A. Konsep Dasar Peradilan Administrasi Negara (PTUN) dalam Negara Hukum
Negara Indonesia adalah negara hukum. Sebagai negara hukum, berarti di negara kita hukumlah yang mempunyai arti penting terutama dalam semua segi-segi kehidupan masyarakat. Segala penyelenggaraan yang dilaksanakan oleh negara dengan perantaraan pemerintahnya harus sesuai dan menurut saluran-saluran yang telah ditentukan terlebih dahulu oleh hukum.
Karena negara Indonesia merupakan negara hukum, tiap tindakan penyelenggara negara harus berdasarkan hukum. Peraturan perundang-undangan yang telah diadakan lebih dahulu, merupakan batas kekuasaan penyelenggaraan negara. Undang Undang Dasar yang memuat norma-norma hukum dan peraturan-peraturan hukum harus ditaati, juga oleh pemerintah atau badan-badannya sendiri.
Dalam mempergunakan istilah “Negara Hukum”, ternyata terdapat perbedaan penggunaan istilah diantara para ahli ketatanegaraan. Para ahli di Eropa Barat (Kontinental) seperti Immanuel Kant dan F.J. Stahl menggunakan istilah “Rechtsstaat”, sedangkan A.V. Dicey menggunakan istilah “Rule Of Law”. Kedua istilah tersebut secara formil dapat mempunyai arti yang sama, yaitu negara hukum, akan tetapi secara materiil mempunyai arti yang berbeda yang disebabkan oleh latar belakang sejarah dan pandangan hidup suatu bangsa.
A.V. Dicey mengetengahkan tiga arti dari “the rule of law” yaitu pertama, supremasi hukum (supremacy of law); kedua, persamaan di hadapan hukum (equality before the law); ketiga, terjaminnya hak-hak asasi manusia dalam Konstitusi. Adapun untuk “rechtsstaat” menurut F.J. Stahl mempunyai unsur-unsur : pertama, pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia; kedua; pemisahan dan pembagian kekuasaan negara (trias politica); ketiga, pemerintah berdasarkan undang-undang (wetmatig bestuur); keempat, adanya peradilan administrasi negara (PTUN) (lihat Muhammad Tahir Azhary, 1992 : 66 dan Philipus M. Hadjon, 1987 : 80).
Dalam rule of law menurut sistem Anglosaxon terdapat perbedaan dengan rechsstaat menurut faham Eropa Kontinental. Perbedaan itu antara lain dalam rule of law, tidak terdapat peradilan administrasi negara (PTUN) yang terpisah dari peradilan umum. Lain halnya dalam rechtsstaat terdapat peradilan administrasi negara (PTUN) yang berdiri sendiri terpisah dari peradilan umum. Adapun persamaannya antara lain keduanya (baik rechtsstaat maupun rule of law) mengakui perlindungan HAM, adanya “kedaulatan hukum” atau “supremsi hukum”, tidak ada penyalah gunaan kekuasaan atau perbuatan sewenang-wenang oleh Penguasa (absence of arbitrary power).
Melihat kedua sistem tersebut, sebagaimana diketahui secara umum negara Indonesia identik dengan rechtsstaat. Untuk lebih detailnya perlu pula penulis telaah pemikiran-pemikiran ahli hukum Indonesia yang terkenal, yaitu Oemar Seno Adji, Padmo Wahyono, dan Philipus M. Hadjon.
Oemar Seno Adji berpendapat bahwa Negara Hukum Indonesia memiliki ciri-ciri khas Indonesia. Karena Pancasila harus diangkat sebagai dasar pokok dan sumber hukum, maka Negara Hukum Indonesia dapat pula dinamakan Negara Hukum Pancasila (Muhammad Tahir Azhary, 1992 : 69). Dengan kata lain, Negara Hukum Pancasila ini muncul karena digali oleh para proklamator negara dari adat-istiadat asli masyarakat di Indonesia secara keseluruhan yang heterogen dan majemuk berlandaskan asas Bhineka Tunggal Ika.
Menyambung pengertian Negara Hukum Pancasila tersebut, Padmo Wahyono menelaahnya dengan bertitik pangkal dari asas kekeluargaan yang tercantum dalam UUD 1945 (asas ini masih tetap ada meskipun UUD 1945 telah di amandemen, vide Pasal 33). Menurut Padmo Wahyono dalam asas kekeluargaan maka yang diutamakan adalah “rakyat banyak, namun harkat dan martabat manusia tetap dihargai” (Muhammad Tahir Azhary, 1992 : 69-70). Jadi menurut beliau, pemerintah dalam menjalankan roda pemerintahan maka harus memperhatikan aspek kepentingan umum dan hak asasi manusia. Selanjutnya Philipus M. Hadjon (1987 : 84-85) mengemukakan bahwa negara hukum di Indonesia tidak dapat dengan begitu saja dipersamakan dengan rechtsstaat maupun rule of law dengan alasan sebagai berikut ; (1) baik konsep rechtsstaat maupun rule of law dari latar belakang sejarahnya lahir dari suatu usaha atau perjuangan menentang kesewenangan penguasa, sedangkan Negara Republik Indonesia sejak perencanaan berdirinya jelas-jelas menentang segala bentuk kesewenangan atau absolutisme; (2) baik konsep rechtsstaat maupun rule of law menempatkan pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia sebagai titik sentral, sedangkan Negara Republik Indonesia yang menjadi titik sentral adalah keserasian hubungan antara pemerintah dan rakyat berdasarkan asas kerukunan; (3) untuk melindungi hak asasi manusia konsep rechtsstaat mengedepankan prinsip wetmatigheid dan rule of law mengedepankan prinsip equality before the law, sedangkan Negara Republik Indonesia mengedepankan asas kerukunan dalam hubungan antara pemerintah dan rakyat.
Meskipun Indonesia tidak dapat digolongkan ke dalam salah satu dari dua kelompok negara hukum tersebut, namun akibat penjajahan Belanda yang menganut sistem hukum kontinental, maka pembentukan negara hukum dan sistem hukum di Indonesia banyak terpengaruh oleh sistem hukum kontinental (rechtsstaat).
Sebagaimana diungkapkan oleh Soetandyo Wignjosoebroto (1995 : 238) : “Hukum Kolonial bagaimanapun juga adalah hukum yang — mempertimbangkan substansinya — secara formal masih berlaku, dan sebagian besar kaidah-kaidahnya masih merupakan hukum positif Indonesia berdasarkan berbagai ketentuan peralihan. Perkembangan hukum di Indonesia selama ini, sejak masa kekuasaan kolonial sampai pun ke masa-masa sesudahnya, adalah perkembangan yang bergerak ke arah dan/ atau menurut pola-pola hukum Eropa, dan dalam hal ini hukum Belanda. Memutus alur perkembangan ini, berarti memutus hubungan tradisional sebagaimana pernah terkembang dalam sejarah antara Indonesia dan Belanda — yang sebenarnya juga ikut meliput berbagai aspek yang sifatnya institusional, seperti misalnya peradilan dan pendidikannya — akan berarti memaksa Indonesia mengembangkan hukum nasionalnya dengan beranjak dari awal lagi, dan menyia-nyiakan apa yang hingga kini telah tercapai….”.
Oleh karena hal tersebut diatas, Negara Indonesia pun dalam hal mewujudkan suatu negara hukum menginginkan terbentuknya pengadilan administrasi negara (PTUN) sebagaimana yang dianut negara eropa kontinental. Keberadaan pengadilan administrasi negara (PTUN) di berbagai negara modern terutama negara-negara penganut paham Welfare State (Negara Kesejahteraan) merupakan suatu tonggak yang menjadi tumpuan harapan masyarakat atau warga negara untuk mempertahankan hakhaknya yang dirugikan oleh perbuatan hukum publik pejabat administrasi negara karena keputusan atau kebijakan yang dikeluarkannya.
Melihat kenyataan tersebut, dapat dipahami bahwa peradilan administrasi negara (PTUN) diperlukan keberadaannya, sebagai salah satu jalur bagi para pencari keadilan yang merasa kepentingannya dirugikan karena dalam melaksanakan kekuasaannya itu ternyata pejabat administrasi negara yang bersangkutan terbukti melanggar ketentuan hukum.
Di Indonesia, pengadilan administrasi negara dikenal dengan pengadilan tata usaha negara sebagaimana diatur dalam UU No.5 Tahun 1986 yang telah dirubah dengan UU No. 9 Tahun 2004 (perubahan pertama) dan UU No.51 Tahun 2009 (perubahan kedua). Berdasarkan Pasal 24 ayat (3) Amandemen ketiga Undang-Undang Dasar 1945 yang disahkan 10 November 2001 Jo pasal 18 UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman dikenal 4 lingkungan lembaga peradilan, yaitu: Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara. Tiap-tiap lembaga ini mempunyai kewenangan dan fungsi masing-masing, sehingga lembaga-lembaga peradilan ini mempunyai kompetensi absolut yang berbeda satu dengan lainnya.
B. Peradilan Administrasi Negara (PTUN) dan Perlindungan Hukum bagi Masyarakat di Indonesia
Tujuan pembentukan dan kedudukan suatu peradilan administrasi negara (PTUN) dalam suatu negara, terkait dengan falsafah negara yang dianutnya. Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara hukum berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, oleh karenanya hak dan kepentingan perseorangan dijunjung tinggi disamping juga hak masyarakatnya. Kepentingan perseorangan adalah seimbang dengan kepentingan masyarakat atau kepentingan umum. Karena itu, menurut S.F Marbun (1997 : 27) secara filosofis tujuan pembentukan peradilan administrasi negara (PTUN) adalah untuk memberikan perlindungan terhadap hak-hak perseorangan dan hak-hak masyarakat, sehingga tercapai keserasian, keseimbangan dan keselarasan antara kepentingan
perseorangan dengan kepentingan masyarakat atau kepentingan umum.
Selain itu, menurut Prajudi Atmosudirdjo (1977 : 69), tujuan dibentuknya peradilan administrasi negara (PTUN) adalah untuk mengembangkan dan memelihara administrasi negara yang tepat menurut hukum (rechtmatig) atau tepat menurut undang-undang (wetmatig) atau tepat secara fungsional (efektif) atau berfungsi secara efisien. Sedangkan Sjachran Basah (1985 : 25) secara gamblang mengemukakan bahwa tujuan pengadilan administrasi negara (PTUN) ialah memberikan pengayoman hukum dan kepastian hukum, tidak hanya untuk rakyat semata-mata melainkan juga bagi administrasi negara dalam arti menjaga dan memelihara keseimbangan kepentingan masyarakat dengan kepentingan individu. Untuk administasi negara akan terjaga ketertiban, ketentraman dan keamanan dalam melaksanakan tugas-tugasnya demi terwujudnya pemerintahan yang kuat bersih dan berwibawa dalam negara hukum berdasarkan Pancasila.
Dengan demikian, lembaga pengadilan administrasi negara (PTUN) adalah sebagai salah satu badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman, merupakan kekuasaan yang merdeka yang berada di bawah Mahkamah Agung dalam rangka menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Penegakan hukum dan keadilan ini merupakan bagian dari perlindungan hukum bagi rakyat atas perbuatan hukum publik oleh pejabat administrasi negara yang melanggar hukum.
Berdasarkan hal tersebut, maka peradilan administrasi negara (PTUN) diadakan dalam rangka memberikan perlindungan (berdasarkan keadilan, kebenaran dan ketertiban dan kepastian hukum) kepada rakyat pencari keadilan (justiciabelen) yang merasa dirinya dirugikan akibat suatu perbuatan hukum publik oleh pejabat administrasi negara, melalui pemeriksaan, pemutusan dan penyelesaian sengketa dalam bidang administrasi negara.
Oleh karenanya, dapat dikatakan bahwa meskipun segala bentuk tindakan pejabat administrasi negara telah diatur dalam norma-norma hukum administrasi negara, akan tetapi bila tidak ada lembaga penegak hukum dari hukum administrasi negara itu sendiri, maka norma-norma tersebut tidak mempunyai arti apa-apa. Atas dasar itulah, eksistensi pengadilan administrasi negara (PTUN) merupakan sesuatu yang wajib, dalam arti selain sebagai sarana kontrol yuridis terhadap pelaksana administrasi negara juga sebagai suatu bentuk atau wadah perlindungan hukum bagi masyarakat karena dari segi kedudukan hukumnya berada pada posisi yang lemah.
Berkenaan dengan konsep perlindungan hukum bagi masyarakat di Indonesia, sesungguhnya beranjak dari makna Pancasila yang berarti kekeluargaan atau gotong royong, menurut Philipus M. Hadjon (1993 : 85-89) asas berdasarkan jiwa kekeluargaan ini dapat disebut pula sebagai asas kerukunan. Asas kerukunan tersebut melandasi hubungan antara pemerintah dengan rakyat, serta antara organ kekuasaan negara yang satu dengan lainnya yang melahirkan hubungan fungsional proporsional antara kekuasaan-kekuasaan negara.
Atas dasar keserasian hubungan berdasarkan asas kerukunan, maka sedapat mungkin penyelesaian sengketa dilakukan melalui cara musyawarah dan peradilan merupakan sarana terakhir. Hal itu karena musyawarah sebagai cerminan perlindungan hukum preventif berupa pemberian kesempatan kepada rakyat untuk mengajukan keberatan atau pendapatnya sebelum pemerintah memberikan keputusan yang definitif. Musyawarah sangat besar artinya ditinjau dari perbuatan pemerintahan yang didasarkan pada kebebasan bertindak karena pemerintah akan terdorong untuk mengambil sikap hati-hati, sehingga sengketa yang kemungkinan dapat terjadi dapat dicegah.
Sengketa yang dimaksud adalah berdasarkan Pasal 1 butir 10 UU No.51 Tahun 2009 perubahan kedua atas UU No.5 Tahun 1986, yang menyebutkan bahwa :
“Sengketa tata usaha negara (sengketa administrasi negara) adalah sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara (administrasi negara) antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha negara (pejabat administrasi negara) baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha negara (keputusan administrasi negara), termasuk kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”
Pada kenyataannya, sengketa administrasi negara muncul jikalau seseorang atau badan hukum perdata merasa dirugikan, sebagai akibat dikeluarkannya suatu keputusan. Sebagaimana diketahui bahwa, pejabat administrasi negara dalam fungsi menyelenggarakan kepentingan umum tidak terlepas dari tindakan mengeluarkan keputusan, sehingga tidak menutup kemungkinan pula keputusan tadi menimbulkan kerugian. Selain berbentuk keputusan tindakan pejabat tadi dapat berbentuk perbuatan materiil sepanjang dalam rangka melaksanakan perbuatan hukum publik. Akan tetapi terhadap pelanggaran hukum atas perbuatan hukum publik yang bersifat materiil (onrechmatige overheidsdaad) sampai saat ini penyelesaian sengketanya bukan kewenangan pengadilan administrasi negara (PTUN), karena undang-undang pengadilan administrasi negara (PTUN) saat ini belum mengadopsi sebagaimana yang ada dalam sistem peradilan administrasi negara di Prancis yang nota benenya menjadi kiblat penyelesaian sengketa administrasi di dunia. Meskipun demikian melihat perkembangan ke depan nantinya (dalam rangka reformasi administrasi pemerintahan) menurut penulis suatu hal yang harus dibentuk satu sistem peradilan administrasi negara terpadu, artinya segala sengketa administrasi negara diselesaikan melalui pengadilan administrasi negara (PTUN). Kenyataan ini diperlukan karena disamping esensi pengadilan administrasi negara (PTUN) sebagai satu-satunya lembaga penegakan hukum administrasi negara sebagaimana termaktub dalam Konstitusi juga membuat sederhana (simple) penyelesaian sengketa administrasi negara melalui satu pintu lembaga peradilan dan untuk menghindari overlap kewenangan dalam penyelesaian sengketa administrasi negara.
Erat kaitannya dengan penegakan hukum administrasi negara, saat ini pemerintah sedang membuat suatu rancangan undang-undang tentang administrasi pemerintahan (RUUAP) yang telah memasuki tahap konsep (draft bulan Agustus 2008). Bila kita amati undang-undang tersebut merupakan hukum materiil dari hukum administrasi negara di Indonesia, didalamnya mengatur mengenai dasar hukum dan pedoman bagi setiap pejabat administrasi pemerintahan dalam menetapkan keputusan, mencegah penyalahgunaan kewenangan dan menutup kesempatan untuk melakukan KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme). Yang terlebih penting undang-undang ini nantinya selain sebagai dasar reformasi birokrasi juga menjadi landasan untuk perubahan mindset dan cultural-set aparatur pemerintah, merubah mentalitas priyayi atau penguasa yang minta dilayani, menjadi sosok aparatur pemerintah yang berperilaku sebagai abdi negara dan abdi masyarakat, yang profesional,dan selalu memperhatikan kepentingan rakyat selaku pemegang kedaulatan. Bahkan lebih menarik lagi setelah undang-undang sebagai HAN materiil ini disahkan akan menuntut untuk merevitalisasi peranan pengadilan administrasi negara (PTUN). Dengan kata lain undang-undang HAN formil yang ada saat ini (UU No.5 Tahun 1986 yang telah dirubah dengan UU No. 9 Tahun 2004 (perubahan pertama) dan UU No.51 Tahun 2009 (perubahan kedua)) harus segera direvisi, karena aturan dalam undang-undang administrasi pemerintahan memberi kewenangan pengadilan administrasi negara (PTUN) menjadi lebih luas.
Kewenangan itu diantaranya berupa subjek penggugat selain orang per-orangan bisa juga organisasi (melalui legal standing) dan badan atau pejabat pemerintahan itu sendiri, lalu subjek tergugat adalah selain badan atau pejabat yang menjalankan fungsi pemerintahan, termasuk juga badan hukum lain (seperti : otorita, lembaga pendidikan, notaris, dll) yang menerima pelimpahan wewenang berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk mengeluarkan keputusan pemerintahan tersebut. Serta penyelesaian sengketa administrasi negara yang berupa tindakan faktual pejabat administrasi negara pun menjadi kompetensi absolut pengadilan administrasi negara (PTUN). Hanya saja yang perlu dikritisi dari RUUAP ini adalah belum adanya subjek penggugat yang terdiri dari masyarakat yang menggugat secara class action (padahal dalam konsep sebelumnya sempat muncul) dan masih banyak lagi permasalahan-permasalahan yang mungkin timbul dalam pelaksanaan ganti rugi, eksekusi melalui pengenaan uang paksa dan sanksi administrasi apabila norma hukum didalamnya tidak mengatur secara tegas, serta peraturan pelaksananya pun terlalu lama dikeluarkan.
Dalam kaitan dengan pengadilan administrasi negara sebagai salah satu badan peradilan yang menjalankan “kekuasaan kehakiman yang bebas” sederajat dengan pengadilan-pengadilan lainnya dan berfungsi memberikan pengayoman hukum akan bermanfaat sebagai:
1. Tindakan pembaharuan bagi perbaikan pemerintah untuk kepentingan rakyat;
2. Stabilisator hukum dalam pembangunan;
3. Pemelihara dan peningkat keadilan dalam masyatakat;
4. Penjaga keseimbangan antara kepentingan perseorangan dan kepentingan umum(Sjachran Basah, 1985 : 25).
Berdasarkan kenyataan tersebut dapatlah ditarik suatu kesimpulan bahwa di samping peradilan umum, peradilan administrasi negara (PTUN) merupakan sarana perlindungan hukum represif, yang memberikan perlindungan hukum bagi rakyat dengan mengemban fungsi peradilan. Fungsi tersebut dilaksanakan sedemikian rupa sehingga senantiasa menjamin dan menjaga keserasian hubungan antara rakyat dengan pemerintah berdasarkan asas kerukunan yang tercermin dalam konsep negara hukum di Indonesia.
C. Penegakan Hukum Administrasi Negara sebagai Upaya membentuk Sistem Pemerintahan Yang Bersih dan Berwibawa (Good Governance)
Indonesia sebagai penganut paham negara hukum modern, dituntut adanya peranan dan fungsi hukum yang secara stabil dan dinamis mampu mengatur berbagai kepentingan tanpa meninggalkan ide dasarnya yaitu keadilan. Hukum yang demikian juga mengandung tuntutan untuk ditegakkan atau dengan kata lain, perlindungan hukum yang diberikan merupakan suatu keharusan dalam penegakan hukum.
Maksud penegakan hukum tersebut diatas, penulis sependapat dengan apa yang diutarakan Abdulkadir Muhammad (2001 : 115). Menurutnya, penegakan hukum dapat dirumuskan sebagai usaha melaksanakan hukum sebagaimana mestinya, mengawasi pelaksanaannya agar tidak terjadi pelanggaran, dan jika terjadi pelanggaran maka untuk memulihkannya kembali dengan penegakan hukum. Dengan demikian penegakan hukum dilakukan dengan penindakan hukum, yang menurut penulis dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
• Teguran peringatan supaya menghentikan pelanggaran dan jangan berbuat lagi.
• Pembebanan kewajiban tertentu (ganti kerugian dan atau denda).
• Pencabutan hak-hak tertentu (sanksi administrasi ringan, sedang, dan berat seperti : berupa pencopotan jabatan atau pemberhentian dengan tidak hormat).
• Publikasi kepada masyarakat umum (media cetak dan atau elektronik).
• Rekomendasi black list secara politis (kepada lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif terutama apabila yang bersangkutan akan menjalani fit and proper test).
• Pengenaan sanksi badan (pidana penjara).
Meskipun penegakan hukum administrasi negara sebagaimana tersebut diatas dalam prakteknya jarang dipatuhi, menurut hemat penulis permasalahan semua ini bermuara pada moralitas dari pejabat yang bersangkutan dan peraturan perundang-undangan yang tidak secara tegas mengatur pengenai pelaksanaan hukuman/ sanksi dari lembaga pengadilan administrasi negara (PTUN).
Permasalahan mengenai moralitas pejabat memang sangat abstrak sehingga sangat sulit dianalisa ketidak patuhan secara hukum pejabat tersebut karena berkenaan dengan kejiwaan (humanistis) dan latar belakang kehidupan pejabat yang bersangkutan. Meskipun demikian, perlu adanya alat kontrol lainnya dalam rangka penegakan hukum administrasi negara ini yaitu peraturan perundang-undangan. Celakanya sampai saat ini peraturan perundang-undangan yang ada belum memadai, yang menurut penulis permasalahan tersebut karena :
1. Sempitnya pengertian objek sengketa administrasi negara yang dapat diselesaikan di PTUN. Dengan kata lain, arti ketentuan Pasal 1 angka 9 UU No. 51 Tahun 2009 perubahan kedua atas UU No.5 Tahun 1986 menyimpang dari pengertian sengketa administrasi negara secara luas yang secara teoritis mencakup seluruh perbuatan hukum publik.
2. Hukum administrasi negara formil (hukum acara PTUN) sudah terwujud akan tetapi hukum administrasi negara materiil belum terbentuk.
3. Pelaksanaan eksekusi pengadilan administrasi negara (PTUN) sebagaimana diatur dalam Pasal 116 UU No.51 Tahun 2009 perubahan kedua dan UU No. 9 Tahun 2004 perubahan pertama atas UU No.5 Tahun 1986 belum ditindak lanjuti oleh peraturan pelaksana sehingga tidak ada kejelasan mengenai prosedur dan penerapan hukuman administrasi negaranya.
4. Banyaknya dibentuk lembaga-lembaga peradilan khusus akan tetapi wewenang didalamnya ada yang meliputi penyelesaian sengketa administrasi sehingga menjadi overlap dengan wewenang pengadilan administrasi negara (PTUN), seperti : penyelesaian sengketa perburuhan yang berkaitan dengan keputusan depnakertrans, sengketa HAKI yang bersifat administratif, sengketa pajak, dll.
Permasalahan-permasalahan ini muncul, menurut penulis disebabkan karena tidak adanya harmonisasi dan singkronisasi peraturan perundang-undangan yang ada. Seharusnya sebelum membuat undang-undang para pembentuk undang-undang (DPR dan Pemerintah) membahas dengan cermat dan seksama serta mengikut sertakan para praktisi hukum (hakim TUN dan advokat) maupun pakar hukum hukum administrasi negara, apabila perlu disosialisasikan kepada publik (masyarkat/akademisi/LSM) sebelum disahkan, untuk menghindari tumpang tindihnya materi muatan antara undang-undang satu dengan lainnya.
Selain itu untuk efektifitas dan efisiensi penegakkan hukum administrasi negara, tidak perlu dibentuk peradilan-peradilan khusus karena disamping menghambur-hamburkan anggaran negara juga menimbulkan ketidakpastian hukum dalam rangka penegakkan hukum. Apabila alasan dibentuknya peradilan khusus hanya karena kurangnya keahlian hakim dalam menyelesaikan perkara tertentu dan lambannya proses berperkara di pengadilan sebetulnya bisa diatasi. Dalam sistem peradilan di Indonesia dimungkinkan keikut sertaan saksi ahli dan hakim ad-hoc karena dibutuhkan disaat lembaga peradilan memerlukan keahliannya untuk menyelesaikan suatu perkara tertentu dan apabila perlu para hakim pengadilan administrasi negara (PTUN) diberi kesempatan studi lanjut untuk mendalami pendidikan khusus (spesialisasi) tentang bidang hukum administrasi negara tertentu (misalnya : Pajak, HAKI, Ketenagakerjaan, dll) sehingga alasan kurangnya keahlian hakim bisa diatasi, sedangkan alasan dibentuknya peradilan khusus dalam rangka mempercepat penyelesaian perkara pun kurang tepat karena dalam praktek justru para pihak yang bersengketa biasanya terlalu lama/ bertele-tele dalam bersidang bahkan ada beberapa pihak yang secara sengaja memperlambat jalannya persidangan dengan maksud-maksud tertentu, seperti : ketika pemeriksaan persiapan meskipun dalam undang-undang diatur maksimal perbaikan gugatan dalam tenggang waktu 30 hari, akan tetapi pihak penggugat tidak bisa memperbaiki gugatannnya secepat mungkin. Selain itu, sama halnya dalam persidangan yang terbuka untuk umum dimana para pihak tidak bisa mempersiapkan Jawaban/ Replik/ Duplik/ Alat Buktinya secara cepat dimana dalam prakteknya tiap-tiap acara mereka meminta pengunduran waktu sidang satu minggu atau lebih, padahal seandainya para pihak siap segalanya bisa saja dalam satu minggu dua atau tiga acara persidangan sekaligus. Bila para pihak yang bersengketa ada itikad baik mematuhi asas cepat dan sederhana dalam persidangan, tidak akan ada lagi alasan bersengketa melalui peradilan administrasi negara (PTUN) terlalu lama, apalagi semenjak adanya pembatasan Kasasi terhadap sengketa administrasi negara berupa keputusan pejabat daerah yang jangkauan keputusannya berlaku di wilayah daerah yang bersangkutan sesuai Pasal 45 A ayat (2) Huruf C UU No. 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung (UU MA ini telah ada perubahan keduanya yaitu UU No.3 Tahun 2009). Berdasarkan permasalahan tersebut menurut penulis, perlu dibuat suatu klausul tertentu dalam suatu ketentuan hukum acara (dalam revisi UU PTUN nantinya) yang memberi kewenangan hakim untuk melanjutkan jalannya persidangan apabila menurutnya salah satu pihak/ para pihak dianggap memperlambat jalannya proses persidangan, dengan demikian untuk kelancaran/ cepatnya penyelesaian perkara hakim yang bersangkutan apabila mengambil sikap/ keputusan berdasarkan asas cepat dan sederhana dalam persidangan tidak melanggar hukum acara yang ada.
Dengan adanya keterbatasan hukum formil peradilan administrasi negara (PTUN), tidak berarti pula bahwa para penegak hukum harus mengabaikan atau meremehkan kesadaran-hukum mereka sendiri. Hal ini pun berdasarkan suatu teori yang mengira dapat hidup tanpa perasaan hukum (rechtsgevoel) tiap-tiap individu terutama penegak hukum, tak mungkin akan mampu memberi tafsiran yang tepat tentang hukum, dan apabila teori serupa itu diterapkan dalam bidang peradilan yang bebas, sering akan menyebabkan diambilnya keputusan-keputusan yang tidak adil, juga bertentangan dengan tujuan hukum, sebab tujuan hukum adalah pada asasnya menegakkan KEADILAN.
Untuk merealisasikan keadilan dalam penegakan hukum administrasi negara, yaitu apabila hakim pengadilan administrasi negara (PTUN) tidak dapat menemukan peraturan dalam undang-undang, maka ia harus mengambil keputusan berdasarkan hukum tidak tertulis yang dalam hukum administrasi negara dikenal dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik.
Asas-asas ini menurut penulis bisa ditemukan dalam Pancasila, UUD 1945, dan kebiasaan dalam pemerintahan (konvensi). Adanya perlindungan hukum bagi masyarakat terhadap perbuatan hukum publik pejabat administrasi yang melanggar hukum dikaitkan dengan keberadaan pengadilan administrasi negara (PTUN) sebagai lembaga penegak hukum dan keadilan, menurut hemat penulis keadaan seperti ini sebagai wujud dari suatu pemerintahan yang baik dan berwibawa. Penyelenggaraan sistem pemerintahan yang baik dan berwibawa secara teoritis dikenal dengan apa yang disebut good governance. Menurut Adnan Buyung Nasution (1998), konsep good governance mengacu pada pengelolaan sistem pemerintahan yang menempatkan transparansi, kontrol, dan accountability yang dijadikan sebagai nilai-nilai yang sentral. Dalam implementasi good governance ini hukum harus menjadi dasar, acuan, dan rambu-rambu bagi penerapan konsep tersebut. Artinya, perlu suatu upaya bagaimana rule of law itu sendiri di dalam menentukan suatu good governance. Hal inipun diakui oleh B. Arief Sidharta (1999), bahwa good governance hanya mungkin terwujud dalam negara hukum yang di dalam penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat dan negara berlaku supremasi hukum.
Sebagaimana sudah banyak diketahui, konsep good governance berakar pada suatu gagasan adanya saling ketergantungan (interdependence) dan interaksi dari bermacam-macam sektor kelembagaan di semua level di dalam negara terutama lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Berkenaan dengan kontrol yuridis oleh lembaga yudikatif terhadap lembaga eksekutif pelaksanaan good governance diharapkan dapat terealisasi dengan baik. Kontrol yuridis oleh lembaga yudikatif dalam hal pemerintah melaksanakan fungsi administrasi negaranya dilaksanakan oleh peradilan administrasi negara (PTUN). Maksudnya adalah peradilan administrasi negara (PTUN) menjadi salah satu komponen dalam suatu sistem yang menentukan terwujudnya good governance.
Penulis melihat adanya keterkaitan yang erat antara konsep good governance dengan konsep keberadaan pengadilan administrasi negara (PTUN). Keterkaitan ini dapat diketahui dengan memahami prinsip-prinsip utama dari good governance itu sendiri dan fungsi utama dari pengadilan administrasi negara (PTUN). Meskipun unsur-unsur dari good governance banyak yang masih memberikan kriteria masing-masing, tetapi pada intinya ada lima prinsip utama dalam good governance, yaitu akuntabilitas (accountability), transparansi (transparancy), keterbukaan (openess), penegakan hukum (rule of law), dan jaminan fairness atau a level playing field (perlakuan yang adil atau perlakuan kesetaraan). Prinsip terakhir ini sering disebut dengan perlindungan terhadap hak asasi manusia.
Apabila konsep good governance disambung-hubungkan dengan konsep supremasi hukum dan konsep sistem pemerintahan yang baik dan bersih dalam hukum administrasi negara secara normatif, maka akan ditemukan persamaannya dengan konsep rechtmatigheid van bestuur yang dimaknakan sebagai “asas keabsahan dalam pemerintahan” atau asas menurut hukum. Jika perbuatan hukum publik oleh pejabat administrasi itu onrechtmatigheid, maka perbuatan pejabat administrasi tersebut telah “melanggar hukum”.
Makna good dalam good governance disini menurut Sjahruddin Rasul (2000 : 121) mengandung dua pengertian; pertama, nilai-nilai yang menjunjung tinggi keinginan/kehendak rakyat dan nilai-nilai yang dapat meningkatkan kemampuan rakyat dalam pencapaian tujuan (nasional) kemandirian, pembangunan berkelanjutan dan keadilan sosial; kedua, aspek-aspek fungsional dari pemerintahan yang efektif dan efisien dalam pelaksanaan tugasnya untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut. Selain itupun beliau memaknai governance sebagai institusi yang terdiri dari tiga domain, yaitu state (negara atau pemerintahan), private sector (sektor swasta atau dunia usaha), dan society (masyarakat). Dengan demikian ketiga domain ini dalam upaya mewujudkan good governance saling berinteraksi dan terkoordinasi serta dapat menjalankan peran dan fungsinya masing-masing dengan baik.
Beranjak dari ketiga domain tersebut, sektor negara atau pemerintah dalam arti luas merupakan sektor yang sangat kuat, lain dengan sektor swasta dan masyarakat yang posisinya lebih lemah karena segala kebijakan ditentukan oleh sektor negara tersebut. Oleh karena itu, sektor swasta dan masyarakat ini mendapat perlindungan hukum dari pengadilan administrasi negara (PTUN) apabila ada perbuatan hukum publik dari pejabat administrasi yang merugikan hak-haknya. Perlindungan hukum ini disebutkan dalam Pasal 53 ayat (1) UU PTUN yang menyatakan bahwa :
“Orang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu keputusan tata usaha negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada pengadilan yang berwenang yang berisi agar keputusan tata usaha negara yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan/ atau direhabilitasi.”
Berdasarkan ketentuan tersebut, terlihat adanya unsur penegakan hukum dan perlindungan hukum bagi rakyat Indonesia dalam undang-undang peradilan administrasi negara (PTUN) ini. Hal ini sesuai dengan prinsip ke-4 dan ke-5 dari lima prinsip good governance, sedangkan prinsip akuntabilitas, transparansi dan keterbukaan juga merupakan unsur penting dalam hal penyelenggaraan sistem pemerintahan.
Menurut Sjahruddin Rasul (2000 : 135-136), akuntabilitas merupakan suatu perwuju dan kewajiban untuk mempertanggungjawabkan keberhasilan atau kegagalan pelaksanaan misi organisasi dalam mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan. Dalam pemerintahan, akuntabilitas merupakan perwujudan kewajiban dari suatu instansi pemerintah untuk mempertanggungjawabkan keberhasilan atau kegagalan pelaksanaan misinya. Berdasarkan hal tersebut menurut penulis, pejabat administrasi negara dalam menjalankan tugasnya pun dimintai pertanggungjawabannya ketika melakukan perbuatan hukum publik, terlebih apabila perbuatannya itu melanggar hukum. Pertanggungjawaban ini secara hukum dapat diajukan ke pengadilan administarasi negara (PTUN) sebagai lembaga hukum yang melaksanakan fungsi judicial control.
Adapun unsur transparansi dan keterbukaan dalam konsep good governance merupakan dua hal yang tidak terpisahkan. Transparansi dan keterbukaan perbuatan hukum publik oleh pejabat administrasi negara merupakan bentuk perlindungan hukum bagi rakyat. Dikatakan demikian, karena dalam hal pejabat administrasi negara membuat suatu kebijakan atau keputusan administrasi negara maka rakyat yang mempunyai kepentingan atas kebijakan atau keputusan tersebut harus mengetahui secara transparan atau terbuka. Misalnya dalam perekrutan pegawai negerai sipil atau penerimaan mahasiswa ke perguruan tinggi negeri harus dibuat dalam suatu keputusan administrasi yang sifatnya transparan dan terbuka bagi publik untuk mengetahui proses dan hasil perekrutan tersebut. Hal ini pun nantinya ada suatu pertanggung jawaban secara hukum, bila ada pihak yang merasa dirugikan atas keputusan administrasi negara tentang hasil penerimaan tadi.
D. Penutup
Dapatlah disimpulkan disini bahwa eksistensi pengadilan administrasi negara (PTUN) adalah selain sebagai salah satu ciri negara hukum modern, juga memberikan perlindungan hukum kepada masyarakat serta aparatur pemerintahan itu sendiri karena pengadilan administrasi negara (PTUN) melakukan kontrol yuridis terhadap perbuatan hukum publik pejabat administrasi negara. Kaitannya dengan prinsip-prinsip dalam good governance pada dasarnya menjadi pedoman bagi pejabat administrasi negara dalam melaksanakan urusan pemerintahan yaitu mencegah terjadinya KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme), menciptakan birokrasi yang semakin baik, transparan, dan effisien, serta membangun prinsip-prinsip yang lebih demokratis, objektif dan profesional dalam rangka menjalankan roda pemerintahan menuju terciptanya keadilan dan kepastian hukum dalam masyarkat.
0 komentar:
Posting Komentar