A. Definisi Zakat Profesi
Sebelum menjelaskan mengenai zakat profesi terlebih dahulu perlu adanya pengertian tentang zakat profesi. Zakat profesi terdiri dari dua kata yaitu zakat dan profesi.
Dalam literatur fiqh klasik pengertian zakat adalah hak yang dikeluarkan dari harta atau badan. Sehubungan dengan hal ini, Wahbah al-Zuhayly mengemukakan bahwa zakat adalah penuanaian hak yang wajib yang terdapat dalam harta.
Dalam kamus Bahasa Indonesia, profesi adalah bidang pekerjaan yang dilandasi pendidikan keahlian (keterampilan, kejujuran, dan sebagainya) tertentu (Kamus Bahasa Indonesia dalam Muhammad 2002: 58).
Profesi atau kasb al-`amal (pendapatan kerja, gaji/upah, pendapatan dari profesi tertentu). Pendapatan profesi didefiniskan: pendapatan yang diperoleh dari kerja fisik maupun otak yang dimanfaatkan orang lain sebagai imbalan atau upah. Hal ini ada dua macam: Pertama, gaji, upah, dan sejenisnya; yaitu imbalan seorang buruh, karyawan, atau pegawai yang bekerja kepada orang lain, perusahaan atau instansi pemerintah. Dan, Kedua, pendapatan seseorang dari jenis pekerjaan atau usaha bebas (swasta), yaitu pendapatan yang diperoleh berdasarkan usaha, pekerjaan, atau layanan jasa untuk orang lain dengan menarik imbalan, semisal dokter, pengacara, insinyur, akuntan, seniman, juga pengrajin yang mengerjakan kerajinan tangan untuk orang lain.
Dari definisi profesi di atas maka diperoleh rumusan, zakat profesi adalah zakat yang dikeluarkan dari hasil usaha halal yang dapat mendatangkan hasil (uang) yang relatif banyak dengan cara yang mudah, melalui suatu keahlian tertentu.
B. Landasan (Teori ) Hukum Zakat Profesi
Zakat diwajibkan berdasarkan al-Qur’an, Sunah, dan Ijma’ Ulama. Dalil-dalil yang terdapat dalam al-Qur’an banyak menggunakan bentuk amar (perintah) atau intruksi.
Suatu definisi yang dapat dipertimbangkan sebagai landasan zakat profesi adalah:
1. Al-Qur’an
Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. dan Ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji. (Q.S. Al-Baqarah (2): 267).
Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui. (Q.S. Al-Taubah (9):103).
2. Al-Sunnah
حصنوا اموا لكم با لز كا ة...
Peliharalah harta-harta kalian dengan zakat...
ان الله فرض على اغنياء المسلمين في اموا لهم بقد ر الذ ي يَسَعُ فقرا ء هم...
Sesungguhnya Allah SWT. mewajibkan orang-orang Muslim yang kaya untuk (menafkahkan) harta-harta mereka dengan kadar yang mencukupi orang-orang Muslim yang fakir...
عن على ر ضي الله عنه قال: ليس في المال المستفا د زكا ة حتى يحو ل عليه الحول.
Dari ‘Ali ra. berkata: tidak ada zakat pada harta (mal mustafad) sehingga sampai berlaku waktu satu tahun.
3. Perspektif Sosiologis
Dalam pandangan al-Ghazali zakat merupakan jenis ibadah yang berbentuk ritual sekaligus material tidak seperti ibadah syahadat, shalat atau puasa (Al-Ghazali dalam Muhammad Hadi 2010: 68). Untuk bisa sampai ke arah sana diperlukan pemahaman yang memadai untuk menyadarkan bahwa kewajiban zakat bukanlah sekedar amaliah ritual mahdhah saja, tetapi juga memiliki makna kewajiban sosial.
Zakat adalah kesalehan diri melalui ikhtiar sosial. Agar sampai kepada kesadaran seperti itu diperlukan penyadaran yang dibarengi dengan tindakan amal-amal sosial, termasuk mengeluarkan zakat, infak dan shadaqah. Karena dalam ajaran zakat ini pandangan dan komitmen sosialnya begitu jelas, bahkan dari titik kepentingan yang paling menyentuh hajat orang banyak, yaitu pemenuhan kebutuhan ekonomi. Melalui pendekatan sosial, kiranya cukup menguatkan landasan-landasan kewajiban zakat sebagai jalan kesalehan dan kesucian diri personal.
C. Analisis terhadap Zakat Profesi
Zakat profesi dalam diskursus hukum Islam telah menjadi tema yang populer. Ada beberapa pandangan ulama atau fuqaha mengenai masalah ini baik ulama mutaqaddimin (ortodoks) maupun muta’akhirin (kontemporer).
1. Tinjauan Ulama Mutaqadimin dan Ulama Muta’akhirin terhadap Legalitas Zakat Profesi
Fuqaha mutaqaddimin dalam menafsirkan zakat profesi terbagi ke dalam dua golongan yaitu; golongan yang mewajibkan zakat profesi dan pihak satunya tidak mewajibkan.
1) Ulama yang mewajbkan zakat profesi
Berangkat dari redaksi surat al-Baqarah ayat 167 yaitu: ما كسبتم (sebagian dari hasil usahamu), kata ini mencakup umum apa saja dari hasil usahamu, seperti jasa atau profesi. Maka jelaslah semua macam penghasilan (gaji, honorarium dan lainnya) terkena wajib zakat.
a. Ibnu Hazm menjelaskan bahwa telah sah riwayat dari Ibnu Abbas bahwa beliau mewajibkan zakat pada setiap harta yang wajib dizakati pada waktu dimiliki oleh seorang muslim.
b. Ulama Tabi’in yang lain yang memandang wajib mengeluarkan zakat dari gaji dan pendapatan lainnya (al-mal al-mustafad) ialah Az-Zuhri, Al-Hasan. Makhul dan Al-Auza’ie.
c. Madzhab Ahlul Bait seperti An-Nashir, Ash-Shadiq dan Al-Baqir sependapat dengan Daud Adh-Dhahiri bahwa orang yang menerima gaji mencapai nisab harus mengeluarkan zakatnya seketika, tanpa menunggu haul.
d. Dari Imam Ahmad ada riwayat bahwa barang siapa yang menyewakan rumah atau tanah (‘iqar) dan harganya mencapai nisab, maka harus dikeluarkan zakatnya saat itu.
2) Ulama yang tidak mewajibkan zakat profesi
a. Imam Abu Hanifah
Mal mustafad tidak dizakati sebelum sempurna satu tahun ditangan pemiliknya, kecuali apabila pemilik mempunyai harta sejenis yang pada permulaan tahun sudah mencapai satu nishab, maka mal mustafad itu dipungut zakatnya bersamaan dengan harta yang sudah ada setelah harta yang sudah ada itu mencapai satu tahun.
b. Imam Malik
Mal mustafad tidak dizakati sebelum sempurna setahun, baik sipemilik mempunyai harta yang sejenis ataupun tidak, kecuali binatang ternak. Kalau mal mustafad itu benatang ternak sedangkan sipemilik mempunyai ternak sejenis, maka mal mustafad binatang ternak itu mengikuti tahunnya binatang ternak yang ada.
c. Imam Asy-Syafi’i
Mal mustafad tidak dizakati sebelum setahun, meskipun si pemilik mempunyai harta yang sejenis, kecuali anak ternaknya sendiri, maka mal mustafad yang berupa anak ternaknya sendiri dizakati mengikuti induknya.
Fuqaha mutaakhirin (kontemporer) seperti Abdurrahman Hasan, Muhammad Abu Zahrah, Abdul Wahab Khalaf, Wahbah Az-Zuhaili dan Yusuf Qardhawi telah mengadakan penelitian dan memunaqasahkan argumen-argumen (adillah) yang dikemukakan oleh kedua belah pihak, pihak Ulama yang mewajibkan zakat profesi dan pihak Ulama yang tidak mewajibkan. Dalam kesimpulannya mereka memilih pendapat yang mewajibkan zakat hasil profesi dengan alasan :
a. Mensyaratkan haul dalam segala jenis harta termasuk hasil profesi (al-maal al-mustafad) tidak didukung oleh nash yang shahih atau hasan yang dapat dijadikan landasan untuk mentakhshish dalil ‘am atau mentaqyidi yang muthlaq.
b. Apabila nash-nash yang menunjuk pada kewajiban zakat seperti redaksi (خذ من اموا لهم) berlaku secara umum dan mutlak, maka hasil profesi termasuk di dalamnya.
c. Mensyaratkan adanya haul pada zakat profesi akan membebaskan kewajiban zakat kepada sebahagian besar pegawai tinggi dan para profesional yang mendapatkan income sangat besar. Karena bisa saja hasilnya habis digunakan untuk membiayai hidup mewah dan berfoya-foya. Dengan demikian beban zakat hanya ditanggung oleh pekerja-pekerja menengah ke bawah yang hemat dan rajin untuk menabung.
Lebih lanjut Yusuf Qardhawi berpendapat bahwa mal mustafad seperti gaji pegawai, upah buruh, penghasilan dokter, pengacara, pemborong dan penghasilan modal diluar perdagangan, persewaan mobil, perahu, penerbangan, hotel, tempat hiburan dan lain sebagainya, wajib dikenakan zakat dan tidak disyaratkan sesampainya setahun, akan tetapi dizakati pada waktu menerima pendapatan tersebut.
Dari pendapat-pendapat diatas, akan lebih sesuai jika menggunakan pendapat dari Yusuf al-Qardawi yang mengatakan bahwa seluruh penghasilan yang didapatkan dari profesi seseorang wajib dikeluarkan zakatnya dan tidak disyaratkan adanya haul, akan tetapi ditunaikan pada saat menerimanya.
Hal ini lebih cocok dikarenakan penghasilan pada saat ini sangat berkembang dengan pesatnya dan banyak yang belum terdapat pada masa Rasulullah, sehingga memerlukan penafsiran-penafsiran baru berkaitan dengan zakat profesi tersebut.
2. Kepastian Hukum terhadap Haul dan Nishab Zakat Profesi
Penghasilan yang mencapai nishab seperti gaji yang tinggi dan honorarium yang besar para pegawai dan karyawan, serta pembayaran-pembayaran yang besar kepada golongan profesi, wajib dikenakan zakat, sedangkan yang tidak mencapainya tidak wajib. Alasan ini dibenarkan, karena membebaskan orang-orang yang gajinya kecil dari kewajiban zakat dan membatasi kewajiban zakat hanya atas pegawai-pegawai tinggi dan tergolong tinggi saja. Sehingga dengan adanya batasan ini, telah mendekati pada landasan sosioligis yaitu kewajiban zakat bukanlah sekedar amaliah ritual mahdhah saja, tetapi juga memiliki makna kewajiban sosial. Dengan adanya kewajiban sosial ini maka tidak menutup kemungkinan akan tercapainya persamaan dan keadilan sosial.
Kemudian timbul pertanyaan: apakah semua jenis profesi dikenakan zakat? Kriteria pekerja profesi adalah pekerja atau pegawai yang dengan mudah mendapatkan rizki dalam jumlah yang besar, baik itu di atas nishab ataupun melebihi rata-rata pendapatan masyarakat pada umumnya. Sedangkan para pekerja kecil walaupun tergolong profesi, misalnya tukang batu, kuli bangunan, tukang cukur dan sebagainya yang pendapatnya belum dapat mencapai nishab, maka tidaklah wajib mengeluarkan zakat. Hal ini senada dengan hadits yang dikemukakan sebelumnya yaitu:
ان الله فرض على اغنياء المسلمين في اموا لهم بقد ر الذ ي يَسَعُ فقرا ء هم...
Sesungguhnya Allah SWT. mewajibkan orang-orang Muslim yang kaya untuk (menafkahkan) harta-harta mereka dengan kadar yang mencukupi orang-orang Muslim yang fakir...
Dari pemaparan di atas kiranya dapat dikemukakan bahwa redaksi hadits :
ليس في المال المستفا د زكا ة حتى يحو ل عليه الحول.
“Tidak ada zakat pada harta (mal mustafad) sehingga sampai berlaku waktu satu tahun”
Hadits ini mendukung argumen terhadap kewajiban zakat profesi bagi orang yang memiliki profesi tinggi serta mudah mendapatkan uang (gaji) jika telah mencapai haul dan nishab zakat. Sedangkan bagi pekerja kecil tidak diwajibkan zakat bila mendapat gaji dan gaji itu belum mencapai haul dan nishab.
3. Nishab Zakat Profesi dan Penganalogiannya
Mengenai besarnya nishab zakat profesi, terdapat perbedaan di kalangan ulama fikih, hal ini disebabkan karena tidak adanya dalil yang tegas tentang zakat profesi (istilah sekarang al-malul mustafad), sehingga mereka menggunakan analogi (qiyas) dengan melihat ‘illat (sebab hukum) yang sama kepada aturan zakat yang sudah ada.
Dasar penganalogian zakat profesi berangkat dari surat al-Baqarah ayat 167:
Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang kami keluarkan dari bumi untuk kamu...
Dalam ayat ini kewajiban zakat dari hasil usaha digandengkan dengan zakat dari hasil yang dikeluarkan dari perut bumi. Oleh karena itu, jika zakat profesi dianalogikan dengan zakat pertanian (sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik), maka zakat profesi, zakatnya 5% (bila pertanian menggunakan irigasi) dan 10% (bila airnya dari langit). Dan bila dianalogikan barang temuan (sebagian dari apa yang kami keluarkan dari bumi untuk kamu), maka zakat profesi adalah 20%. Lalu bila dianalogikan dengan emas dan perak, zakat profesi adalah 2,5%. Dengan demikian terjadilah kerancuan fiqih. Walhasil, ayat 267 tersebut tidak dapat menyelesaikan ke-musykil-an.
Adakah jalan keluarnya?Apakah tanpa qiyas dan tanpa sumsi, syari‘at menjadi tidak lengkap? Untuk menemukannya, harus ditelusuri lebih lanjut dengan memperhatikan beberapa pendapat yang paling kuat.
1) Pendapat Zakat Profesi 2,5%
Para fuqaha yang berpendapat kadar zakat 2,5% diantaranya; Abdullah bin Mas’ud, Muawiyah, Umar bin Abdul Aziz dan Yusuf Qardhawi. Umumnya mereka menganalogikan dengan zakat uang (zakat mal), karena penghasilan berupa gaji, upah, dan honorarium berbentuk uang.
Menurut pendapat yang paling shahih, nishab uang hendaknya disesuaikan dengan harga emas karena emaslah yang menyeimbangi nishab binatang ternak (unta, sapi, dan kambing). Maka, untuk menentukan kewajiban zakat profesi, dikemukakan oleh Yusuf Qardhawi, ada dua kemungkinan:
a. Memberlakukan nishab (94 gram emas) pada setiap jumlah penghasilan yang dterima. Maka, penghasilan yang mencapai/melebihi nishab seperti gaji yang tinggi dan honorarium yang besar para pegawai, serta pembayaran-pembayaran yang besar kepada golongan profesi, wajib dikenakan zakat. Sedangkan yang tidak mencapai nishab tidak wajib.
b. Mengumpulkan penghasilan berkali-kali itu dalam waktu tertentu sampai mencapai nishab (94 gram emas),dengan syarat tidak melebihi batas hawl. Akan tetapi, apabila setelah beberapa lama mengumpulkan dan belum mencapai nishab sampai telah melewati masa hawl, bahkan mendekati hawl berikutnya, berarti tidak wajib zakat. Karena dipandang penhasilannya masih kurang.
Dari kedua alternatif diatas, terlihat pertama lebih mendekati kepada kesamaan dan keadilan sosial. Karena membebaskan orang-orang yang mempunyai penghasilan kecil dari kewajiban zakat profesi, dan membatasi kewajiban zakat hanya atas pegawai-pegawai yang tergolong tinggi saja yang memperoleh penghasilannya dengan cara yang mudah.
Adapun cara pengeluaran zakat profesi yang taripnya 2,5% adalah sebagai berikut:
Bila zakat profesi dianalogikan kepada emas, ( seperti pendapat Yusuf Qardhawi, Wahbah al-Zuhayly dan mayoritas ulama), maka nishabnya 94 gram emas. Emas dikonversikan ke uang. Misalnya harga emas sekarang Rp.60.000,- dan perak Rp.10.000,-:
94gram x Rp.60.000,- =Rp.5.640.000,-
Jadi bila gaji kita setahun sama atau lebih dari Rp.5.640.000,- atau sebulannya Rp.470 zakatnya adalah 2,5% x Rp.470.000,- = Rp.11.750,-.
2) Pendapat Zakat Profesi 20%
Pendapat ini timbul menggugat ketidakpuasan kepada pendapat yang mewajibkan zakat profesi hanya sebesar 2,5%. Ketidakpuasan itu karena melihat para pelaku ekonomi modern, konglomerat dan sebagainya yang dengan mudah dan cepat memperoleh penghasilan besar (berkali-kali lipat di atas rata-rata pendapatan masyarakat pada umunya).
Sebagai contoh kecil, seorang yang memperoleh rezeki dalam jumlah skala besar dalam sekejap lewat profesinya, seperti halnya orang menggali tanah kemudian mendapat harta temuan (rikaz). Dengan demikian, pertanyaannya, cukupkah dan sesuaikah dengan spirit keadilan Islam jika zakat terhadap berbagai profesi modern, yang bersifat making-money, tetap 2,5% saja? Layakkah prosentase kecil itu dikenakan terhadap profesi-profesi yang ada, yang zaman Nabi memang belum ada?
Apabila zakat profesi dibandingkan dengan zakat pertanian, maka akan terlihat adanya ketidakadilan sosial. Sebagaimana diketahui, bahwa pekerjaan petani merupakan pekerjaan berat, setidak-tidaknya secara fisik. Disampign itu, petani harus langsung membayar zakat begitu panen selesai. Sehingga, tidaklah adil bila petani yang bekerja keras harus membayar 5% atau 10% sedangkan bagi profesi modern yang begitu gampang memperoleh, zakatnya hanya hanya 2,5% saja.
Dari uraian di atas, ada kemiripan antara harta temuan (rikaz) dengan penghasilan profesi, yaitu dalam hal kemudahan dalam memperolehnya. Dan terlihat juga bahwa zakat profesi hanya dikenakan kepada pegawai yang profesinya menghasilkan gaji dengan mudah dan lebih. Untuk profesi yang penghasilannya sedang dan hasilnya cukup untuk kebutuhan sehari-hari tidaklah dikenakan zakat profesi. Tapi, apabila tiba-tiba ia memperoleh penghasilan yang tidak terduga dan melebihi kebutuhannya, maka zakat yang harus dikeluarkan 20% dari penghasilan tak terduga itu.
Mengenai cara mengeluarkan zakat profesi yang 20% ini, Jalaluddin, seorang pembaharu Islam, memberikan contoh sebagai berikut:
Kalau seorang dosen mendapat gaji tiap bulannya Rp.700.000,- dan dipandang gaji itu cukup untuk membayar kebutuhan pokok sekeluarga saja, maka tidaklah terkena kewajaiban khumus. Kemudian apabila ia menulis buku dan mendapatkan royalti sebesar Rp.6.000.000,- lalu setelah dibayarkan untuk ongkos dan sebagainya, sisanya Rp.4.500.000,- maka khumus-nya yang dikeluarkan sebesar (20% x Rp.4.500.000,- = Rp.900.000,-).
Dengan demikian, para konsultan, penjual jasa,konglomerat, dan lainnya wajib mengeluarkan penghasilan lebihnya sebesar 20% sebagai ibadah dan santunan kepada kaum miskin. Akhirnya, khumus (tarip 20%) bukan saja menyelesaikan ke-musykil-an fiqh tetapi juga menegakkan keadilan Islam.
Kesimpulan
Setelah penyusun mengadakan pembahasan terhadap masalah-masalah yang ditarik dari pokok bahasan dan analisis terhadap zakat profesi yang telah dikumpulkan dalam makalah ini, akhirnya penyusun menarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Ulama mutaqadimin dalam menginterpretasikan legalitas zakat profesi terbagi ke dalam dua golongan yaitu; pertama, golongan yang mewajibkan zakat berdasarkan pengertian umum dari surat al-Baqarah ayat 267, maka seluruh pendapatan yang dihasilkan dari profesi terkena kewajiban zakat. Kedua, golongan yang tidak mewajibkan zakat dengan alasan mal mustafad tidak dizakati sebelum sempurna satu tahun ditangan pemiliknya. Sedangkan ulama muta’akhirin (kontemporer) zakat profesi dikenakan zakat dan tidak disyaratkan sesampainya setahun, akan tetapi dizakati pada waktu menerima pendapatan tersebut.
2. Kepastian hukum terhadap haul dan nishab zakat berlaku bagi pekerja atau pegawai yang dengan mudah mendapatkan rizki dalam jumlah yang besar, baik itu di atas nishab ataupun melebihi rata-rata pendapatan masyarakat pada umumnya. Sedangkan para pekerja kecil tidak dikenai zakat profesi.
3. Kadar pengeluaran zakat profesi sudah sesuai dengan fiqih zakat. Adapun ketentuan nishab, kadar dan haul pada zakat gaji, maka dianalogikan pada dua hal secara sekaligus, diqiyaskan atas zakat mal (2,5%) dan zakat rikaz (20%). Dari sudut kadar zakat, zakat profesi dianalogikan pada zakat mal (dikonversikan dengan emas yaitu 94 gram emas dan dikeluarkan pada saat menerimanya. Begitu pula tarip 20% dikeluarkan saat menerimanya.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Al-Jawi al-Bantani, Nawawi, Nihayatuz Zin fi Irsyadil Mubtadi’in, t.th.
Al-Zuhayly, Wahbah Al-Fiqh al-Islam wa ‘Adillatuh, Penj. Agus Effendi dan Bahruddin Fannany, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1995.
Hadi,Muhammad, Problematika Zakat Profesi & Solusinya: Sebuah Tinjauan Sosioligi Hukum Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.
Muhakkam, Hamid, Zakat Gaji di Kalangan Pegawai pada KANWIL DEPAG Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga, 2004.
Muhammad, Zakat Profesi: Wacana Pemikiran dalam Fiqih Kontemporer, Jakarta: Salemba Diniyah, 2002.
WEBSITE
www. tanbihun.com. Diakses tanggal 05 Desember 2011.
0 komentar:
Posting Komentar