Indonesia asalah Negara yang amat kaya, dan kekayaan Indonesia itu sangatlah komplek. Artinya dalam segala hal Indonesia sebenarnya memiliki dan ada, namun penulis menitik beratkan pada kekayaan budaya (multi culture) di Indonesia mengenai kebudayaan sangatlah beragam mulai dari kebudayaan sepiritual (agama), suku, bahasa, bangsa, ras, adat istiadat, dll. Dengan beragamnya budaya yang berada di Indonesia menunjukkan bahwa sebenarnya bangsa ini adalah bangsa yang amat kaya.
Namun realitasnya kekayaan itu tidak mampu diadopsi oleh masyarakat Indonesia untuk dijadikan sebagai sumber nilai yang hasanah untuk kemaslahatan masyarakat, malah yang terjadi dimasyarakat saat ini bukan kemaslahatan tetapi malah muncul dikatomi dari masing masing kelompok mereka, dan berawal dari dikatomi itulah akhirnya bisa muncul konflik, dan lebih dari itu realitas di masyarakat saat ini sudah banyak muncul konflik yang sudah tidak bisa dikendalikan yakni kekerasan bahkan lebih celakanya agama yang seharusnya memberikan nilai-nilai etika untuk merangkul semua umat atau golongan malah mereka jadikan sebagai bahan untuk melakukan kekerasan pada yang lain seperti kekerasan yang terjadi pada kelompok Ahmadiyah. Dan saya sebenarnya juga merasakan keterpukulan atas apa yang terjadi pada kelompok Ahamdiyah walau bagaimanapun baik obyek maupun suyek dari kekerasan itu adalah orang-orang yang seagama dan sebangsa dengan saya yakni Islam dan Indonesia. Di dalam kesehariannya dan dari lubuk hatinya yang paling mendalam pastilah mereka adalah orang yang mendambakan kedamaian dan keamanan. Akan tetapi karena factor social politik dll, maka mereka menjadi keras dan cenderung merusak. Cobalah simak beberapa kerusuhan yan terjadi akhir-akhir ini, pastilah penyebabnya karena ketidakpuasan politik atau ekonomi dan masalah kemanusiaan yang lain. Berikut pemakalah akan menyajikan kekerasan dalam pandangan ayat—ayat al-qur’an
PEMBAHASAN
1. Ayat-Ayat Al-Qur’an Megenai Anarki Dan Kekerasan
a. Surat Al-Hujurat, Ayat 11,12,13
Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olokkan kaum yang lain, karena boleh jadi mereka (yang diolok-olok) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olokkan) wanita yang lain karena boleh jadi wanita-wanita yang diolok-olok itu lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok), dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri, dan janganlah kamu panggil memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah beriman, dan barang siapa yang tidak bertaubat maka mereka itulah orang-orang yang zalim. (Al-Hujarat, 11)
Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang (Al-Hujarat, 12)
Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perem puan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal. (Al-Hujarat, 13) 1
b. Azbabun Nuzul
Dikemukakan oleh Ashabus Sunanil Arba’ah (didalam kirtab sunan yang empat) yang bersumber dari Abi Jubair Bin Adl-Dlahhak yang berkata : bahwa seorang laki-laki dari kami (para sahabat) mempunyai dua atau tiga nama, dan dipanggil dengan nama tertentu agar orang itu tidak suka, maka turunlah ayat “WA LAA TANAABAZUU BIL ALQAABI” berkenaan dengan peristiwa itu sebagai larangan memanggil nama orang dengan (julukan) yang tidak menyenangkan.
Menurut At-Tirmidz hadits itu adalah hasan atau baik.
Dikemukakan oleh Al-Hakim dan yang lainnya yang bersumber dari al-hadis Abi Jubair Bin Adl-Dlahhak pula yang berkata: bahwa nama-nama gelaran dizaman jahiliyyah sangat banyak. Lalu beliau memanggil dari seorang mereka dengan nama gelarnya. Ada salah satu sahabat yang memberi tahukan kepada Nabi Muhammad Saw bahwa orang yang dipanggil itu tidak senang dengan nama gelarnya itu maka Allah menurunkan ayat “WA LAA TANAABAZUU BIL ALQAABI” yang berkenaan dengan peristiwa itu dan melarang orang yang memanggil dengan nama gelar yang tidak menyenangkan.
Menurut Ahmad yang bersumber dari Abu Jubair Bin Adl-Dlahhak lafald demikian: dia (Abu Jubair Bin Adl-Dlahhak) berkata bahwa turunnya ayat “WA LAA TANAABAZUU BIL ALQAABI” berkenaan dengan Bani Salamah. Ketika Nabi Muhammad saw. Tiba di Madinah, tidak ada seorangpun dari kami kecuali mempunyai dua atau tiga nama. Apabila Nabi Muhammad Saw memanggil salah seorang da ri mereka dengan nama salah satunya, tapi ada orang yang berkata : “ Ya Rasulallah, dia marah dengan nama panggilan ini”, maka turunkah ayattersebut diatas, yang melarang memanggil orang dengan nama gelarannya yang tidak menyenangkan. (Al-Hujarat, 11)
Dikemukakan oleh Ibnu Mundzir yang bersumber dari Ibnu Juraij yang berkata : bahwa mereka menganggap turunnya ayat ini (Al-Hujarat, 12) berkenaan dengan Salman Al-Farisi yang apabila ia habis makan langsung tidur dan mendengkur. Lalu ada orang yang menceritakan dan mengguncingkan mengenai makan dan tidurnya tadi kepada orang lain, maka turunlah ayat tersebut berkenaan dengan peristiwa itu yang melarang mengguncing dan menceritakan aib orang lain. (Al-Hujarat, 12)
Dikemukakan oleh Ibnu Abi Hatim yang bersumber dari Ibnu Abi Malikah yang berkata : ketika terjadi peristiwa penahlukan kota Makkah bilal naik ke atas panggung ka’bah dan mengumandangkan adzan. Orang – orang berkata : “orang yang adzan diatas ka’bah itukan budak hitam” . maka berkatalah sebagiannya: “sekiranya Allah membencinya, tentu akan menggantinya” maka Allah menurunkan ayat “……................YA AYYUHANNASU INNAA KHALAQNAAKUM MIN DZAKARIN WA UNTSA……………………...... samapai akhir ayat ke (13) berkenaan dengan peristiwa itu yang menerangkan bahwa didalam agama islam tidak mengenal diskriminasi sehingga atas diskriminasi itu bisa menimbulkan rasa benci diantarany sehingga akan muncul hal yang berbau kekerasan ataupun anarki sehingga keamanan masyarakat terganggu. Ukuran kemuliaan seseorang hanyalah tergantung ketakwaan kepada Allah SWT.2
Ibnu ‘Asakir berkata didalam kitab Mubhimatnya : saya mendapati Khath Ibni Basy Kual, bahwa Abi Baker Bin Abi Daud mengemukakan didalam buku tafsirnya : bahwa ayat tersebut diturunkan berkenaan dengan Abi Hindun, oleh Rasulullah Saw menyuruh kaum Bani Bayadlah untuk mengawinkan salah seorang wanita dengannya. Mereka berkata : Ya Rasulallah, pantaskah kami mengawinkan putra-putri kami dengan maula-maula kami ? “maka turunlah ayat tersebut. Berkenaan dengan peristiwa itu yang menegaskan ba hwa islam tidak mengenal perbedaan bekas budak dengan orang-orang yang merdeka. 3
c. Tafsir Ayat
Allah swt melarang hamba-hambanya orang-orang mukmin saling berolok – olokan, hina menghina dan cela mencela janganlah suatu kaum diantaramu mengolok –olok, menghina dan menganggap rendah kaum yang lain, karena kemungkinan kaum yag dihina dan diperolokkan itu lebih baik dari pada kaum yang mengolok-olok, dan belum tentu bahwa yang mengolok-olok itu lebih baik dari pada yang diolok-olok.
Demikian diantara wanita-wanita yang beriman, janganlah sekali-kali berolok-olok dan saling menghina diantara sesama wanita mukmin. Allah swt melarang juga dalam ayat ini mencela diri sendiri dengan mencela orang lain (sesame mukmin) karena sesama mukmin itu bagaikan satu tubuh, satu bangunan. Dan juga janganlah kamu saling memanggil dengan gelar-gelar yang buruk yang tidak disukai oleh yang dipanggil. Dan seburuk-buruk gelar yang digunakan dalam panggilan-panggilan waktu jahiliyyah, yang masih digunakan juga sesudah orang yang beriman. Dan barang siapa yang tidak bertobat maka ia termsuk orang yang zalim.
Allah swt berfirman melarang hamba-hambanya yang beriman berprasangka yang bukan pada tempatnya terhadap keluarganya, dan terhadap orang lainpun, karena sebagian prasangka itu merupakan perbuatan yang membawa dosa dan janganlah kamu mengintai dan mencari-cari kesalahan orang lain. Allah memperumpamakan orang yang menggunjing sesama saudaranya yang mukmin, seperti seorang yang makan daging saudara yang telah mati. Tentu tak seorangpun diantara kamu yang suka terhadap perbuatan yang sedemikian. Maka bertawakkallah kamu kepada Allah, sesungguhnya dia maha penerima lagi maha penyayang.
Allah swt berfirrman bahwa sanya dia telah menciptakan seseorang dari seorang laki-laki, ialah Adam dan seorang perempuan ialah Hawa, kemudian menjdikan umat manusia menjdai terpecah-pecah menjadi bangsa-bangsa dan dari bangsa-bangsa menjadi suku-suku dengan demikian supaya mereka saling mengenal bukan untuk saling mejatuhkan satu sama lain. Dan sesungguhnya umat manusia itu adalah sama dihadapan Allah swt, tiada suatu bangsa yang mempunyai kelebihan dengan yang lain, semuanya adalah sama-sama anak cucu Adam. Dan yang paling mulia disisi tuhan adalah yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah maha mengetahui lagi maha mengenal.
Sabda Rasul yang berarti:
“semua orang muslim adalah saudara tiada kelebihan seorang terhadap yang lain melainkan dengan taqwa kepada Allah swt.”
Sabda Rasul yang lain:
“kamu semua adalah anak Adam dan Adam diciptakan dari tanah, maka hendaklah kaum yang selalu membangga-banggakan nenek moyangnya menghentikan aksinya itu atau mereka akan menjadi hina dihadapan Allah dari pada seekor kepik.” 4
d. Analisis dan Korelasi Ayat
Pada ayat tersebut kata kaum dihubungkan pada kelompok orang-orang yang beriman, baik laki-laki maupun perempuan, ini menunjukkan kata kaum berhubungan dengan manusia. Al-qur’an menghendaki agar hubungan kemasyarakan manusia dapat berjalan baik, hendaknya disertai dengan etika. Antara satu dengan yang lainya tidak boleh saling mengejek, memanggil dengan sebutan atau gelar yang buruk. Selanjutnya dalam surat al-hujurat ayat 12 etika hubungan tersebut dilanjutkan dengan larangan saling berburuk sangka (negative thinking), menghindari mencari-cari kesalahan orang lain, membicarakan keburukan orang lain (menggunjing) agar terhindar dari perbuatan tersebut seseorang hendaknya meningkatkan ketaqwaan kepada Allah, sedangkan dijelaskan pula didalam surat al-hujurat ayat 10 bahwa sanya dasar untuk membangun kemaslahatan umat itu adalah rasa ukhuwah (persaudaraan) dan menjauhkan diri dari perbuatan yang berbaur anarkis dan kekerasan, masyarakat yang ingin kokoh dan bertahan dalam menghadapi berbagai tantangan yakni masyarakat yang berpegang dan menjunjung tinggi pada nilai-nilai moraalitas dan akhlak yang mulia, yakni masyarakat yang antara satu dan yang lainnya tidak saling menyakiti, menzalimi, merugiakan orang lain, mencurigai, mengejek dan sebagianya, sehingga kemaslahatan umat senantiasa tercipta dan masyarakatpun merasa aman dan nyaman dalam pelaksanaan kegiatan kesehariannya karena bisa terhindar dari ancaman anarkis taupuin kekerasan oleh orang lain.
Pentingnya menegakkan nilai-nilai akhlak dalam mengakkan masyarakat yang kokoh, pada taraf selanjutnya mengarah pada terbentuknya masyarakat madani, yakni masyarakat yang mengaplikasikan nilai-nilai Ilahiyah dan Insaniyah sebagaimana yang dijumpai pada masa Rasulullah Saw perubahan kota Yatsrib menjadi kota Madinah sepeti yang kita ketahui saat ini merupakan hasil dari kata Madinah yang berarti “berperadapan”
Masyarakat madani selanjutnya diidentikkan dengan sivil society walupun tidak sepenuhnya tepat. Dalam kaitan ini Alexis de Tocqueville mengatakan bahwa civil society adalah kehidupan social yang terorganisir dan bercirikan antara lain kesukarelaan, keswasembadaan, kemandirian dan terikat dengan norma-norma atau nilai-nilai hokum yang diikuti oleh warganya.
Selanjutnya dalam istilah Ibnu Khaldun disebut sebagai model siyasah madinah , diantara siyasah-siyasah lain yang saling menunjang. Namun demikian pada civil society nilai-nilai tersebut dirumuskan sendiri oleh masyarakat berdasarkan hasil penalaran dan pengalaman hidupnya. Hal ini berbeda dengan masyarakat madani yang berpegang pada nilai-nilai yang merupakan hokum tuhan. Nilai-nilai tersebut adalah : 1). Berasaskan iman yang kokoh 2). Menempatkan agama pada posisi yang tinggi 3). Menggunakan akhlak dan tata susila sebagai penilaian tertinggi 4). Memberi perhatian dan penghargaan terhadap ilmu 5). Memuliakan hak asasi manusia 6). Memberikan perhatian terhadap pertumbuhan dan perkembangan keluarga yang sakinah 7). Bersedia menerima perubahan (dinamis) selama sejalan dengan nilai-nilai islam. 8). Berorientasi pada produktifitas kerja 9).Menempatkan harta benda sebagai alat untuk menggapai tujuan bukan sebagai alat untuk berkuasa sehingga semena-mena terhadap kebijakan yang dapat menimbulkan nilai-nilai anarkis ataupun kekerasan sehingga bisa merugikan orang lain 10). Kekuatan dan keteguhan yang didasarkan pada agama, akhlak dan kebenaran dijadikan tolak ukur kebenaran 11). Bersikap terbuka 12). Sejalan den gan daya kesanggupan manusia. 5
PENUTUP
Islam adalah agama yang tidak hanya membawa ajaran dalam satu dimensi saja, melainkan meliputi berbagai aspek kehidupan. Pertama, aspek ibadah. Manusia dalam pandangan Islam tersusun dari dua unsur, jasmani dan rohani. Unsur jasmani menuntut terpenuhinya kebutuhan material, sedang rohani menuntut terpenuhinya kebutuhan imaterial. Jasmani lebih banyak dipengaruhi hawa nafsu sehingga cenderung melahirkan kejahatan. Rohani lebih banyak didominasi oleh roh sehingga cenderung melahirkan kesucian. Islam menetapkan ibadah satu-satunya sarana untuk memproses pengembangan unsur rohaniah dalam diri manusia. Semua jenis ibadah seperti shalat, zakat, puasa, dan haji memiliki tujuan dan target membuat manusia supaya senantiasa tidak melupakan Tuhan (Sang Pencipta). Dengan demikian, kedekatan antara makhluk dengan Kholik merupakan target utama (substansial) dari ibadah.
Kedua, aspek politik. Persoalan yang pertama-tama muncul dalam dunia Islam bukan menyangkut masalah keyakinan (ideologis) melainkan justru masalah politik (urusan jabatan kekuasaan). Nabi Muhammad SAW sendiri ketika berada di Madinah memiliki peran ganda; satu sisi sebagai rasul (utusan) Allah SWT, dan di sisi lain sebagai kepala negara (tokoh politik). Ketiga, aspek hukum. Islam menetapkan bahwa keberadaan masyarakat akan harmonis kalau diikat dan diatur dengan hukum. Hukum yang dipakai oleh Islam bersumber dari wahyu (Al Quran dan Hadist). Dari keterangan diatas jelas islam sangat melarang perbuatan anarkis.
Bentuk-bentuk perilaku yang tidak santun (anarkisme) di kalangan para pemeluk agama, ternyata disebabkan oleh pengamalan agama (keberagamaan) yang hanya sebatas aspek ritual formal keagamaan. Maka tidak heran kalau pemeluk agama setelah shalat jamaah dari masjid, dari gereja, dari pura, masih mau bertikai, bertengkar dengan sesama manusia, melakukan perusakan, pembakaran rumah orang lain, dan sebagainya.
Darisini dapat dilihat bahwa penyebab munculnya tindaka anarkhis dalam umat beragama adalah :
• Pola beragama yang masih sepotong-potong tidak utuh.
• Penggunaan akal yang masih dikalahkan oleh emosi seseorang
• Pola berpikir manusia yang mengartikan/menafsirkan segala sesuatu apa adanya, tidak dipikir secara luas.
• Mental manusia yang masih mudah untuk dipengaruhi oleh informasi yang datang pada dirinya baik itu yang baik ataupun yang buruk.
• Kondisi kehidupan masyarakat itu sendiri.
Agama benar-benar menjadi landasan dalam melakukan aktivitas para pemeluknya kapan saja, di mana saja, dan dalam kondisi apa pun. Hakikat beragama, sebenarnya terletak pada kedekatan psikologis antara para pemeluk agama (makhluk) dengan Sang Pencipta (Tuhan). Tanpa ada perubahan paradigma tersebut mustahil akan terwujud perilaku yang santun, harmonis, dan damai.
PEMBAHASAN
1. Ayat-Ayat Al-Qur’an Megenai Anarki Dan Kekerasan
a. Surat Al-Hujurat, Ayat 11,12,13
Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olokkan kaum yang lain, karena boleh jadi mereka (yang diolok-olok) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olokkan) wanita yang lain karena boleh jadi wanita-wanita yang diolok-olok itu lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok), dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri, dan janganlah kamu panggil memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah beriman, dan barang siapa yang tidak bertaubat maka mereka itulah orang-orang yang zalim. (Al-Hujarat, 11)
Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang (Al-Hujarat, 12)
Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perem puan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal. (Al-Hujarat, 13) 1
b. Azbabun Nuzul
Dikemukakan oleh Ashabus Sunanil Arba’ah (didalam kirtab sunan yang empat) yang bersumber dari Abi Jubair Bin Adl-Dlahhak yang berkata : bahwa seorang laki-laki dari kami (para sahabat) mempunyai dua atau tiga nama, dan dipanggil dengan nama tertentu agar orang itu tidak suka, maka turunlah ayat “WA LAA TANAABAZUU BIL ALQAABI” berkenaan dengan peristiwa itu sebagai larangan memanggil nama orang dengan (julukan) yang tidak menyenangkan.
Menurut At-Tirmidz hadits itu adalah hasan atau baik.
Dikemukakan oleh Al-Hakim dan yang lainnya yang bersumber dari al-hadis Abi Jubair Bin Adl-Dlahhak pula yang berkata: bahwa nama-nama gelaran dizaman jahiliyyah sangat banyak. Lalu beliau memanggil dari seorang mereka dengan nama gelarnya. Ada salah satu sahabat yang memberi tahukan kepada Nabi Muhammad Saw bahwa orang yang dipanggil itu tidak senang dengan nama gelarnya itu maka Allah menurunkan ayat “WA LAA TANAABAZUU BIL ALQAABI” yang berkenaan dengan peristiwa itu dan melarang orang yang memanggil dengan nama gelar yang tidak menyenangkan.
Menurut Ahmad yang bersumber dari Abu Jubair Bin Adl-Dlahhak lafald demikian: dia (Abu Jubair Bin Adl-Dlahhak) berkata bahwa turunnya ayat “WA LAA TANAABAZUU BIL ALQAABI” berkenaan dengan Bani Salamah. Ketika Nabi Muhammad saw. Tiba di Madinah, tidak ada seorangpun dari kami kecuali mempunyai dua atau tiga nama. Apabila Nabi Muhammad Saw memanggil salah seorang da ri mereka dengan nama salah satunya, tapi ada orang yang berkata : “ Ya Rasulallah, dia marah dengan nama panggilan ini”, maka turunkah ayattersebut diatas, yang melarang memanggil orang dengan nama gelarannya yang tidak menyenangkan. (Al-Hujarat, 11)
Dikemukakan oleh Ibnu Mundzir yang bersumber dari Ibnu Juraij yang berkata : bahwa mereka menganggap turunnya ayat ini (Al-Hujarat, 12) berkenaan dengan Salman Al-Farisi yang apabila ia habis makan langsung tidur dan mendengkur. Lalu ada orang yang menceritakan dan mengguncingkan mengenai makan dan tidurnya tadi kepada orang lain, maka turunlah ayat tersebut berkenaan dengan peristiwa itu yang melarang mengguncing dan menceritakan aib orang lain. (Al-Hujarat, 12)
Dikemukakan oleh Ibnu Abi Hatim yang bersumber dari Ibnu Abi Malikah yang berkata : ketika terjadi peristiwa penahlukan kota Makkah bilal naik ke atas panggung ka’bah dan mengumandangkan adzan. Orang – orang berkata : “orang yang adzan diatas ka’bah itukan budak hitam” . maka berkatalah sebagiannya: “sekiranya Allah membencinya, tentu akan menggantinya” maka Allah menurunkan ayat “……................YA AYYUHANNASU INNAA KHALAQNAAKUM MIN DZAKARIN WA UNTSA……………………...... samapai akhir ayat ke (13) berkenaan dengan peristiwa itu yang menerangkan bahwa didalam agama islam tidak mengenal diskriminasi sehingga atas diskriminasi itu bisa menimbulkan rasa benci diantarany sehingga akan muncul hal yang berbau kekerasan ataupun anarki sehingga keamanan masyarakat terganggu. Ukuran kemuliaan seseorang hanyalah tergantung ketakwaan kepada Allah SWT.2
Ibnu ‘Asakir berkata didalam kitab Mubhimatnya : saya mendapati Khath Ibni Basy Kual, bahwa Abi Baker Bin Abi Daud mengemukakan didalam buku tafsirnya : bahwa ayat tersebut diturunkan berkenaan dengan Abi Hindun, oleh Rasulullah Saw menyuruh kaum Bani Bayadlah untuk mengawinkan salah seorang wanita dengannya. Mereka berkata : Ya Rasulallah, pantaskah kami mengawinkan putra-putri kami dengan maula-maula kami ? “maka turunlah ayat tersebut. Berkenaan dengan peristiwa itu yang menegaskan ba hwa islam tidak mengenal perbedaan bekas budak dengan orang-orang yang merdeka. 3
c. Tafsir Ayat
Allah swt melarang hamba-hambanya orang-orang mukmin saling berolok – olokan, hina menghina dan cela mencela janganlah suatu kaum diantaramu mengolok –olok, menghina dan menganggap rendah kaum yang lain, karena kemungkinan kaum yag dihina dan diperolokkan itu lebih baik dari pada kaum yang mengolok-olok, dan belum tentu bahwa yang mengolok-olok itu lebih baik dari pada yang diolok-olok.
Demikian diantara wanita-wanita yang beriman, janganlah sekali-kali berolok-olok dan saling menghina diantara sesama wanita mukmin. Allah swt melarang juga dalam ayat ini mencela diri sendiri dengan mencela orang lain (sesame mukmin) karena sesama mukmin itu bagaikan satu tubuh, satu bangunan. Dan juga janganlah kamu saling memanggil dengan gelar-gelar yang buruk yang tidak disukai oleh yang dipanggil. Dan seburuk-buruk gelar yang digunakan dalam panggilan-panggilan waktu jahiliyyah, yang masih digunakan juga sesudah orang yang beriman. Dan barang siapa yang tidak bertobat maka ia termsuk orang yang zalim.
Allah swt berfirman melarang hamba-hambanya yang beriman berprasangka yang bukan pada tempatnya terhadap keluarganya, dan terhadap orang lainpun, karena sebagian prasangka itu merupakan perbuatan yang membawa dosa dan janganlah kamu mengintai dan mencari-cari kesalahan orang lain. Allah memperumpamakan orang yang menggunjing sesama saudaranya yang mukmin, seperti seorang yang makan daging saudara yang telah mati. Tentu tak seorangpun diantara kamu yang suka terhadap perbuatan yang sedemikian. Maka bertawakkallah kamu kepada Allah, sesungguhnya dia maha penerima lagi maha penyayang.
Allah swt berfirrman bahwa sanya dia telah menciptakan seseorang dari seorang laki-laki, ialah Adam dan seorang perempuan ialah Hawa, kemudian menjdikan umat manusia menjdai terpecah-pecah menjadi bangsa-bangsa dan dari bangsa-bangsa menjadi suku-suku dengan demikian supaya mereka saling mengenal bukan untuk saling mejatuhkan satu sama lain. Dan sesungguhnya umat manusia itu adalah sama dihadapan Allah swt, tiada suatu bangsa yang mempunyai kelebihan dengan yang lain, semuanya adalah sama-sama anak cucu Adam. Dan yang paling mulia disisi tuhan adalah yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah maha mengetahui lagi maha mengenal.
Sabda Rasul yang berarti:
“semua orang muslim adalah saudara tiada kelebihan seorang terhadap yang lain melainkan dengan taqwa kepada Allah swt.”
Sabda Rasul yang lain:
“kamu semua adalah anak Adam dan Adam diciptakan dari tanah, maka hendaklah kaum yang selalu membangga-banggakan nenek moyangnya menghentikan aksinya itu atau mereka akan menjadi hina dihadapan Allah dari pada seekor kepik.” 4
d. Analisis dan Korelasi Ayat
Pada ayat tersebut kata kaum dihubungkan pada kelompok orang-orang yang beriman, baik laki-laki maupun perempuan, ini menunjukkan kata kaum berhubungan dengan manusia. Al-qur’an menghendaki agar hubungan kemasyarakan manusia dapat berjalan baik, hendaknya disertai dengan etika. Antara satu dengan yang lainya tidak boleh saling mengejek, memanggil dengan sebutan atau gelar yang buruk. Selanjutnya dalam surat al-hujurat ayat 12 etika hubungan tersebut dilanjutkan dengan larangan saling berburuk sangka (negative thinking), menghindari mencari-cari kesalahan orang lain, membicarakan keburukan orang lain (menggunjing) agar terhindar dari perbuatan tersebut seseorang hendaknya meningkatkan ketaqwaan kepada Allah, sedangkan dijelaskan pula didalam surat al-hujurat ayat 10 bahwa sanya dasar untuk membangun kemaslahatan umat itu adalah rasa ukhuwah (persaudaraan) dan menjauhkan diri dari perbuatan yang berbaur anarkis dan kekerasan, masyarakat yang ingin kokoh dan bertahan dalam menghadapi berbagai tantangan yakni masyarakat yang berpegang dan menjunjung tinggi pada nilai-nilai moraalitas dan akhlak yang mulia, yakni masyarakat yang antara satu dan yang lainnya tidak saling menyakiti, menzalimi, merugiakan orang lain, mencurigai, mengejek dan sebagianya, sehingga kemaslahatan umat senantiasa tercipta dan masyarakatpun merasa aman dan nyaman dalam pelaksanaan kegiatan kesehariannya karena bisa terhindar dari ancaman anarkis taupuin kekerasan oleh orang lain.
Pentingnya menegakkan nilai-nilai akhlak dalam mengakkan masyarakat yang kokoh, pada taraf selanjutnya mengarah pada terbentuknya masyarakat madani, yakni masyarakat yang mengaplikasikan nilai-nilai Ilahiyah dan Insaniyah sebagaimana yang dijumpai pada masa Rasulullah Saw perubahan kota Yatsrib menjadi kota Madinah sepeti yang kita ketahui saat ini merupakan hasil dari kata Madinah yang berarti “berperadapan”
Masyarakat madani selanjutnya diidentikkan dengan sivil society walupun tidak sepenuhnya tepat. Dalam kaitan ini Alexis de Tocqueville mengatakan bahwa civil society adalah kehidupan social yang terorganisir dan bercirikan antara lain kesukarelaan, keswasembadaan, kemandirian dan terikat dengan norma-norma atau nilai-nilai hokum yang diikuti oleh warganya.
Selanjutnya dalam istilah Ibnu Khaldun disebut sebagai model siyasah madinah , diantara siyasah-siyasah lain yang saling menunjang. Namun demikian pada civil society nilai-nilai tersebut dirumuskan sendiri oleh masyarakat berdasarkan hasil penalaran dan pengalaman hidupnya. Hal ini berbeda dengan masyarakat madani yang berpegang pada nilai-nilai yang merupakan hokum tuhan. Nilai-nilai tersebut adalah : 1). Berasaskan iman yang kokoh 2). Menempatkan agama pada posisi yang tinggi 3). Menggunakan akhlak dan tata susila sebagai penilaian tertinggi 4). Memberi perhatian dan penghargaan terhadap ilmu 5). Memuliakan hak asasi manusia 6). Memberikan perhatian terhadap pertumbuhan dan perkembangan keluarga yang sakinah 7). Bersedia menerima perubahan (dinamis) selama sejalan dengan nilai-nilai islam. 8). Berorientasi pada produktifitas kerja 9).Menempatkan harta benda sebagai alat untuk menggapai tujuan bukan sebagai alat untuk berkuasa sehingga semena-mena terhadap kebijakan yang dapat menimbulkan nilai-nilai anarkis ataupun kekerasan sehingga bisa merugikan orang lain 10). Kekuatan dan keteguhan yang didasarkan pada agama, akhlak dan kebenaran dijadikan tolak ukur kebenaran 11). Bersikap terbuka 12). Sejalan den gan daya kesanggupan manusia. 5
PENUTUP
Islam adalah agama yang tidak hanya membawa ajaran dalam satu dimensi saja, melainkan meliputi berbagai aspek kehidupan. Pertama, aspek ibadah. Manusia dalam pandangan Islam tersusun dari dua unsur, jasmani dan rohani. Unsur jasmani menuntut terpenuhinya kebutuhan material, sedang rohani menuntut terpenuhinya kebutuhan imaterial. Jasmani lebih banyak dipengaruhi hawa nafsu sehingga cenderung melahirkan kejahatan. Rohani lebih banyak didominasi oleh roh sehingga cenderung melahirkan kesucian. Islam menetapkan ibadah satu-satunya sarana untuk memproses pengembangan unsur rohaniah dalam diri manusia. Semua jenis ibadah seperti shalat, zakat, puasa, dan haji memiliki tujuan dan target membuat manusia supaya senantiasa tidak melupakan Tuhan (Sang Pencipta). Dengan demikian, kedekatan antara makhluk dengan Kholik merupakan target utama (substansial) dari ibadah.
Kedua, aspek politik. Persoalan yang pertama-tama muncul dalam dunia Islam bukan menyangkut masalah keyakinan (ideologis) melainkan justru masalah politik (urusan jabatan kekuasaan). Nabi Muhammad SAW sendiri ketika berada di Madinah memiliki peran ganda; satu sisi sebagai rasul (utusan) Allah SWT, dan di sisi lain sebagai kepala negara (tokoh politik). Ketiga, aspek hukum. Islam menetapkan bahwa keberadaan masyarakat akan harmonis kalau diikat dan diatur dengan hukum. Hukum yang dipakai oleh Islam bersumber dari wahyu (Al Quran dan Hadist). Dari keterangan diatas jelas islam sangat melarang perbuatan anarkis.
Bentuk-bentuk perilaku yang tidak santun (anarkisme) di kalangan para pemeluk agama, ternyata disebabkan oleh pengamalan agama (keberagamaan) yang hanya sebatas aspek ritual formal keagamaan. Maka tidak heran kalau pemeluk agama setelah shalat jamaah dari masjid, dari gereja, dari pura, masih mau bertikai, bertengkar dengan sesama manusia, melakukan perusakan, pembakaran rumah orang lain, dan sebagainya.
Darisini dapat dilihat bahwa penyebab munculnya tindaka anarkhis dalam umat beragama adalah :
• Pola beragama yang masih sepotong-potong tidak utuh.
• Penggunaan akal yang masih dikalahkan oleh emosi seseorang
• Pola berpikir manusia yang mengartikan/menafsirkan segala sesuatu apa adanya, tidak dipikir secara luas.
• Mental manusia yang masih mudah untuk dipengaruhi oleh informasi yang datang pada dirinya baik itu yang baik ataupun yang buruk.
• Kondisi kehidupan masyarakat itu sendiri.
Agama benar-benar menjadi landasan dalam melakukan aktivitas para pemeluknya kapan saja, di mana saja, dan dalam kondisi apa pun. Hakikat beragama, sebenarnya terletak pada kedekatan psikologis antara para pemeluk agama (makhluk) dengan Sang Pencipta (Tuhan). Tanpa ada perubahan paradigma tersebut mustahil akan terwujud perilaku yang santun, harmonis, dan damai.
0 komentar:
Posting Komentar