Cinta,,,,,kata orang susah di tebak, bahkan sulit sekali untuk di prediksikan..
Cinta,,, terkadang datang dan merasuk ke dalam hati seseorang dengan tiba-tiba, tanpa di sadari, meskipun tidak diinginkan tapi itu tidak bisa dipungkiri…
Cinta,,, bisa membelah dinding-dinding pembeda di antara hati seseorang, juga bisa menyatukan setiap puzle-puzle ego dalam diri menjadi suatu bentuk kesatuan yang kokoh bagaikan bangunan ka’bah yang terbentuk dari hajar aswad dan tidak akan goyah meskipun di terjang dengan hempasan topan…
Cinta itu buta, jika tidak buta itu bukan cinta…begitu lah band mahadewa bersajak dalam menggambarkan cinta…
Dan saat ini,,,
Itulah yang sedang kurasakan.. di dalam diriku kini sedang bersemayam cinta yang begitu besar, cinta yang berasal dari seseorang yang membuatku senantiasa termotivasi untuk selalu menjalani hidup yang kata orang begitu gersang, tapi bagiku, selama dia disampingku hidup ini tersa sejuk, indah,,dan begitu nyaman. Dia adalah pendorong inspirasiku untuk selalu mengatakan di dalam hatiku, bahwa “kau harus kuat dengan apa yang sedang menimpamu, karena ada dia yang selalu mencitaimu”, begitulah hatiku berbisik ketika jiwaku butuh charger karena merasa sedang lowbate akibat cobaan yang datang tanpa disangkakan.
Aku laksana Adam ketika hidup di surga, yang merengek pada Tuhan untuk diberikan peendamping hidupnya, begitu senagnya Adam ketika Tuhan mengabulkan keinginannya dengan menciptakan Hawa sebagai pendampingnya, bagitupun diriku yang sangat bersyukur pada Tuhan yang telah menciptakan dia yang begitu indah bagiku. Dia adalah pendamping ku yang akan selalu ku anggap sebagai belahan jiwaku, mungkin yang menjadi pembeda antara dia dan hawa adalah kerena tidak secara langsung di ciptakan dari ruas tulang rusuk kiriku, tapi yang menjadi kesamaannya adalah bahwa dia adalah pendamping yang menjadi penghibur di kala susah, teman di kala sepi, pembangkit di kala jatuh bahkan menjadi pelengkap ku untuk mengarungi bahtera kehidupan yang telah Tuhan gariskan.
Awal pertemuanku dengan dia adalah ketika pertama kali tanda tangan kontrak kerja pada sebuah perpustakaan di kampusku. Kebetulan dia duduk di sampingku. Awal ketika aku melihat dia, seolah ada pancaran sinar listrik dari matanya yang masuk ke mataku dan memberi setruman yang begitu besar, aku yakin daya setrumnya itu lebih besar dari daya setrum yang mengalir pada setiap alur kabel sutet yang menghantarkan tegangan listrik yang ekstra tinggi. Ada suara bisikan aneh yang merasuk ke telingaku “dia adalah seseorang yang selama ini kamu cari, kamu harus mendekatinya dan mendapatkannya”, entah darimana bisikan itu datang, akupun merasa bingung, mungkin itu adalah bisikan dari efek virus cinta pandangan pertama.
Dengan segenap keyakinanku, Ku beranikan diri untuk menanyakan namanya, tanpa aku julurkan tanganku untuk menjabat tangannya krena perasaanku yang begitu malu. “Tika”, jawab dia begitu dingin. Jwaban pertanyaanku itu membuatku merasa down, aku jadi merasa pesimis bahwa apakah aku bisa mendapatkan cintanya.
Hari pertama aku kerja, secara kebetulan aku ditempatkan pada shift yang sama dengannya, “ini adalah kesempatanku” bisik hatiku begitu yakin. Dengan sok kuat aku bantu dia mengangkat buku yang begitu besar dari grobak yang baru saja keluar dari lift yang siap untuk segera di shelving, dengan sok gesit aku merapikan setiap buku yang berserakan di meja dan di rak supaya dia terkesima dan terpesona dengan kerajinanku, tapi, tingkah lakunya Masih saja dingin padaku, dia hanya diam, tanpa sedikitpun bicara padaku, ktika ku tanya dia hanya menjawab alakadarnya bahkan terkadang hanya memberikan senyuman yang dihiasi kedua lesung pipinya yang begitu manis. “jangan menyerah den” bisik hatiku untuk memberikan motifasi.
Hari demi hari, banyak shift yang kulalui bersama dengannya, canda tawa mulai keluar dari mulutnya. “masak sih”, “hello”, itulah kata-kata khas yang selalu terlontar dari mulutnya. Terkadang kami saling cubit, saling mengganggu ketika kerja bahkan saling ngata-ngatain tapi itu semuanya hanya didasari untuk bercanda. Begitu cair suasana yang kurasa ketika bersama dia, rasa lelah, bosan, malas, semuanya hilang karena ada dia. Bagiku dia bagaikan suplemen yang membangkitkan energikku untuk selalu bekerja dengan penuh semangat.
Aku semakin merasa yakin, bahwa dia adalah seseorang yang bisa mewarnai hidupku, bahkan dia adalah kompas bagiku untuk menemui arah hidup ketika aku tersesat. Dia bagaikan mercusuar yang memberiku petunjuk ketika aku berada dalam kegelapan. Dia juga adalah kamus yang senantiasa menerangkan kata-kata yang tidak aku fahami untuk memaknai jalan hidupku ini.
“aku harus mendapatkannya”, bisikan hatiku yang berulang-ulang ketika aku didekatnya. Tapi, kebersamaanku dengan dia tidak selamanya indah. Suatu ketika ada cobaan yang hampir menggoyah kebersamaanku dengannya. Pada waktu itu aku salah menafsirkan kata-katanya, dia begitu marah padaku, dia begitu kecewa dengan apa yang telah aku perbuat. Dia menegurku di hadapan teman-temanku atas apa yang telah kulakukan. Aku hanya diam, aku merasa takut kalau dia akan membenciku untuk selamanya, aku takut dia tidak mau lagi berbicara denganku, bercanda denganku, bahkan tidak mau bersamaku lagi ketika shift. “den, begitu bego dengan apa yang telah kau lakukan”, bisik hatiku yang seolah menghardiku atas apa yang telah kulakukan. Aku masih terdiam dan mendengarkan setiap perkataannya, aku pun terus berfikir bagaimana caranya untuk membuat dia berhenti marah padaku. Tapi aku tidak bisa mengucap satu kata apapun untuk bisa mencairkan hatinya, aku masih saja diam, sampai-sampai ada temanku, nita, yang dengan cepat mencairkan suasana. Dengan bijaknya nita memotong pembicaraan dia yang begitu menggebu mengkritikku,”sudah tik, mungkin dulu denda salah pengertian”, ucapnya yang membuat dia terdiam seketika. Dia pun pergi meninggalkanku sendiri tanpa mengucap kata atau senyum sedikitpun. Dengan wajah yang menggambarkan penuh kekecewaaan, dia pergi selangkah demi selangkah untuk pulang. Aku masih saja diam membisu, hatiku tidak henti-hentinya menghardiku, menyalahkanku bahkan membodohkanku. Aku menyesal atas apa yang telah ku lakukan, karena kebodohanku aku telah membuat seseorang yang paling kusukai marahpadaku. Akupun pulang dengan hati yang begitu berat, aku tidak tahu apa yang terjadi esok hari, apakah dia akan marah dan tidak mau berteman lagi denganku. Aku tidak tahu, yang jelas hari itu aku merasa menyerah untuk bisa mendapatkannya, “mungkin ini adalah hari terakhir perjuanganku untuk mendapatkannya” bisik hatiku.
Hari pertama setelah insiden tadi malam aku tidak bisa bekerja seperti hari-hari biasa, aku terasa begitu malas, energiku seolah tidak ada, hidupku tersa menjadi hitam dan putih, aku merasa sepi karena tidak ada dia yang mencandaiku. Tiga hari berselang, dia masi tetap dingin padaku, dia tidak lagi menggangguku ketika aku kerja, tidak lagi mengataiku bahwa aku adalah orang yang gombal, tidak lagi mencubitku ketika aku mengatakan yang nyeleneh tentang dia. Begitu sepi hari yang telah ku lewati, aku shelving buku dengan begitu malas, aku masih terfikir dengan insiden tiga hari yang lalu. Secara tiba-tiba dia datang menghampiriku, dan meminta maaf atas apa yang telah dia katakana padaku. Aku begitu terkejut, aku terasa mimpi dia meminta maaf padaku. Aku merasa bahwa ini adalah tanda ucapan damai darinya. Aku merasa bahagia, akupun langsung mengatakan padanya bahwa dia tidak salah dan akulah yang bersalah. Kamipun kembali bercanda seperti biasanya, semangatku kembali berkobar, hidupku kembali berwarna, kerjaku menjadi semakin capat dan gesit. Diapun memberikan senyuman yang khas padaku, begitu manisnyaaa..
Berbulan-bulan kami selalu bersama ketika kerja, semakin menambah rasa sukaku padanya, aku semakin nyaman ketika didekatnya. Sampai pada suatu malam, ku beranikan diri untuk menembaknya. Awalnya kami hanya telpon-telponan biasa mengenai masalah jadwal shift kerja, tapi lama kelamaan kami terlibat saling berbicara masalah yang lebih bersifat pribadi. Sampai pada pertanyaanku tentang setatus dia. Dia pun menjawab bahwa dia sekarang lagi sendiri, jawaban yang memberikanku harapan. Aku tidak suka basa-basi mengenai segala perasaanku, pada waktu itu juga aku menyatakan segala perasaanku padanya bahwa aku sangat mencintainya, akupun dengan jujur mengatakan bahwa selama kita bersama ktika bekerja, pada waktu itu pula aku mendekatimu sebagai usaha untuk bias mendapatkanmu.
Dia tidak percaya atas apa yang telah aku katakana, dia menganggap bawha aku sedang bercanda. Akupun berusaha meyakinkannya bahwa aku serius dan tidak sedang bercanda, akupun memberikan suatu pertayaan yang begitu penting padanya, “bersediakah kamu jika jadi pacarku” tanyaku dengan begitu yakin. Diapun tiba-tiba diam membisu, awalnya dia meminta waktu untuk mempertimbangkannya, tapi aku tidak mau, karena aku takut pertimbangannya itu malah membuat dia yakin bahwa cintaku tidak pantas untuk diterima. Aku masih tetap berjuang dan berusaha meyakinkan dia, sampai pada detik yang begitu bersejarah dalam hidupku, karena dia mengatakan bahwa dia menerima cintaku. Aku merasa bahagia pada malam itu, rasa bahagiaku tidak berbeda jauh dengan saidina Ali yang bias mendapatkan cinta dari Fatimah atau laksana Abu bakar yang mendapatkan menantu Nabi karena menikahi Aisah. Kebahagiaanku sangat sulit sekali di gambarkan, mungkin jika lautan ini menjadi tinta dan semua pohon di bumi ini menjadi kalam dan tujuh hamparan langit di jadikan alas untuk menuliskan kegembiraanku aku rasa itu tidaklah cukup.
Kini, ia menjadi miliku, suatu hal yang selalu kuimpikan sejak dulu, setiap hari aku selalu membuka dan menutup gerbang hari dengan namanya, mungkin sebagian besar orang mengatakan bahwa pagi hari dengan meminum secangkir kopi akan membuat semangat dalam menjalani hari, tapi menurutku, cukup hanya dengan menyebutkan namanya dan membayangkan senyuman dan lesung pipinya. Aku berharap, segala perjuangan yang kulakukan untuk mendapatkannya bisa terbayarkan dengan keabadian cinta yang akan terbawa sampai kematian. Bahkan aku ingin dia menjadi ratu bidadariku di surga yang senantiasa menemaniku dalam menikmati anugrah Tuhan yang Maha Kuasa. Cintaku untuknya adalah keabadian, kesucian, dan kehakikian untuk selamanya.
“Hemh”, mendesah. Sebagai penutup dari kisahku ini, aku ingin mencurahkan segenap kata hatiku untuknya, tapi ini bukanlah puisi atau sajak, ini adalah bisikan cinta suci dari hati yang selalu menyebutkan asmanya di setiap waktuku,
Mustika Setrayani, itulah namanya, nama yang begitu indah, nama yang selalu terpatri di dalam hatiku, nama yang selalu membuatku termotivasi, nama yang selalu menemaniku dikala aku mimpi dan menjadi penggembira dikala aku sedih dan sepi.
Aku selalu ingin menjadi bagian dari dirinya, menjadi bayangan yang selalu mengikutinya, menjadi sepatu yang menjadi penyanggahnya, menjadi hijab yang menutupi kesucian mahkotanya menjadi pakaian yang selalu melindunginya.
Aku ingin menjadi bagian dari hidupnya, udara yang selalu menjadi nafasnya, mentari pagi yang selalu menghangatinya, angin yang menghempaskan kesejukan baginya, dan air yang selalu menghilangkan dahaganya.
Aku tidak ingin menjadi bulan baginya yang cintanya hanya penuh dikala purnama saja, aku tidak ingin menjadi kumbang yang hanya mendatangi bunga dikala butuh madusarinya dan bergonta-ganti dari bunga yang satu ke yang lainnya, tapi yang ku inginkan hanyalah menjadi tangkai yang selalu setia menopang bunga meskipun badai datang untuk menerjang.
Tanpanya aku seperti pecandu yang sakau karena tidak ada narkoba yang dihisapnya, tanpanya aku merasa begitu galau laksana tarzan yang hanya hidup sendiri di hutan belantara, tanpanya aku merasa hampa laksana tinggal di lorong gelap terowongan kasablanka, tanpanya di sisiku nafasku terasa sesak laksana orang yang asma, bahkan darahku terasa tersumbat sehingga jantungku tidak berdetak secara sempurna.
Kasih….
Cintaku Padamu adalah Cinta di balik Cinta Sang Maha Kuasa
Aku laksana Adam ketika hidup di surga, yang merengek pada Tuhan untuk diberikan peendamping hidupnya, begitu senagnya Adam ketika Tuhan mengabulkan keinginannya dengan menciptakan Hawa sebagai pendampingnya, bagitupun diriku yang sangat bersyukur pada Tuhan yang telah menciptakan dia yang begitu indah bagiku. Dia adalah pendamping ku yang akan selalu ku anggap sebagai belahan jiwaku, mungkin yang menjadi pembeda antara dia dan hawa adalah kerena tidak secara langsung di ciptakan dari ruas tulang rusuk kiriku, tapi yang menjadi kesamaannya adalah bahwa dia adalah pendamping yang menjadi penghibur di kala susah, teman di kala sepi, pembangkit di kala jatuh bahkan menjadi pelengkap ku untuk mengarungi bahtera kehidupan yang telah Tuhan gariskan.
Awal pertemuanku dengan dia adalah ketika pertama kali tanda tangan kontrak kerja pada sebuah perpustakaan di kampusku. Kebetulan dia duduk di sampingku. Awal ketika aku melihat dia, seolah ada pancaran sinar listrik dari matanya yang masuk ke mataku dan memberi setruman yang begitu besar, aku yakin daya setrumnya itu lebih besar dari daya setrum yang mengalir pada setiap alur kabel sutet yang menghantarkan tegangan listrik yang ekstra tinggi. Ada suara bisikan aneh yang merasuk ke telingaku “dia adalah seseorang yang selama ini kamu cari, kamu harus mendekatinya dan mendapatkannya”, entah darimana bisikan itu datang, akupun merasa bingung, mungkin itu adalah bisikan dari efek virus cinta pandangan pertama.
Dengan segenap keyakinanku, Ku beranikan diri untuk menanyakan namanya, tanpa aku julurkan tanganku untuk menjabat tangannya krena perasaanku yang begitu malu. “Tika”, jawab dia begitu dingin. Jwaban pertanyaanku itu membuatku merasa down, aku jadi merasa pesimis bahwa apakah aku bisa mendapatkan cintanya.
Hari pertama aku kerja, secara kebetulan aku ditempatkan pada shift yang sama dengannya, “ini adalah kesempatanku” bisik hatiku begitu yakin. Dengan sok kuat aku bantu dia mengangkat buku yang begitu besar dari grobak yang baru saja keluar dari lift yang siap untuk segera di shelving, dengan sok gesit aku merapikan setiap buku yang berserakan di meja dan di rak supaya dia terkesima dan terpesona dengan kerajinanku, tapi, tingkah lakunya Masih saja dingin padaku, dia hanya diam, tanpa sedikitpun bicara padaku, ktika ku tanya dia hanya menjawab alakadarnya bahkan terkadang hanya memberikan senyuman yang dihiasi kedua lesung pipinya yang begitu manis. “jangan menyerah den” bisik hatiku untuk memberikan motifasi.
Hari demi hari, banyak shift yang kulalui bersama dengannya, canda tawa mulai keluar dari mulutnya. “masak sih”, “hello”, itulah kata-kata khas yang selalu terlontar dari mulutnya. Terkadang kami saling cubit, saling mengganggu ketika kerja bahkan saling ngata-ngatain tapi itu semuanya hanya didasari untuk bercanda. Begitu cair suasana yang kurasa ketika bersama dia, rasa lelah, bosan, malas, semuanya hilang karena ada dia. Bagiku dia bagaikan suplemen yang membangkitkan energikku untuk selalu bekerja dengan penuh semangat.
Aku semakin merasa yakin, bahwa dia adalah seseorang yang bisa mewarnai hidupku, bahkan dia adalah kompas bagiku untuk menemui arah hidup ketika aku tersesat. Dia bagaikan mercusuar yang memberiku petunjuk ketika aku berada dalam kegelapan. Dia juga adalah kamus yang senantiasa menerangkan kata-kata yang tidak aku fahami untuk memaknai jalan hidupku ini.
“aku harus mendapatkannya”, bisikan hatiku yang berulang-ulang ketika aku didekatnya. Tapi, kebersamaanku dengan dia tidak selamanya indah. Suatu ketika ada cobaan yang hampir menggoyah kebersamaanku dengannya. Pada waktu itu aku salah menafsirkan kata-katanya, dia begitu marah padaku, dia begitu kecewa dengan apa yang telah aku perbuat. Dia menegurku di hadapan teman-temanku atas apa yang telah kulakukan. Aku hanya diam, aku merasa takut kalau dia akan membenciku untuk selamanya, aku takut dia tidak mau lagi berbicara denganku, bercanda denganku, bahkan tidak mau bersamaku lagi ketika shift. “den, begitu bego dengan apa yang telah kau lakukan”, bisik hatiku yang seolah menghardiku atas apa yang telah kulakukan. Aku masih terdiam dan mendengarkan setiap perkataannya, aku pun terus berfikir bagaimana caranya untuk membuat dia berhenti marah padaku. Tapi aku tidak bisa mengucap satu kata apapun untuk bisa mencairkan hatinya, aku masih saja diam, sampai-sampai ada temanku, nita, yang dengan cepat mencairkan suasana. Dengan bijaknya nita memotong pembicaraan dia yang begitu menggebu mengkritikku,”sudah tik, mungkin dulu denda salah pengertian”, ucapnya yang membuat dia terdiam seketika. Dia pun pergi meninggalkanku sendiri tanpa mengucap kata atau senyum sedikitpun. Dengan wajah yang menggambarkan penuh kekecewaaan, dia pergi selangkah demi selangkah untuk pulang. Aku masih saja diam membisu, hatiku tidak henti-hentinya menghardiku, menyalahkanku bahkan membodohkanku. Aku menyesal atas apa yang telah ku lakukan, karena kebodohanku aku telah membuat seseorang yang paling kusukai marahpadaku. Akupun pulang dengan hati yang begitu berat, aku tidak tahu apa yang terjadi esok hari, apakah dia akan marah dan tidak mau berteman lagi denganku. Aku tidak tahu, yang jelas hari itu aku merasa menyerah untuk bisa mendapatkannya, “mungkin ini adalah hari terakhir perjuanganku untuk mendapatkannya” bisik hatiku.
Hari pertama setelah insiden tadi malam aku tidak bisa bekerja seperti hari-hari biasa, aku terasa begitu malas, energiku seolah tidak ada, hidupku tersa menjadi hitam dan putih, aku merasa sepi karena tidak ada dia yang mencandaiku. Tiga hari berselang, dia masi tetap dingin padaku, dia tidak lagi menggangguku ketika aku kerja, tidak lagi mengataiku bahwa aku adalah orang yang gombal, tidak lagi mencubitku ketika aku mengatakan yang nyeleneh tentang dia. Begitu sepi hari yang telah ku lewati, aku shelving buku dengan begitu malas, aku masih terfikir dengan insiden tiga hari yang lalu. Secara tiba-tiba dia datang menghampiriku, dan meminta maaf atas apa yang telah dia katakana padaku. Aku begitu terkejut, aku terasa mimpi dia meminta maaf padaku. Aku merasa bahwa ini adalah tanda ucapan damai darinya. Aku merasa bahagia, akupun langsung mengatakan padanya bahwa dia tidak salah dan akulah yang bersalah. Kamipun kembali bercanda seperti biasanya, semangatku kembali berkobar, hidupku kembali berwarna, kerjaku menjadi semakin capat dan gesit. Diapun memberikan senyuman yang khas padaku, begitu manisnyaaa..
Berbulan-bulan kami selalu bersama ketika kerja, semakin menambah rasa sukaku padanya, aku semakin nyaman ketika didekatnya. Sampai pada suatu malam, ku beranikan diri untuk menembaknya. Awalnya kami hanya telpon-telponan biasa mengenai masalah jadwal shift kerja, tapi lama kelamaan kami terlibat saling berbicara masalah yang lebih bersifat pribadi. Sampai pada pertanyaanku tentang setatus dia. Dia pun menjawab bahwa dia sekarang lagi sendiri, jawaban yang memberikanku harapan. Aku tidak suka basa-basi mengenai segala perasaanku, pada waktu itu juga aku menyatakan segala perasaanku padanya bahwa aku sangat mencintainya, akupun dengan jujur mengatakan bahwa selama kita bersama ktika bekerja, pada waktu itu pula aku mendekatimu sebagai usaha untuk bias mendapatkanmu.
Dia tidak percaya atas apa yang telah aku katakana, dia menganggap bawha aku sedang bercanda. Akupun berusaha meyakinkannya bahwa aku serius dan tidak sedang bercanda, akupun memberikan suatu pertayaan yang begitu penting padanya, “bersediakah kamu jika jadi pacarku” tanyaku dengan begitu yakin. Diapun tiba-tiba diam membisu, awalnya dia meminta waktu untuk mempertimbangkannya, tapi aku tidak mau, karena aku takut pertimbangannya itu malah membuat dia yakin bahwa cintaku tidak pantas untuk diterima. Aku masih tetap berjuang dan berusaha meyakinkan dia, sampai pada detik yang begitu bersejarah dalam hidupku, karena dia mengatakan bahwa dia menerima cintaku. Aku merasa bahagia pada malam itu, rasa bahagiaku tidak berbeda jauh dengan saidina Ali yang bias mendapatkan cinta dari Fatimah atau laksana Abu bakar yang mendapatkan menantu Nabi karena menikahi Aisah. Kebahagiaanku sangat sulit sekali di gambarkan, mungkin jika lautan ini menjadi tinta dan semua pohon di bumi ini menjadi kalam dan tujuh hamparan langit di jadikan alas untuk menuliskan kegembiraanku aku rasa itu tidaklah cukup.
Kini, ia menjadi miliku, suatu hal yang selalu kuimpikan sejak dulu, setiap hari aku selalu membuka dan menutup gerbang hari dengan namanya, mungkin sebagian besar orang mengatakan bahwa pagi hari dengan meminum secangkir kopi akan membuat semangat dalam menjalani hari, tapi menurutku, cukup hanya dengan menyebutkan namanya dan membayangkan senyuman dan lesung pipinya. Aku berharap, segala perjuangan yang kulakukan untuk mendapatkannya bisa terbayarkan dengan keabadian cinta yang akan terbawa sampai kematian. Bahkan aku ingin dia menjadi ratu bidadariku di surga yang senantiasa menemaniku dalam menikmati anugrah Tuhan yang Maha Kuasa. Cintaku untuknya adalah keabadian, kesucian, dan kehakikian untuk selamanya.
“Hemh”, mendesah. Sebagai penutup dari kisahku ini, aku ingin mencurahkan segenap kata hatiku untuknya, tapi ini bukanlah puisi atau sajak, ini adalah bisikan cinta suci dari hati yang selalu menyebutkan asmanya di setiap waktuku,
Mustika Setrayani, itulah namanya, nama yang begitu indah, nama yang selalu terpatri di dalam hatiku, nama yang selalu membuatku termotivasi, nama yang selalu menemaniku dikala aku mimpi dan menjadi penggembira dikala aku sedih dan sepi.
Aku selalu ingin menjadi bagian dari dirinya, menjadi bayangan yang selalu mengikutinya, menjadi sepatu yang menjadi penyanggahnya, menjadi hijab yang menutupi kesucian mahkotanya menjadi pakaian yang selalu melindunginya.
Aku ingin menjadi bagian dari hidupnya, udara yang selalu menjadi nafasnya, mentari pagi yang selalu menghangatinya, angin yang menghempaskan kesejukan baginya, dan air yang selalu menghilangkan dahaganya.
Aku tidak ingin menjadi bulan baginya yang cintanya hanya penuh dikala purnama saja, aku tidak ingin menjadi kumbang yang hanya mendatangi bunga dikala butuh madusarinya dan bergonta-ganti dari bunga yang satu ke yang lainnya, tapi yang ku inginkan hanyalah menjadi tangkai yang selalu setia menopang bunga meskipun badai datang untuk menerjang.
Tanpanya aku seperti pecandu yang sakau karena tidak ada narkoba yang dihisapnya, tanpanya aku merasa begitu galau laksana tarzan yang hanya hidup sendiri di hutan belantara, tanpanya aku merasa hampa laksana tinggal di lorong gelap terowongan kasablanka, tanpanya di sisiku nafasku terasa sesak laksana orang yang asma, bahkan darahku terasa tersumbat sehingga jantungku tidak berdetak secara sempurna.
Kasih….
Cintaku Padamu adalah Cinta di balik Cinta Sang Maha Kuasa
0 komentar:
Posting Komentar