik ayahku dan bermaksud untuk mengembalikannya padaku. Aku merasa heran, aku tidak mengenal dia tapi dia seolah mengenalku dan memberikan benda yang katanya adalah milik ayah. Tanpa rasa curiga akupun menerima pemberiannya itu, dan dia pun lantas permisi untuk segera pergi.
Setelah aku menutup pintu rumahku, tiba-tiba fikiranku melayang pada mimpi tadi malam. “jangan-jangan ini adalah cincin yang di sebutkan ayah ku”, hatiku bergumam. Aku jadi merasa semakin hawatir, bagaiman jika ini benar, berarti wasiat yang ketigapun benar-benar akan terjadi. Aku segera menuju sofa dan duduk untuk segera membukanya. Alangkah terkejutnya diriku, isi Dallam kotak kaayu itu adalah cincin yang bermata batu giok biru. Tiba-tiba kehawatiranku merubah sekelilingku menjadi terasa gelap gulita. Bayanganku tertuju pada istriku yang sedang hamil tua, ketakutanku pun semakin menjadi-menjadi. Hatiku terus bergumam, “apakah wasiat ketiga akan benar-benar terjadi”. Secara tidak sadar aku meletakan sepuluh jariku ke wajahku dan mengusap-ngusapnya seraya berdo’a supaya tidak terjadi apa-apa pada istri ataupun anak yang sedang di kandungnya.
“ada apa abi” ucap istriku yang tidak kusadari tiba-tiba dia duduk di sampingku. “apa yang telah terjadi” lanjut istriku dengan mengusap-ngusapkan tanganya dengan begitu lembut ke punggungku.
“tidak ada apa-apa sayang” ucapku dengan memasang wajah yang seolah tidak ada beban dalam fikiranku.
“yaudah sekarang abi mandi dulu sana, umi udah menyiapkan air hangat untuk abi mandi” ucap istriku dengan senyuman yang memancarkan pesona kecantikannya. “setelah mandi kita Shalat Isya berjamaah dan kita istirahat”, tambah istriku.
Dua bulan telah berjalan, selama itu pula kehawatiranku selalu menghantui ku, keseharianku selalu di bayang-bayang kegelisahan, aku takut apa yang akan terjadi antara istri dan anak pertamaku yang sedang di kandungya. Setiap Do’a yang ku ucapkan setelah shalat, aku selalu mengharapkan keselamatan untuk mereka berdua, aku tidak ingin terjadi apa-apa. Aku ingin mereka selamat.
Tiba-tiba istriku berteriak kesakitan dari dapur ketika ia sedang menyiapkan makan malam bagiku, akupun menjaid kaget atas apa yang sedang terjadi. Akupun segera menghampirinya, ku temui istriku sedang berbaring merintih kesakitan, aku segara mengengkatnya menuju tempat tidur, aku yakin ini adalah pertanda bahwa istriku akan segera melahirkan. Aku segera menelepon Bu Heni, Bidan yang kebetulan tidak jauh dari rumahku, sesaat kemudian Bu Heni pun datang di temani suaminya dengan segala perlengkapan untuk proses kelahiran. Perasaan ku begitu bahagia, tapi juga berdebar karena merasa khawatir dengan kondisi istriku yang sedang merintih kesakitan.
Aku menunggu di tengah rumah di temani suami Bu Heni sambil berdo’a mengharapkan keselamatan untuk istri dan anaku, tiba-tiba Bu Heni keluar dari kamar dan menghampiriku, dia mengatakan bahwa bayi yang di kandung istriku sangat sulit untuk di keluarkan, dia menyarankanku untuk membawanya ke Rumah Sakit untuk di sesar. Akupun kaget dengan tawarannya itu. “ sesar”, satu katu yang selalu menjadi momok bagi setiap orang, termasuk diriku saat ini.
Bu Heni meyakinkanku bahwa tidak ada cara lain lagi, dan aku harus segera bergegas membawa istriku, dengan menggunakan mobil Bu Heni, kami pun segera mambawa istriku ke Rumah Sakit. Setibanya di sana, istriku pun segera di bawa keruangan khusus operasi sesar. Aku dan Bu Heni beserta suaminya menunggu di luar, jantungku terus berdetak menandakan rasa kehawatiranku. Tiba-tiba, fikiranku terlintas pada mimpi beberapa bulan yang lalu. Mimpi wasiat dari ayahu, kehawatiranku berubah semakin menjadi-jadi, aku merasa takut wasiat ketiga dari ayahku akan segera menjadi kenyataan. Mulutku tidak henti-hentinya melafalkan do’a kepada Allah agar tidak terjadi apa-apa, tingkahku semakin menjadi tidak karuan, aku berdiri dan jalan kesana kemari, Bu Heni pun menenangkan diriku dengan nasehat-nasehatnya. Tapi itu tidak mempan, aku masih saja takut, sgela ucapan ayah dalam mimpiku semakin terdengar jelas di telingaku. Suhu tubuhku semakin terasa dingin, tapi keringat bercucuran dari kening dan badanku. Pundaku terasa semakin berat, aliran darah di dalamnya yang menuju otaku tersa tersendat, jantungku terasa semakin berdetak kencang. Aku semakin takut.
Tiba-tiba dokter yang mengoprasi istriku membuka pintu dan mempersilahkanku masuk, dia mengucapkan selamat kepadaku atas kelahiran pertama anaku yang berkelamin perempuan, tapi setelah itu ku lihat wajah dokter menjadi tertunduk layu.
Melihat wajahnya aku semakin hawatir, hatiku bertanya prihal apa yang terjadi dengan istriku. Aku segera masuk, anaku yang mulanya di gendong oleh suster diserahkan kepadaku. Aku segera menciumnya dan ku teteskan air mataku. Akupun segera mengadzani di samping telinga anaku itu, aku menangis bercampur bahagia. Aku langsung segara menghampiri istriku yang sedang berbaring, dan aku katakan kepadanya bahwa anak yang telah lahir adalah perempuan, jenis kelamin yang menjadi harapan istriku. Tapi istriku tetap diam, matanya masih saja tertutup. aku tidak henti-hentinya membangunkan istriku, akan tetapi dia masih saja menutup matanya. Dokterpun menghampiriku dan memegang pundaku, dia pun mengucapkan kata yang tidak sanggup aku dengar, “sabar pak atas apa yang telah menimpa istri bapak”, ucap dokter sambil mengelus-elus pundaku. Aku terdiam mematung, mataku menjadi kosong, aku tidak percaya atas apa yang telah terjadi. Dengan air mata yang meleleh dari mataku, aku kuatkan diriku untuk mencium kening istriku, “Umi, kenapa kamu cepat-cepat pergi meninggalkan kami, kenapa kamu tidak menyempatkan dirimu untuk memberi kehangatan ciuman pertama seorang ibu pada anak kita ini”.
Bu heni pun menghampiriku untuk menegarkan ku,”Pak Andi, anda jangan berlarut-larut dalam kesedihan, memang untuk sekarang ini jasad Istri anda telah terbujur kaku, tapi percaya lah Pak, arwah istri bapak akan di tempatkan di tempat tertinggi sebagai seorang mujahidah dan senantiasa di beri kenikmatan oleh-Nya” ucap Bu Heni padaku.
Akupun merelakan atas apa yang sedang Allah gariskan padaku, mungkin ini adalah jalan hidup yang memang di takdirkan untuk ku. Aku yakin, nan jauh di sana istriku selalu mengawasiku dan anaku, dan aku akan selalu mebuat arwahnya tersenyum bahagia melihat kami berdua.
Selamat tinggal istriku, pesona wajahmu akan selalu menjadi penghias rumah abadi kita, harumu senantiasa memberikan kewangian di setiap ruangannya, pancaran senyumanmu adalah kehangatan di kala dinginku dan kesejukan di kala gerahku, kau adalah yang terindah di dalam hidupku dan takan pernah trgantikan untuk selamanya…..