A. DEFINISI HUKUM AGRARIA
Hukum agraria ialah suatu hukum yang mengatur prihal tanah beserta segala seluk-beluknya yang ada hubungannya dengan pertanahan, misalkan hal perairan, perikanan, perkebunan, pertambangan dan sebagainya.
Adapun yang termasuk dalam ruang lingkup hal pertanahan beserta segala beluk-beluknya tersebut, menurut Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria(UUPA) secara terperinci dapat dijabarkan sebagai berikut:
1. seluruh bumi, dalam arti disamping permukaan bumi (yang disebut tanah), termasuk pada tubuh bumi di bawahnya serta bagian bumi yang berada di bawah air;
2. seluruh air, dalam arti perairan, baik perairan pedalaman maupun laut wilayah Republik Indonesia;
3. seluruh ruang angkasa, dalam arti ruang yang ada di atas bumi;
4. sumber-sumber kekayaan alam yang terkandung di dalam bumi, yang disebut bahan-bahan galian atau sumber-seumber galian yang pada daasarnya merupakan objek dari usaha-usaha industry, perrtambangan dan sejenisnya;
5. sumber-sumber kekayaan alam yang tertkandung di dalam air, baik perairan pedalaman maupun perairan laut wilayah Republik Indonesia misalkan ikan dan sebangsanya, berbagai bangsa binatang laut lainnya, garam, mutiara, dan sebagainya.
Dalam hal ini, hukum agraria merupakan salah satu saranan pengejawantahan cita-cita nasional bagi kita semua, melalui hakikat dan fungsinya yakni sebagai hukum yang:
1. menjaga keserasian antara alam dan manusia serta mempertahankan keserasian kehidupan segala makhluk pengisi ala mini dalam kehidupan alamiahnya yang lestari;
2. mengatur dan menjamin seluruh rakyat untuk sedapat dan semerata mungkin memperoleh manfaat atas tanah-tanah yang ada di seluruh wilayah Negara;
3. mengatur hak rakyat/pribad hukum tantra maupun perdata untuk memanfaatkan sumber kekayaan alam yang ada berdasarkan kepentingan dan kedudukan pribadi masing-masing;
4. mengatur segala kewajiban (rakyat/ pribadi hukum tersebut) selaras dengan segala hak mereka yang berkenaan dengan tanah dan penggunaannya;
5. memberikan batasan yang jelas mengenai tingkat keadaan tanah yang ada berikut tingkatan hak dan kewajiban beserta segala persyaratan dan harus diperhatikan oleh para pemegang dan para calon pemegang hak dan kewajiban atas tanah yang bersangkutan;
6. menggariskan hak maksimal dan kewajiban minimal yang harus dipenuhi oleh yang menggunakan tanah itu secara konsekuen dalam arti tegas merata dan seimbang, demi tegaknya keadilan dalam bidang pertanahan di seluruh negeri.
B. SEJARAH HUKUM AGRARIA
Purnadi Purbacaraka dalam bukunya Sendi-sendi Hukum Agraria, membagi kronologi sejarah hukum agraria menjadi lima tahap, yaitu:
Tahap I, manusia dalam kehidupan yang dikatakan primitif baru mengenal meramu sebagai sumber penghidupannya yang pertama kali dan satu-satunya pula;
Tahap II, manusia telah menemukan mata pencahariaan baru yakni berburu yang dilakukan secara nomaden, yakni mengembara dari hutan ke hutan mengikuti hewan buruan yang ada;
Tahap III, manusia telah menemukan mata pencaharian yang baru lagi, yakni beternak meskipun system pelaksanaannya pun masih sangat primitif dan secara nomaden pula.
Tahap IV, merupakan perkembangan lebih lanjut dari pola hidup menetap barulah manusia mulai bercocok tanam sebagai mata pencahariannya. Dalam tahap inilah manusia mulai memikirkan dan mempersoalkan keadaan tanah mengingat kepentingannya sehubungan dengan mata pencahariannya yang baru itu. Tetapi pengetahuan manusia tentang hal pertanahan pada masa itu sangat sederhana dan sempit, terbatas hanya pada hal-hal yang berkenaan dengan keperluan atau masalah yang tengah dihadapinya saja.
Tahap IV, manusia mulai hidup berkelompok. Dalam tahap ini manusia manusia talah mengenal mata pencaharian berdagang barter tetapi masih dalam taraf,pola dan sistim yang sangat sederhana, yakni tukar-menukar barang.
Bersamaan dengan berkembangnya perdagangan ini, maka berkembang pula mata pencaharian bercocok tanam dan perhatian serta pengetahuan orang terhadap bidang pertanahan kian berkembang pula. Dalam tahap inilah hukum agrarian mulai lahir meskipun baik secara formal maupun material dapat dikatakan masih sangat primitif, masih sangat jauh dari memadai.
Melalui perkembangan zaman, Hukum Agraria tersebut menjadi kian berkembang mengalami berbagai penyempurnaan dan pembaharuan setahap demi setahap hingga sekarang ini.
Bila dipandang menurut sejarahnya di Indonesia, maka hukum agraria dapat diklasifikasikan menjadi 2 fase, yaitu;
1. Fase Pertama
Hukum agraria sebelum berlakunya UUPA,yang terbagi pula atas 2 “kutub” hukum, yakni;
Hukum agraria Adat, yang mengenal hak atas tanah seperti hak milik,hak pakai, dan hak ulayat.
Hukum agraria Barat (Hukum Perdata Barat), yang melahirkan hak atas tanah seperti hak eigendom, hak opsal, hak erfpacht, hak gebruik dan sebagainya.
2. Fase Kedua
Hukum Agraria sesudah berlakunya UUPA (mulai tanggal 24 September 1960), yang melahirkan hak atas tanah seperti:
hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak sewa, untuk bangunan dan hak atas tanah yang bersifat sementara seperti hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang dan sebagainya.
C. SUMBER HUKUM AGRARIA
Adapun sumber atau bahan yang dijadikan rujukan oleh hukum agraria yaitu;
1. Perundang-undangan;
a. Undang-undang Dasar 1945
b. Undang-undang N0. 5 Tahun 1960, Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria
c. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang N0. 56 Tahun 1960, Tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian
d. Peraturan Pemerintah No. 224 Tahun 1961 Tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian
e. Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 1964 Tentang Perubahan dan Tambahan Peraturan Pemerintah No. 224 Tahun 1961 Tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian
2. Hukum Kebiasaan
Hukum Adat dan Yurisprudensi sebagai “rechters gewoonterecht”.
0 komentar:
Posting Komentar