Istilah kodikologi berasal dari kata Latin ‘codex’ (bentuk tunggal; bentuk jamak ‘codies’) yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi ‘naskah’–bukan menjadi ‘kodeks’. Sri Wulan Rujiati Mulyadi mengatakan kata ’caudex’ atau ‘codex’ dalam bahasa Latin menunjukkan hubungan pemanfaatan kayu sebagai alas tulis yang pada dasarnya kata itu berarti ‘teras batang pohon’. Kata ‘codex’ kemudian di berbagai bahasa dipakai untuk menunjukkan suatu karya klasik dalam bentuk naskah.
Hermans dan Huisman menjelaskan bahwa istilah kodikologi (codicologie) diusulkan oleh seorang ahli bahasa Yunani, Alphonse Dain, dalam kuliah-kuliahnya di Ecole Normale Seprieure, Paris, pada bulan Februari 1944. Akan tetapi istilah ini baru terkenal pada tahun 1949 ketika karyanya, ‘Les Manuscrits’ diterbitkan pertama kali pada tahun tersebut. Dain sendiri mengatakan bahwa kodikologi adalah ilmu mengenai naskah-naskah dan bukan mempelajari apa yang tertulis di dalam naskah. Dain juga menegaskan walaupun kata kodikologi itu baru, ilmu kodikologinya sendiri bukanlah hal yang baru. Selanjutnya Dain juga mengatakan bahwa tugas dan “daerah” kodikologi antara lain ialah sejarah naskah, sejarah koleksi naskah, penelitian mengenai tempat naskah2 yang sebenarnya, masalah penyusunan katalog, penyusunan daftar katalog, perdagangan naskah, dan penggunaan2 naskah itu.
Kodikologi, atau biasa disebut ilmu pernaskahan bertujuan mengetahui segala aspek naskah yang diteliti. Aspek-aspek tersebut adalah aspek di luar isi kandungan naskah tentunya.
Nah, analisis kodikologi ini, sesuai dengan tujuannya tadi, yaitu penyusunan daftar katalog, selanjutnya juga memberi perhatian pada fisik naskah. Kenapa? Karena dalam katalog, biasanya (ga harus memang) terdapat juga deskripsi fisik naskah selain informasi di mana naskah itu berada. Pendeskripsian ini berguna untuk membantu para peneliti mengetahui ketersediaan naskah itu sehingga memudahkan penelitian. Maka selain mencari asal-usul dan kejelasan mengenai kapan, bagaimana, dan dari mana naskah tersebut dihasilkan, analisis kodikologi juga berkembang juga pada ada/tidaknya illuminasi dan ilustrasi, jumlah kuras naskah, bentuk jilidannya, sejauh mana kerusakan naskah (robek, terbakar, terpotong, rusak karena pernah terkena cairan, dimakan binatang, berjamur, hancur/patah, dll)–pendeknya segala hal yang bisa diketahui mengenai naskah itu.
Hal awal yang biasanya dilakukan dalam analisis kodikologi adalah menyusuri sejarah naskah. Sejarah naskah kan biasanya didapat dari catatan-catatan di halaman awal/akhir yang ditulis oleh pemilik/penyimpan naskah itu. Nah, untuk fisik naskahnya, yang dilihat adalah panjang, lebar, ketebalan naskah keseluruhan, panjang, lebar, dan jumlah halaman yang digunakan untuk menulis, dan bahan atau media naskah.
Setelah hal-hal di atas, kita pun masuk ke bagian dalam naskah, yaitu bagian naskah yang ditulisi atau teks. Di sini kita akan melihat jenis huruf dan bahasa yang digunakan, ada atau tidaknya rubrikasi atau penanda awal dan akhir bagian dalam tulisan (biasanya berupa tulisan yang diwarnai berbeda dengan tulisan isi), ada atau tidaknya catchword/ kata pengait yang biasanya digunakan untuk menandai halaman naskah, o iya, jangan lupa bentuk tulisan naskah, apakah seperti penulisan cerita pada umumnya, ataukah berbentuk kolom-kolom hingga dalam satu halaman bisa terdapat dua atau lebih kolom tulisan (seperti syair). Selanjutnya kita mengecek garis bantuan yang digunakan untuk mengatur tulisan, cap kertas (watermark dan countermark) yang menandai perusahaan penghasil kertas alas, ada atau tidaknya iluminasi (hiasan di pinggir naskah) dan ilustrasi (bagian yang berisikan gambar keterangan yang menjelaskan sesuatu dalam naskah). Jangan lupa dicatat kerusakan-kerusakan yang ada. Filologi
Nah, kenapa filologi perlu?
Setelah melihat semangat Renaissance yang mengawali penelitian tentang naskah, bisa kita pastikan memang yang memperlihatkan pentingnya pengkajian naskah Nusantara adalah orang Eropa yang datang ke Indonesia. Dengan pengkajian2 naskah yang mereka lakukan, mereka memperlihatkan pada kita bahwa naskah-naskah yang kita miliki itu penting dan sangat berguna untuk membangun pemahaman kita akan masa lampau kita sendiri. Penelitian filologi, seharusnya bisa membuka pengetahuan-pengetahuan yang ada dalam naskah pada masyarakat luas yang membutuhkan. Misalnya, para ahli hukum bisa memahami sejarah undang-undang yang mereka gunakan–yang memang sebenarnya udah ada sejak zaman nenek moyang mereka. Para ahli obat bisa melihat obat-obat yang udah digunakan sejak masa lalu, plus pengalaman orang2 tua mereka menggunakan obat-obatan itu. Naskah juga menyimpan banyak cerita kehidupan masyarakat lampau yang berguna untuk penelitian psikologi, antropologi, sosiologi, dan berbagai ilmu terapan dan selain ilmu murni seperti linguistik. Dari naskah-naskah klasik ini juga kita bisa mendapatkan informasi-informasi penting lho. Sebagai contoh, naskah Hikayat Raja-Raja Pasai, ternyata bisa membantu mengidentifikasi dua nama yang tercantum pada batu nisan yang diketemukan di daerah Aceh, yaitu Malik Al-Saleh dan Malik Al-Zahir yang kemudian dikenal sebagai Raja-Raja Pasai. Tanpa bantuan naskah itu, fakta tersebut tidak akan pernah terungkap. (Achadiati Ikram, 1983: 10) tingginya peradaban suatu bangsa di masa dulu biasanya dilihat dari sedikit/banyaknya hasil kebudayaan yang mereka miliki. Nah, Ibu Ikram mengatakan, sayangnya pemahaman tingginya suatu kebudayaan selalu dilihat dari sisa2 kebudayaan seperti alat-alat masak, alat2 batu, pertukangan, tugu peringatan, bangunan peribadatan, dll, tapi jarang banget ada yang mengingat tentang naskah. Bukankah malah dari dari naskah kita bisa melihat sejauh mana pikiran manusia2 masa lalu. Bagaimana mereka hidup, keadaan sosiokultural mereka, dan berbagai macam hal lainnya.
Kodikologi, atau biasa disebut ilmu pernaskahan bertujuan mengetahui segala aspek naskah yang diteliti. Aspek-aspek tersebut adalah aspek di luar isi kandungan naskah tentunya.
Nah, analisis kodikologi ini, sesuai dengan tujuannya tadi, yaitu penyusunan daftar katalog, selanjutnya juga memberi perhatian pada fisik naskah. Kenapa? Karena dalam katalog, biasanya (ga harus memang) terdapat juga deskripsi fisik naskah selain informasi di mana naskah itu berada. Pendeskripsian ini berguna untuk membantu para peneliti mengetahui ketersediaan naskah itu sehingga memudahkan penelitian. Maka selain mencari asal-usul dan kejelasan mengenai kapan, bagaimana, dan dari mana naskah tersebut dihasilkan, analisis kodikologi juga berkembang juga pada ada/tidaknya illuminasi dan ilustrasi, jumlah kuras naskah, bentuk jilidannya, sejauh mana kerusakan naskah (robek, terbakar, terpotong, rusak karena pernah terkena cairan, dimakan binatang, berjamur, hancur/patah, dll)–pendeknya segala hal yang bisa diketahui mengenai naskah itu.
Hal awal yang biasanya dilakukan dalam analisis kodikologi adalah menyusuri sejarah naskah. Sejarah naskah kan biasanya didapat dari catatan-catatan di halaman awal/akhir yang ditulis oleh pemilik/penyimpan naskah itu. Nah, untuk fisik naskahnya, yang dilihat adalah panjang, lebar, ketebalan naskah keseluruhan, panjang, lebar, dan jumlah halaman yang digunakan untuk menulis, dan bahan atau media naskah.
Setelah hal-hal di atas, kita pun masuk ke bagian dalam naskah, yaitu bagian naskah yang ditulisi atau teks. Di sini kita akan melihat jenis huruf dan bahasa yang digunakan, ada atau tidaknya rubrikasi atau penanda awal dan akhir bagian dalam tulisan (biasanya berupa tulisan yang diwarnai berbeda dengan tulisan isi), ada atau tidaknya catchword/ kata pengait yang biasanya digunakan untuk menandai halaman naskah, o iya, jangan lupa bentuk tulisan naskah, apakah seperti penulisan cerita pada umumnya, ataukah berbentuk kolom-kolom hingga dalam satu halaman bisa terdapat dua atau lebih kolom tulisan (seperti syair). Selanjutnya kita mengecek garis bantuan yang digunakan untuk mengatur tulisan, cap kertas (watermark dan countermark) yang menandai perusahaan penghasil kertas alas, ada atau tidaknya iluminasi (hiasan di pinggir naskah) dan ilustrasi (bagian yang berisikan gambar keterangan yang menjelaskan sesuatu dalam naskah). Jangan lupa dicatat kerusakan-kerusakan yang ada. Filologi
Nah, kenapa filologi perlu?
Setelah melihat semangat Renaissance yang mengawali penelitian tentang naskah, bisa kita pastikan memang yang memperlihatkan pentingnya pengkajian naskah Nusantara adalah orang Eropa yang datang ke Indonesia. Dengan pengkajian2 naskah yang mereka lakukan, mereka memperlihatkan pada kita bahwa naskah-naskah yang kita miliki itu penting dan sangat berguna untuk membangun pemahaman kita akan masa lampau kita sendiri. Penelitian filologi, seharusnya bisa membuka pengetahuan-pengetahuan yang ada dalam naskah pada masyarakat luas yang membutuhkan. Misalnya, para ahli hukum bisa memahami sejarah undang-undang yang mereka gunakan–yang memang sebenarnya udah ada sejak zaman nenek moyang mereka. Para ahli obat bisa melihat obat-obat yang udah digunakan sejak masa lalu, plus pengalaman orang2 tua mereka menggunakan obat-obatan itu. Naskah juga menyimpan banyak cerita kehidupan masyarakat lampau yang berguna untuk penelitian psikologi, antropologi, sosiologi, dan berbagai ilmu terapan dan selain ilmu murni seperti linguistik. Dari naskah-naskah klasik ini juga kita bisa mendapatkan informasi-informasi penting lho. Sebagai contoh, naskah Hikayat Raja-Raja Pasai, ternyata bisa membantu mengidentifikasi dua nama yang tercantum pada batu nisan yang diketemukan di daerah Aceh, yaitu Malik Al-Saleh dan Malik Al-Zahir yang kemudian dikenal sebagai Raja-Raja Pasai. Tanpa bantuan naskah itu, fakta tersebut tidak akan pernah terungkap. (Achadiati Ikram, 1983: 10) tingginya peradaban suatu bangsa di masa dulu biasanya dilihat dari sedikit/banyaknya hasil kebudayaan yang mereka miliki. Nah, Ibu Ikram mengatakan, sayangnya pemahaman tingginya suatu kebudayaan selalu dilihat dari sisa2 kebudayaan seperti alat-alat masak, alat2 batu, pertukangan, tugu peringatan, bangunan peribadatan, dll, tapi jarang banget ada yang mengingat tentang naskah. Bukankah malah dari dari naskah kita bisa melihat sejauh mana pikiran manusia2 masa lalu. Bagaimana mereka hidup, keadaan sosiokultural mereka, dan berbagai macam hal lainnya.
0 komentar:
Posting Komentar