A. PENGARUH POLITIK HUKUM KOLONIAL BELANDA TERHADAP HUKUM ADAT
Politik hukum kolonial yang berlaku di Indonesia tak lepas dari lintasan sejarah politik hukum kolonial itu sendiri. Sejarah hukum adat ditandai oleh dua lintasan sejarah, yakni sejarah penemuan hukum adat sebagai ilmu dan sistem hukum yang berlaku serta sejarah politik atau kebijakan hukum adat yang berlaku di Indonesia dari masa ke masa. Adapun sejarah politik hukum kolonial dapat dibagi dibagi menjadi 7 priode:
1) Masa Kompeni (VOC, 1596-1808).
2) Masa Pemerintahan Daendels (1808-1811).
3) Masa Pemerintahan Raffless (1811-1816).
4) Masa 1816-1848.
5) Masa 1848-1928.
6) Masa 1928-1945.
7) Masa 1945-sekarang.
1) MASA KOMPENI (VOC, 1596-1808)
Masa ini di pusat pemerintahan dinyatakan berlaku satu stelsel hukum untuk semua orang dari golongan bangsa manapun, yaitu hukum Belanda, baik hukum tatanegara, hukum privat maupun hukum pidana. Di luar wilayah itu adat pribumi tidak diindahkan sama sekali.
Keadaan itu menggambarkan prinsip yang hendak dipertahankan oleh VOC, yaitu: di wilayah yang dikuasai VOC harus berlaku hukum VOC baik bagi orang VOC maupun orang Indonesia dan orang Asia lainnya yang berada di wilayah yang bersangkutan.
2) MASA PEMERINTAHAN DAENDELS (1808-1811)
Pada masa ini Daendels mengambil sikap jalan tengah atau kompromistis. Artinya, hukum adat masih diperbolehkan dianut oleh penduduk bumi putera, dengan syarat:
a. Hukum adat tidak bertentangan dengan kepentingan umum.
b. Hukum adat tidak boleh bertentangan dengan dasar keadilan dan kepatutan (dalam ukuran barat).
c. Hukum adat dapat menjamin tercapainya keamanan umum. Dengan persyaratan tersebut tampak bahwa pemerintahan Daendels menganggap rendah kedudukan hukum adat disbanding Hukum Belanda.
3) MASA PEMERINTAHAN RAFFLES
Raffles menggunakan kebijakan atau politik bermurah hati dan bersabar terhadap golongan pribumi, untuk menarik simpati masyarakat pribumi agar mereka tertambat hatinya kepada pemerintah Inggris. Ini merupakan sikap politik Inggris yang “humanistis”.
Penilaian Raffles terhadap hukum adat dibedakan antara dua bidang:
Di bidang hukum pidana, dia mencela sanksi pidana yang tidak sesuai lagi dengan kemajuan zaman (misalnya pidana “bakar hidup”, pidana “tikam dengan keris”).
Di lapangan hukum perdata, Raffles menetapkan: jika salah seorang dari pihak yang bersengketa- baik penggugat ataupun tergugat-adalah orang Eropa, maka perkaranya harus diadili oleh Court of Justice, yang menerapkan hukum Eropa.
Dari kenyataan di atas dapat disimpulkan bahwa hukum adat dipandang lebih rendah derajatnya daripada hukum Barat. Hukum Adat hanya dipandang baik untuk golongan rakyat Indonesia, tetapi tidak patut diperlakukan atas orang Eropa.
4) MASA 1816-1848
Pada masa ini kedudukan hukum adat mulai terancam karena penguasa Hindia Belanda pada waktu itu mulai memperkenalkan dan menganut prinsip unufikasi hukum untuk seluruh wilayah jajahannya. Dengan catatan bahwa terjadi pengecualian berlakunya hukum adat oleh bumi putera. dengan demikian, bisa dikatakan bahwa secara prinsip hukum adat mulai terdesak oleh berlakunya hukum Hindia Belanda, akan tetapi dalam praksis pemerintahan masih dianut persamaan kedudukan antarahukum adat dan hukum barat.
5) MASA 1848-1928
Tahun 1848 merupakan tahun yang amat penting dan menentukan bagi sejarah hukum Indonesia, karena melalui suatu komisi hukum yang diketuai oleh CJ scholten van Harlem telah berhasil tersusun kodifikasi hukum yang mengacam keberadaan hukum adat sebagai hukum positif, berupa
a. Algemene Bepalingen van Wetgeving voor Nederlands Indie (dikenal dengan singkatan AB), setingkat dengan UUD Hindia Belanda pada waktu itu.
b. Burgerlijk Wetboek voor Nederlands Indie (BW atau KUH Perdata Hindia Belanda)
c. Reglement op de Rechtelijke Organizatie en het Beleid der Justitie in Nederlands Indie (peraturan umum tentang peradilan Hindia Belanda),serta
d. Reglement op de Uitoefening van de Politie Burgerlijke Rechtspleging en de Strafvordering onder de Inlanders en de Vree Ostertlingen (Peraturan Umum tentang acara perdata dan pidana bagi Bumi Putera). dengan pemberlakuan keempat peraturan perundangan tersebut,bisa dikatakan bahwa pergeseran hukum adat kedalam barat secara nyata telah dimulai dan hukum barat telah hadir mengiringi proses penjajahan secara yuridis.
6) MASA 1928-1945
Masa ini adalah masa penting bagi hukum adat, karena peradilan adat (adat kamer) dibuka pada tanggal 1 januari 1938 pada raad van Justitie di Batavia yang memiliki tingkat kewenangan mengadili perkara-perkara hukum perdata adat pada tingkat banding untuk daerah; Jawa, Palembang,jambi, Bangka, Belitung, bali, dan Kalimantan. pada masa ini pula dihasilkan beberapa peraturn yang secara inplisit member tempat dalam hukum adat baik dalam budang pemerintahan maupun dalam peradilan umum dan agama.
7) MASA 1945-Sekarang
Pada masa ini hukum adat diakui secara konstitusional melalui UUD dengan persyaratan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, sebuah persyaratan yang sarat dengan nuansa politits. Artinya hukum adat ditempatkan pada posisi sejajar dengan hukum lain, akan tetapi dalam tataran praksis sering dipinggirkan apabila kepentingan-kepentingan yang mendesak harus didahulukan. Dalam praksis pemerintahan dan penyelenggaraan negara, hukum adat tetap diperhitungkan, misalnya dalam hukum agraria (UUPA), akan tetapi dalam kenyataan sering dianggap kurang membrikan jaminan kepastian hukum dan akhirnya tidak dijadikan pilihan utama dalam penyelesaian pertanahan. Hukum adat sebagai hukum yang secara turun temurun diwariskan nenek moyang kepada generasi berikutnya memiliki nilai-nilai universal (Soepomo dalam Soerya, 1993; 60). Nilai-nila tersebut antara lain adalah:
1. Prinsip gotong royong
2. Fungsi sosial manusia dan hak milik dalam kehidupan sosial
3. Prinsip persetujuan atau kesepakatan sebagai dasar kekuasaan negara, serta
4. Prinsip perwakilan dan permusyawaratan dalam sistem pemerintahan.
Masyarakat Indonesia menyikapi keberadaan hukum adat dari praksis pelaksanaan dan penegakkan hukum secara keseluruhan, dengan pandangan yang berbeda-beda.
1. Hukum adat harus tetap dipertahankan karena memiliki persyaratan unutk menjadi hukum nasional, yaitu bersifat dinamis serta berasal dari hasil penggalian mendalam secara berabad-abad. Sikap ini ditampilkan terutama oleh kaum budayawan, para pemangku adat serta para pemerhati hukum adat.
2. Hukumm adat tidak bisa dijadikan hukum utama Indonesia bahkan secara ekstrim ada yang berpandangan hukum adat tidak bisa dijadikan dasar hukum negara dan oleh karenanya harus ditolak keberadaannya, karena sifat tidak tertulis sulit dijadikan rujukan serta pedoman dalam menggali sumber hukum. Hukum tertulis menjadi pilihan utama karena jelas sumbernya, walaupun untuk mengubahnya butuh waktu, tenaga serta biaya yang tidak sedikit. Sikap ini pada umumnya diungkapkan oleh kaum praktisi hukum yang terpengaruh paham kontinentalisme (Eropa daratan), yang mengagumkan paham hukum tertulis.
3. Hukum adat bisa dijadikan rujukan secara selektif berdampingan dengan hukum tertulis lainnya, karena keduanya nyata hidup di Indonesia.
B. PENGARUH POLITIK HUKUM KOLONIAL BELANDA TERHADAP HUKUM ISLAM
Sebagaimana diketahui, bangsa penjajah selain bertujuan untuk mengeruk keuntungan ekonomi (gold) dari tanah jajahan (glory) juga mengemban misi agama (gospel) yang sama sekali berbeda dengan agama mayoritas bangsa Indonesia. Di antara upaya yang dilakukan untuk mewujudkan misi agama tersebut adalah dengan mempertentangkan hukum adat dengan hukum Islam.
Seiring dengan usaha untuk menanamkan ideologi para penjajah, ada tiga teori yang diperkenalkan. Dua teori pertama diperkenalkan oleh bangsa Belanda dan satu teori terakhir dilontarkan oleh orang Indonesia. Teori terakhir ini merupakan teori bantahan sekaligus teori pematah. Ketiga teori itu secara berurut adalah; Receptio in Complexu, Receptie Theorie, dan Receptio a Contrario.
1. Receptio in Complexu
Receptio in Complexu merupakan teori yang dikemukakan oleh Lodewijk Willem Christian Van Den Berg (1845–1927). Teori ini bermakna bahwa hukum yang diyakini dan dilaksanakan oleh seseorang seharmoni dengan agama yang diimaninya. Oleh sebab itu, jika seseorang beragama Islam maka secara langsung hukum Islamlah yang berlaku baginya, demikian seterusnya. Dengan kata lain, teori ini dapat dipadankan dengan sebutan “teori penerimaan secara kompleks atau sempurna”.
2. Receptie Theori
Receptie Theorie atau teori resepsi merupakan teori yang diperkenalkan oleh Christian Snouck Hurgronje (1857–1936). Teori ini selanjutnya ditumbuhkembangkan oleh pakar hukum adat Cornelis Van Vollenhoven (1874–1933) dan Betrand Ter Haar (1892–1941).
Teori resepsi berawal dari kesimpulan yang menyatakan bahwa hukum Islam baru diakui dan dilaksanakan sebagai hukum ketika hukum adat telah menerimanya. Terpahami di sini bahwa hukum Islam berada di bawah hukum adat. Oleh karena itu, jika didapati hukum Islam dipraktekkan di dalam kehidupan masyarakat pada hakikatnya ia bukanlah hukum Islam melainkan hukum adat. Teori ini dapat pula dipadankan dengan sebutan “teori penerimaan”.
3. Receptio a Contrario
Sebagaimana diutarakan di depan bahwa teori ini merupakan teori pematah–populer yang dikemukakan oleh Hazairin (1906–1975) dan Sajuti Thalib (1929–1990). Dikatakan sebagai teori pematah karena teori ini menyatakan pendapat yang sama sekali berlawanan arah dengan receptie theorie Christian Snouck Hurgronje di atas. Pada teori ini justru hukum adat-lah yang berada di bawah hukum Islam dan harus sejiwa dengan hukum Islam. Dengan sebutan lain, hukum adat baru dapat berlaku jika telah dilegalisasi oleh hukum Islam.
C. PERGUMULAN ANTARA HUKUM ADAT DENGAN HUKUM ISLAM
Hubungan antara Hukum Adat dengan Hukum Islam di Indonesia, semakin lama bukan semakin erat, melainkan semakin lama semakin terasa renggangnya. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor. Diantaranya ialah sebagian besar Ulama Indonesia menganut pendapat bahwa pintu Ijtihad sudah ditutup, sedang di lain pihak, masalah-masalah baru terus saja terjadi dalam masyarakat, disamping situasi dan kondisi juga sudah demikian jauh bedanya dengan yang ada pada zaman pengarang kitab-kitab Fiqih dahulu.
Sebenarnya pintu ijtihad itu tidak ditutup mati, melainkan hanya sekedar dikunci saja, sehingga tidak semua orang dapat masuk, melainkan hanya dapat dimasuki oleh orang-orang yang mempunyai kuncinya saja. Hal ini terbukti dengan praktek bahwa mereka terus saja memfatwakan hukum mengenai masalah-masalah yang timbul dalam masyarakat, meskipun mereka sendiri tidak mau menanamkan ijtihad demi kemaslahatan
Terjadinya hubungan antara Hukum Adat dan Hukum Islam disebabkan oleh dua hal.
Pertama, diterimanya Hukum Islam itu oleh masyarakat, seperti ”hukum perkawinan” di seluruh Indonesia dan “hukum warisan” di Aceh.
Kedua, Islam dapat mengakui Hukum Adat itu dengan syarat-syarat tertentu, seperti adat gono-gini di Jawa,Gunakarya di Sunda, Harta Suarang di Minangkabau, Hareuta Sihareukat di Aceh. DruweGabro di Bali dan Barang Berpantengan di Kalimantan.
Adapun syarat-syarat diterimanya hukum adat oleh hukum Islam yaitu:
1. Adat itu dapat diterima oleh perasaan yang sehat dan diakui oleh pendapat umum;
2. Tidak ada persetujuan lain antara kedua belah pihak;
3. Tidak bertentangan dengan nash, baik Qur'an maupun Hadits.
KESIMPULAN
Dari penjelasan di atas dapat ditarik benang merahnya bahwa Hukum Adat dan Hukum Islam yang berlaku sekarang di Indonesia tidak terlepas dari latar historis yang panjang baik pada masa kompeni maupun pada masa pasca kemerdekaan. Pada kedua masa itulah Hukum Adat dan Hukum Islam mengalami suatu pasang surut dalam ranah sosio-budaya, sosio-politik, maupun dalam ranah agama. Dari pasang surut itulah akhirnya Hukum Adat dapat diterima oleh Hukum Positif dan eksistensi Hukum Islam pun diakui oleh Negara sehingga sebagian Hukum Islam, misal hukum pernikahan dapat diadopsi oleh Hukum Negara.
DAFTAR PUSTAKA
A. BUKU
Bisri, Ilhami, Sistem Hukum Indonesia: Prinsip-prinsip dan Implementasi Hukum di Indonesia, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007.
Sudiyat, Iman, Asas-asas Hukum Adat Bekal Pengantar, cet. ke-II, Yogyakarta, Liberty, 1982.
B. INTERNET
Jurnal dari digilib-uinsuka. Diakses tanggal 17 Januari 2011.
www.serbasejarah.wordpress.com. Diakses tanggal 17 Januari 2011.
0 komentar:
Posting Komentar