Oleh: Marzuki
Permasalahan pokok dalam penelitian ini adalah bagaimana gambaran wacana kekerasan gender dalam Islam, faktor-faktor apakah yang menyebabkan terjadinya kekerasan gender di kalangan umat Islam di Indonesia, dan upaya-upaya apakah yang dilakukan untuk mengatasi wacana kekerasan gender di kalangan umat Islam di Indonesia. Dengan demikian tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengungkap dan mencari jawaban atas ketiga masalah tersebut.
Penelitian ini merupakan penelitian analisis isi (content analysis). Yang menjadi objek kajian dalam penelitian ini adalah isi dari kitab-kitab fikih yang menunjukkan adanya kekerasan gender, khususnya sebuah kitab yang berjudul ‘Uqud al-Lujjain fi Bayani Huquq al-Zaujain karya Muhammad bin ‘Umar Nawawi al-Banteni yang sering dinamai Imam Nawawi. Sebagian dari isi kitab ini, yakni yang terkait dengan relasi gender, dikaji dengan menggunakan perspektif kesetaraan dan keadilan gender dalam Islam seperti yang ditunjukkan oleh al-Quran. Dalam melakukan analisis, peneliti mendasarkan pada berbagai pendapat para ulama, terutama para feminis Muslim, melalui karya-karya mereka. Dengan berbagai pendapat yang ada akan dicoba dicari kesatuan pemahaman yang mengarah kepada keadilan dan kesetaraan gender sebagaimana prinsip-prinsip Islam yang sebenarnya.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara umum gambaran kekerasan gender terjadi hampir di semua tempat dan negara di belahan bumi ini, termasuk di Indonesia, dalam kurun waktu yang cukup lama. Kekerasan gender di kalangan masyarakat Muslim, khususnya di Indonesia, banyak dipengaruhi oleh beredarnya kitab-kitab fikih yang menunjukkan bias gender (ketimpangan gender) yang berpengaruh pada pola pikir dan perilaku keagamaan masyarakat Muslim. Di antara faktor penyebab terjadinya kekerasan gender di kalangan umat Islam, khususnya di Indonesia, adalah adanya pengaruh yang begitu kuat dari hasil penafsiran yang dilakukan oleh para ulama Islam yang bercirikan penafsiran yang parsial, tidak komprehensif, literal (tekstual), tidak kontekstual, dan banyak dipengaruhi oleh budaya lokal. Akibatnya, hasil pemahamannya kurang sejalan dengan
prinsip-prinsip al-Quran yang sangat menekankan persamaan, kesetaraan, keadilan, dan kebebasan.
Adapun paya yang harus dilakukan untuk mengatasi kekerasan gender akibat beredarnya kitab-kitab fikih yang bias gender itu adalah melakukan rekonstruksi dan reformulasi terhadap pemahaman yang dituangkan dalam kitab-kitab fikih tersebut. Rekonstruksi dimulai dari pembongkaran terhadap akar permasalahan yang muncul dalam penafsiran itu. Setelah itu dilakukan reformulasi dengan melakukan pemahaman kembali terhadap ayat-ayat al-Quran dan hadis-hadis Nabi dengan pendekatan-pendepatan kontekstual, interdisipliner, dan komprehensif, sehingga diperoleh fikih baru yang benarbenar sejalan dengan prinsip-prinsip al-Quran yang menunjukkan adanya keadilan dan kesetaraan gender.
1. Artikel ini disarikan dari penelitian oleh penulis sendiri dengan judul yang sama.
2. Penulis adalah pengajar Jurusan PKnH Fakultas Ilmu Sosial dan EkonomiUniversitas Negeri Yogyakarta.
Pendahuluan
Disadari atau tidak, hingga sekarang ini sebagian besar kaum perempuan masih belum menikmati alam kebebasan sebagaimana yang dinikmati oleh kaum laki-laki. Bahkan tidak sedikit kaum perempuan yang masih menanggung beban derita karena tindakan yang semena-mena dari kaum laki-laki. Di antara faktor penyebab masalah ini adalah kurangnya kesadaran kaum perempuan akan hak-hak mereka dan juga kurangnya kesadaran kaum lelaki untuk memperlakukan kaum perempuan sebagaimana layaknya. Faktor lain yang juga sangat berpengaruh adalah kondisi sosial budaya yang secara turun-temurun selalu berpihak kepada kepentingan kaum lelaki (patriarkhis/superior) dan menempatkan kaum perempuan pada posisi rendah (suborninatif/inferior).
Faktor penyebabnya adalah kondisi lingkungan yang dikembangkan masyarakat Muslim selama berabad-abad, yakni terjadinya pencampuradukan sejumlah tradisi lokal terhadap ajaran Islam. Budaya ini banyak memberi pengaruh kepada para pemikir Muslim (ulama) dalam menghasilkan pemikiran-pemikiran fikihnya (baca: tafsir keagamaannya). Hingga sekarang pengaruh tafsir keagamaan tersebut masih terasa, meskipun sudah mulai agak memudar.
Itulah barangkali gambaran awal mengenai munculnya wacana kekerasan gender di kalangan kaum perempuan sebagai akibat adanya tafsir keagamaan yang memihak kaum lelaki. Dalam perspektif gender, kekerasan selalu ditujukan kepada pihak perempuan. Atau dengan kata lain, perempuan selalu identik dengan kekerasan. Sementara itu posisi ketergantungan ekonomis dan sosial perempuan korban kekerasan terhadap kaum lelaki menyulitkan mereka untuk melaporkan penderitaan dan kejahatan yang mereka alami. Namun, kalaupun kekerasan terpaksa dilaporkan, para pelaksana hukum sering menganggap persoalan tersebut sebagai masalah private dan mendapat perlakuan berbeda bila dibandingkan dengan penanganan mereka terhadap kekerasan publik. Demikian halnya asumsi peran gender dalam budaya dan tradisi bahkan keyakinan keagamaan di masyarakat sering digunakan untuk melegitimasi tindak kekerasan tersebut, sehingga mempersoalkan asumsi gender yang diyakini masyarakat dinilai akan mengganggu stabilitas masyarakat serta harmonisasi keluarga, sosial, maupun keagamaan.
Akibatnya banyak kaum perempuan korban kekerasan memilih menerima kekerasan sebagai bagian dari nasib hidup mereka, bahkan sering justeru menyalahkan diri mereka sendiri. Persoalan kekerasan terhadap perempuan, baik yang terkait dengan masalah sipil dan politik maupun yang terkait dengan masalah ekonomi, sosial, dan budaya, merupakan persoalan kekerasan atau ketidakadilan gender, karena mengakar pada keyakinan dan ideologi seseorang. Persoalan ini tidak hanya menyangkut urusan masing-masing pribadi, tetapi sampai pada urusan negara. Oleh karena itu, pemecahannya harus secara serempak dengan menempuh usaha jangka pendek, yakni pemecahan masalah-masalah praktis dari kekerasan, dan usaha jangka panjang yang lebih strategis untuk memerangi masalah kekerasan. Dalam usaha jangka pendek, kaum perempuan misalnya mempelajari berbagai teknik untuk menghentikan kekerasan, sehingga setiap ada upaya kekerasan terhadap dirinya akan bisa diatasi. Inilah usaha praktis yang bisa dilakukan. Usaha strategis jangka panjang dilakukan untuk memperkokoh usaha praktis tersebut. Usaha ini meliputi perjuangan memerangi ideologi bias gender (baca: kekerasan gender) di tengah masyarakat.
Dari bebrapa faktor penyebab kekerasan gender seperti di atas, faktor keyakinan agama (tafsir keagamaan) merupakan salah satu faktor yang sangat penting yang cukup berpengaruh di tengah masyarakat beragama seperti yang terjadi di Indonesia. Masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam sangat memegang teguh keyakinan agamanya dalam aktivitas beribadah dan bermuamalah. Penafsiran keagamaan dari para pemikir agama (ulama) terhadap sumber ajarannya (al-Quran dan Sunnah/Hadis) sangat mempengaruhi perilaku mereka.
Selama ini keberadaan kitab-kitab fikih yang menjadi sumber dalam memahami al-Quran dan Sunnah banyak yang memberikan penafsiran keagamaan yang bias gender, dalam arti lebih menempatkan perempuan pada posisi yang suborninat. Akibatnya, dalam pergaulan sehari-hari perempuan lebih banyak dirugikan.
Kaum lelaki dengan leluasa dapat “menjajah” perempuan dalam berbagai kesempatan. Dari sinilah muncul kekerasan gender di tengah masyarakat Islam di Indonesia khususnya dan di dunia Islam umumnya. Penelitian ini bertujuan ingin menjawab permasalahan bagaimana gambaran wacana kekerasan gender dalam Islam dan faktor-faktor apa yang menyebabkan terjadinya kekerasan gender di kalangan umat Islam di Indonesia. Penelitian ini juga ingin mengungkap upaya-upaya yang dilakukan untuk mengatasi wacana kekerasan gender di kalangan umat Islam di Indonesia.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan persepsi yang benar kepada umat Islam umumnya mengenai gender dalam Islam, terutama mengenai kedudukan perempuan, sehingga akan berpengaruh dalam perilakunya sehari-hari. Bagi para pengambil kebijakan, penelitian ini diharapkan dapat membuka wawasan dalam mengambil keputusan yang berkaitan dengan jenis kelamin (gender), sehingga tidak terjadi kekerasan gender yang diakibatkan oleh perlakuan yang tidak adil terhadap perempuan.
Untuk tujuan tersebut perlu dikaji dulu beberapa kerangka pemikiran yang dapat dijadikan pijakan dalam melakukan analisis terhadap data-data penelitian yang ada. Ada dua kerangka pikir yang perlu dikemukakan di sini, yakni kekerasan gender dalam tafsir keagamaan dan upaya ke arah kesetaraan gender perspektif Islam.
Salah satu faktor utama terjadinya kekerasan terhadap perempuan (kekerasan gender) adalah begitu mengakarnya budaya patriarkhi di kalangan umat Islam. Patriarkhi muncul sebagai bentuk kepercayaan atau ideologi bahwa laki-laki lebih tinggi kedudukannya dibandingkan perempuan dan perempuan harus dikuasai bahkan dianggap sebagai harta milik laki-laki (Rachman, 2001: 394). Budaya ini banyak memberikan pengaruh dalam teks keagamaan, apalagi para penulis teks-teks tersebut hampir semuanya laki-laki.
Para penafsir keagamaan semakin memperkokoh struktur patriarkhi dengan mengangkat ayat-ayat suci sebagai legitimasi atas struktur tersebut. Budaya Arab yang patriarkhi banyak mempengaruhi para ulama Muslim dalam menafsirkan konsep-konsep agama Islam. Sebagaimana diakui, bahwa fikih Islam lahir sebagai formulasi hukum yang mencakup berbagai aspek kehidupan masyarakat tertentu yang didasarkan pada al-Quran
dan Sunnah. Dapat juga dikatakan, bahwa fikih Islam merupakan perpaduan antara ajaran inti Islam dengan budaya lokal (tradisi) (Bruinessen, 1995).
Dari sudut pandang feminisme Islam, patriarkhi dianggap sebagai asal-usul dari seluruh kecenderungan misoginis (kebencian terhadap perempuan) yang mendasari teks keagamaan yang bias kepentingan laki-laki (bias gender). Di sinilah para feminis Muslim sekarang ini, seperti Fatima Mernissi, Riffat Hassan, Nawal el Sadawi, Amina Wadud Muhsin, Asghar Ali Engineer, dan lain-lain berusaha membongkar berbagai pengetahuan normatif yang bias kepentingan laki-laki dalam orientasi kehidupan beragama, terutama terkait dengan relasi gender.
Hampir di sebagian besar masyarakat Muslim sekarang ini, termasuk di Indonesia, masih memegang erat-erat budaya patriarkhi. Hal inilah yang banyak dibahas oleh Fatima Mernissi dalam salah satu karyanya ketika berbicara tentang masalah hijab. Dia menyimpulkan bahasannya bahwa budaya hijab mengharuskan adanya pemisahan ruang gerak antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki bisa berkiprah di ruang yang lebih terbuka (sektor publik), sedang perempuan banyak berkutat pada ruang yang lebih sempit (sektor domistik) (Fatima Mernissi, 1997 dan Mazhar ul Haq Khan, 1994).
Dalam melegitimasi sistem patriarkhi seperti di atas, kaum lelaki Muslim, terutama para ulama, mendasarkannya pada beberapa ayat yang terdapat pada Kitab Suci dan Sunnah Nabi. Di antara ayat al-Quran yang dijadikan dasar dalam pemisahan tugas lelaki dan perempuan adalah sebagai berikut: “… dan kaum laki-laki mempunyai satu tingkat lebih tinggi dari mereka (kaum perempuan). Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” (QS. al-Baqarah (2): 228). Muhammad Ali al-Shabuniy lebih memerinci kelebihan laki-laki atas perempuan ketika menafsirkan surat al-Nisa’ (4): 34. Menurutnya, laki-laki diberikan tanggung jawab atas perempuan karena Allah telah memberinya akal dan perencanaan (tadbir), dan juga khususnya pekerjaan dan tanggung jawab memberi nafkah (Al-Shabuniy, t.t.: 326 dan 465). Namun demikian, ayat ini sering digunakan oleh kaum laki-laki untuk “menjajah” kaum perempuan, sehingga dalam berbagai hal kaum perempuan tidak diberikan keleluasaan untuk menentukan nasibnya sendiri.
Kedua ayat di atas telah memetakan divisi kerja antara kaum laki-laki dan kaum perempuan. Persoalan inilah yang kemudian menimbulkan wacana ketidakadilan jenis kelamin (gender) di kalangan umat Islam yang akhirnya mengarah kepada timbulnya kekerasan gender. Perlu ditambahkan juga bahwa ketidakadilan gender ini tidak hanya terjadi dalam Islam, tetapi juga terjadi dalam dua agama monotheistis yang lebih terdahulu, yakni agama Yahudi dan Nasrani (Kristen). Dalam kedua agama ini bahkan perendahan kaum perempuan jauh lebih kejam, pada tingkat prinsip, dibandingkan dalam Islam (Mernissi, 1999: 213).
Pada umumnya perempuan selalu dimunculkan sebagai sosok yang lemah ketika dikaitkan dengan organ-organ tubuhnya. Implikasinya, perempuan kemudian ditempatkan pada posisi yang rendah. Sudah berabad-abad lamanya pandangan ini mewarnai hampir seluruh budaya manusia dan kemudian mendapatkan legitimasi dari agama-agama besar dunia, seperti Yahudi, Kristen, dan Islam, atau mungkin juga agama-agama lainnya.
Islam datang untuk melepaskan perempuan dari belenggu-belenggu kenistaan dan perbudakan terhadap sesama manusia. Islam memandang perempuan sebagai makhluk yang mulia dan terhormat, makhluk yang memiliki berbagai hak di samping kewajiban. Islam mengharamkan perbudakan dan berbuat aniaya terhadap perempuan. Islam memandang sama antara laki-laki dan perempuan dalam aspek kemanusiaannya (Q.S. al-Hujurat (49): 13). Islam juga menempatkan perempuan pada posisi yang sama dengan lakilaki dalam melaksanakan kewajiban-kewajiban agama (Q.S. al-Taubah (9): 71), memikul beban-beban keimanan (Q.S. al-Buruj (85): 10), menerima balasan di akhirat (Q.S. al-Nisa’ (4): 124), dan pada masalah-masalah lainnya yang banyak disebutkan dalam al-Quran.
Dari tulisan-tulisan para feminis Muslim itu dapat dilihat bahwa Islam sebenarnya sama sekali tidak menempatkan kedudukan perempuan berada di bawah kedudukan lakilaki. Jadi, Islam benar-benar menunjukkan adanya kesetaraan dan keadilan gender. Kalaulah selama ini muncul ketidakadilan dalam Islam ketika memposisikan perempuan dan laki-laki dalam hukum, hal itu karena warisan pemahaman Islam (fikih) dari para tokoh Muslim tradisional yang diperkuat oleh justifikasi agama. Oleh karena itu, kaum feminis Muslim bersepakat untuk mengadakan rekonstruksi terhadap ajaran-ajaran tradisional agama untuk sejauh mungkin mengeliminasi perbedaan status yang demikian tajam antara laki-laki dan perempuan yang telah dikukuhkan selama berabad-abad. Rekonstruksi dilakukan dengan jalan menafsirkan kembali teks-teks al-Quran yang berkaitan dengan wanita yang selama ini sering ditafsirkan dengan nada misoginis (yang menunjukkan kebencian kepada perempuan).
Kesetaraan yang ditunjukkan al-Quran banyak dikacaukan oleh adanya hadis-hadis yang bernada misoginis (yang merendahkan perempuan). Hadis-hadis tentang penciptaan Hawa dari tulang rusuk Adam mengindikasikan hal tersebut dan jelas bertentangan dengan kesetaraan yang ditunjukkan al-Quran. Hadis-hadis seperti itu seharusnya ditolak, namun kenyataannya justru populer dan dipegangi oleh umat Islam. Persoalannya ternyata adalah karena hadis-hadis itu diriwayatkan oleh dua perawi yang terkenal kesahihannya, yaitu al-Bukhari dan Muslim. Atas kenyataan ini Riffat Hasan mengajak para perempuan Muslim sadar bahwa sejarah penundukan dan penghinaan kaum perempuan di tangan kaum lakilaki bermula dari sejarah penciptaan Hawa seperti dalam hadis-hadis tersebut. Riffat juga mengajak kaum perempuan Muslim menentang otentisitas hadis yang membuat mereka secara ontologis inferior, subordinatif, dan bengkok (Riffat Hasan & Fatima Mernissi, 1996: 66).
Kalau hadis-hadis itu dari segi kualitasnya shahih, maka harus dipegangi sebagai pesan Nabi. Yang perlu diupayakan adalah bagaimana hadis-hadis itu tidak bertentangan dengan al-Quran yang menyatakan bahwa penciptaan laki-laki dan perempuan dari nafs yang satu (Q.S. al-Nisa’ (4): 1). Oleh karena itu, hadis-hadis itu harus diartikan secara majazi/metaforis. Gambaran tulang yang bengkok merupakan sifat perempuan yang sensitif, lemah lembut, halus, dan peka, sehingga dalam bergaul dengannya diperlukan juga kelembutan dengan mempertimbangkan fitrah dan sifat dasar pembawaannya itu. Laki-laki atau suami harus bertindak bijaksana, bersikap makruf, dan penuh kesabaran terhadap perempuan. Sifat-sifat yang demikian ini tidak dapat dijadikan
dasar untuk mendeskriditkan perempuan atau menunjukkan asal kejadilan perempuan yang berbeda dengan laki-laki, sehingga pada akhirnya laki-laki merasa lebih tinggi dari perempuan. Uraian di atas menjelaskan kepada kita bahwa Islam sama sekali tidak menempatkan perempuan pada posisi yang lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki, baik dari segi substansi penciptaannya, tugas dan fungsinya, hak dan kewajibannya, maupun dalam rangka meraih prestasi puncak yang diidam-idamkannya. Islam, melalui kedua sumbernya al-Quran dan Sunnah, menetapkan posisi dan kedudukan perempuan setara dan seimbang dengan posisi dan kedudukan laki-laki. Islam benar-benar menunjukkan adanya kesetaraan gender dan tidak menghendaki ketidakadilan atau ketimpangan gender.
Cara Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif, karena data-data yang dikumpulkan tidak berujud angka-angka, tetapi berujud narasi yang menggambarkan pokok permasalahan yang dikaji. Adapun jenis penelitian ini adalah penelitian analisis konten (content analysis), yaitu suatu bentuk penelitian yang dilakukan dengan tujuan untuk menggali isi atau makna pesan simbolik dalam sebuah buku atau hasil karya lainnya. Dengan penelitian analisis konten peneliti mencoba mengkaji kembali isi kitab-kitab fikih yang beredar di Indonesia terutama yang terkait dengan perempuan yang mengakibatkan terjadinya wacana kekerasan gender. Dalam hal ini akan diungkap berbagai tafsir keagamaan dari para pakar (ulama) baik dari kalangan salaf (ulama terdahulu) maupun kalangan khalaf (ulama modern), sehingga terlihat akar penyebab terjadinya wacana kekerasan gender dalam Islam.
Objek penelitian terfokus pada kitab-kitab fikih yang beredar di Indonesia, khususnya satu kitab fikih yang berjudul ‘Uqud al-Lujjain fi Bayani Huquq al-Zaujain yang ditulis oleh Muhammad bin ‘Umar Nawawi al-Banteni yang sering dipanggil Imam Nawawi. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan penelitian kepustakaan (library research), karena data-data yang diteliti tertulis dalam buku yang ditulis oleh pakar dalam bidangnya dan tersimpan di perpustakaan. Buku ini di samping bisa ditemukan di perpustakaan juga bisa diperoleh di berbagai toko buku yang ada dan di lembaga-lembaga pendidikan yang menggunakan buku dimaksud. Dari kitab yang sudah ditentukan, yakni ‘Uqud al-Lujjain fi Bayani Huquq al-Zaujain, penulis akan mengambil isi atau muatannya yang secara khusus menjelaskan masalah relasi laki-laki-perempuan (relasi gender), khususnya relasi suami-isteri. Jadi, data penelitian ini berupa teks-teks yang ditulis oleh penulis kitab tersebut, yang secara khusus berisi tentang relasi gender.
Dalam menganalisis data, peneliti menggunakan analisis kualitatif. Analisis kualitatif didasarkan pada pola hubungan. Teknik yang diambil adalah teknik peta kognitif yang menggambarkan letak beberapa konsep dan sifat hubungan antara konsep yang satu dengan lainnya (Zuchdi, 1993: 66). Mula-mula peneliti memahami masing-masing isi dari kitab fikih yang dikaji dengan memperhatikan kesesuaian dari tema dan tujuan yang ingin disampaikan oleh penulisnya. Kemudian isi yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan teknik analisis isi (content analysis) dengan pisau analisis konsep kesetaraan dan keadilan gender dalam Islam.
Hasil Penelitian Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara umum gambaran kekerasan gender , terutama terhadap perempuan oleh laki-laki, terjadi hampir di semua tempat dan negara di belahan bumi ini, termasuk di Indonesia, dalam kurun waktu yang cukup lama seiring dengan perkembangan sejarah manusia itu sendiri. Di antara penyebab kekerasan gender ini adalah berkembangnya budaya patriarkhi. Lahirnya Islam tidak serta merta menghilangkan budaya patriarkhi. Meskipun al-Quran dan Sunnah tidak melegitimasi budaya patriarkhi ini, tafsir keagamaan yang lahir dari kedua sumber Islam ini memperlihatkan pengaruh yang cukup besar dari budaya patriarkhi. Budaya inilah yang kemudian mempengaruhi para ulama dalam melakukan ijtihad mereka. Hasilnya adalah fikih-fikih yang bernuansa patriarkhis. Buku-buku inilah yang kemudian banyak mempengaruhi pola pikir dan perilaku keagamaan masyarakat Muslim, khususnya di Indonesia.
Buku-buku atau kitab-kitab fikih yang berkembang di Indonesia cukup banyak, terutama yang digunakan di lembaga-lembaga Islam seperti pesantren, majlis-majlis taklim, sekolah-sekolah agama, dan perguruan tinggi Islam. Buku-buku fikih ini semula banyak ditulis dalam bahasa Arab, suatu bahasa yang memang hampir identik dengan identitas Islam, namun pada perkembangan selanjutnya buku-buku ini banyak yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan bahasa daerah yang ada di Indonesia, di samping juga banyak buku fikih yang ditulis dalam bahasa asing, seperti bahasa Inggris dan bahasa asing lainnya, dan juga ada yang memang ditulis oleh para penulis (ulama) dari Indonesia sehingga bahasa yang digunakan juga bahasa Indonesia atau bahasa daerah, seperti bahasa Jawa, Madura, Sunda, dan lain-lain. Dari sekian banyak buku fikih ini, yang paling banyak digunakan adalah buku-buku yang berbahasa Arab yang kemudian banyak diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia atau bahasa daerah.
Buku-buku fikih yang ada di Indonesia berisi berbagai permasalahan yang terkait dengan syariah Islam, baik dalam masalah ibadah, seperti shalat, puasa, zakat, dan lainnya; masalah muamalah, seperti pernikahan, warisan, wakaf, politik, dan lainnya; maupun permasalahan lainnya seiring dengan perkembangan zaman. Sekarang ini tidak sulit bagi kita untuk mencari buku-buku fikih dalam berbagai permasalahan tersebut di perpustakaan atau di toko-toko buku. Karena itu, masyarakat Muslim Indonesia dengan mudah dapat membaca buku-buku fikih tersebut. Buku-buku inilah yang banyak mempengaruhi pola pikir dan perilaku keagamaan masyarakat Muslim Indonesia. Masalah hubungan antara laki-laki dan perempuan (relasi gender) juga tidak luput dari pengamatan para penulis bukubuku fikih tersebut, sehingga sebagian dari buku-buku fikih tersebut juga memuat aturanaturan mengenai hal tersebut.
Di antara buku atau kitab fikih yang banyak mempengaruhi masyarakat Muslim Indonesia dalam melakukan relasi gender adalah satu kitab yang disusun oleh Muhammad bin ‘Umar Nawawi al-Banteni yang berjudul ‘Uqud al-Lujjain fi Bayani Huquq al-Zaujain. Kitab fikih ini berisi penjelasan yang rinci tentang relasi gender, khususnya antara suami dan isteri. Dari dua bab dalam buku tersebut, terlihat bahwa Imam Nawawi sangat menonjolkan superioritas laki-laki dan inferioritas perempuan. Imam Nawawi mengambil beberapa ayat al-Quran dan hadis-hadis Nabi untuk memperkuat fikihnya. Di antara ayat al-Quran yang ditampilkan adalah surat al-Nisa’ (4): 19 dan 34 dan surat al-Baqarah (2): 228 yang isinya bahwa laki-laki memiliki kelebihan dibandingkan perempuan. Hadis-hadis yang ditampilkan juga hadis-hadis yang berisi kelebihan laki-laki atas perempuan dan kewajiban isteri (perempuan) untuk selalu taat kepada suaminya (laki-laki). Dengan menampilkan ayat-ayat al-Quran dan hadis-hadis tersebut dan kemudian memberikan penjelasan dan komentar serta beberapa contoh kasus yang terjadi di masa lalu, terlihat bahwa pada intinya beliau lebih menekankan adanya superioritas laki-laki dan inferioritas perempuan. Jadi fikih yang ditampilkan oleh Imam Nawawi dalam hal relasi gender ini sangat merugikan kaum perempuan yang mengakibatkan terjadinya kekerasan gender, terutama terhadap perempuan.
Di antara faktor penyebab terjadinya kekerasan gender, terutama yang ditampilkan oleh Imam Nawawi dalam buku fikihnya, adalah caranya dalam melakukan penafsiran yang bersifat konvensional. Penafsiran konvensional itu terlihat pada ciri-ciri penafsirannya, seperti:
• Menggunakan pendekatan yang normatif yang parsial;
• Adanya pengaruh yang kuat dari tradisi atau budaya lokal tertentu yang berkembang di daerah islam ke dalam konsep-konsep islam, khususnya dalam penafsiran keagamaan;
• Menggunakan teologi laki-laki dalam melakukan pemahaman terhadap nash-nash al-quran dan sunnah
• Adanya kajian-kajian islam yang terlalu menekankan dan mendasarkan pada ilmu agama murni serta kurang mempertimbangkan ilmu-ilmu lain dalam melakukan penafsirannya;
• Melakukan penarikan kesimpulan dengan generalisasi dari kasus yang khusus; dan
• Melakukan penafsiran secara tekstual serta mengabaikan penafsiran yang kontekstual.
kibatnya, hasil pemahaman atau penafsirannya (baca: fikih) kurang sejalan dengan prinsip-prinsip al-Quran yang sangat menekankan persamaan, kesetaraan, keadilan, dan kebebasan. Dalam hal relasi gender, penafsiran seperti inilah yang mengakibatkan terjadinya kekerasan gender di kalangan umat Islam, terutama kekerasan yang ditujukan kepada kaum perempuan oleh kaum laki-laki. Kitab-kitab fikih di Indonesia banyak yang dihasilkan dengan model penafsiran seperti itu, sehingga banyak berpengaruh dalam hal relasi gender di kalangan umat Islam Indonesia. Adapun upaya yang harus dilakukan untuk mengatasi kekerasan gender akibat beredarnya kitab-kitab fikih yang bias gender itu adalah melakukan rekonstruksi dan reformulasi terhadap pemahaman yang dituangkan dalam kitab-kitab fikih tersebut. Para ulama modern berusaha merekonstruksi dan mereformulasi fikih yang sudah ada, terutama yang terkait dengan relasi gender, dengan pola penafsiran yang berbeda dengan yang sudah ada.
Rekonstruksi dimulai dari pembongkaran terhadap akar permasalahan yang muncul dalam penafsiran itu. Setelah itu dilakukan reformulasi dengan melakukan pemahaman kembali terhadap ayat-ayat al-Quran dan hadis-hadis Nabi yang mengatur relasi gender (seperti yang ditegaskan Imam Nawawi dalam kitabnya) dengan pendekatan-pendepatan kontekstual, interdisipliner, dan komprehensif, sehingga diperoleh fikih baru yang benarbenar sejalan dengan prinsip-prinsip al-Quran yang menunjukkan adanya keadilan dan kesetaraan gender. Perhatian terhadap latar belakang turunnya ayat al-Quran (asbabunnuzul) dan keluarnya hadis (asbabulwurud) menjadi sangat penting untuk mengungkap pemahaman yang kontekstual terhadap nash.
Dengan berbagai pendekatan seperti itu, para ulama modern berusaha merumuskan kembali fikih tentang relasi gender yang sejalan dengan prinsip-prinsip dasar al-Quran, yakni persamaan, kesetaraan, dan keadilan. Bunyi teks (nash) al-Quran dan hadis yang tidak sejalan dengan prinsip-prinsip itu ditafsirkan secara kontekstual. Ulama modern ini sering dikenal dengan sebutan kaum feminis Muslim. Di antara mereka adalah Qasim Amin, Asghar Ali Engineer, Fatima Mernissi, Amina Wadud Muhsin, dan lain-lainnya.
Sedang kaum feminis Muslim di Indonesia yang terkenal di antaranya adalah Masdar Farid Mas’udi, Nasaruddin Umar, Siti Ruhaini, Cici Farkha, dan lain-lain. Kesimpulan Penelitian ini dapat merekomendasikan beberapa kesimpulan seperti berikut:
1) Secara umum kekerasan gender (tepatnya: kekerasan berperspektif gender) terjadi di ampir semua tempat dan negara dan berlangsung dalam kurun waktu yang cukup lama. Kekerasan gender dalam Islam yang ditunjukkan dalam kitab fikih banyak mempengaruhi pola pikir dan pola perilaku keagamaan sebagian besar umat Islam di belahan bumi ini, termasuk di kalangan masyarakat Muslim di negara kita, Indonesia. Sebagian dari buku-buku fikih yang beredar di pesantren, sekolah (madrasah), dan lembaga-lembaga pengkajian Islam lainnya masih belum menunjukkan adanya kesetaraan gender. Sebagai contoh adalah sebuah buku karya Muhammad bin Umar Nawawi al-Banteni (Imam Nawawi) yang berjudul ‘Uqud al-Lujjain fi Bayani Huquq al-Zaujain.
2) Di antara faktor penyebab terjadinya kekerasan gender di kalangan umat Islam, khususnya di Indonesia, adalah adanya pengaruh yang begitu kuat dari hasil penafsiran yang dilakukan oleh para ulama Islam yang bercirikan penafsiran yang parsial, tidak komprehensif, literal (tekstual), tidak kontekstual, dan banyak dipengaruhi budaya lokal. Akibatnya, hasil pemahamannya kurang sejalan dengan prinsip-prinsip al-Quran yang sangat menekankan persamaan, kesetaraan, keadilan, dan kebebasan.
3) Upaya yang harus dilakukan untuk mengatasi kekerasan gender akibat beredarnya kitab-kitab fikih yang bias gender itu adalah melakukan rekonstruksi dan reformulasi terhadap pemahaman yang dituangkan dalam kitab-kitab fikih tersebut. Dimulai dari pembongkaran terhadap akar permasalahan yang muncul alam penafsiran itu, mereka dapat mereformulasi ulang penafsiran keagamaan terhadap ayat-ayat al-Quran dan hadis-hadis Nabi dengan pendekatan-pendepatan kontekstual, interdisipliner, dan komprehensif, sehingga diperoleh fikih baru yang berbeda dengan fikih sebelumnya yang menunjukkan adanya kesetaraan gender.
Daftar Pustaka
Al-Shabuniy, Muhammad Ali. (t.t.). Rawa`i’ al-Bayan Tafsir Ayat al-Ahkam Min alQur`an. Beirut Dar al-Fikr. Jilid 1.
Bruinessen, Martin van. (1995). Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat, Tradisi-tradisi Islam di Indonesia. Bandung: Penerbit Mizan.
Departemen Agama. (1985) Al-Qur’an dan Terjemahnya. Jakarta: Departemen Agama RI. El Saadawi, Nawal. (2001). Perempuan dalam Budaya Patriarki, terj. oleh Zulhimiyasri.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Fakih, Mansour. (1997). “Perkosaan dan Kekerasan Perspektif Analisis Gender”. Dalam
Eko Prasetyo dan Suparman Marzuki (Ed.). Perempuan dalam Wacana Perkosaan. Yogyakarta: PKBI.
Hassan, Riffat & Fatima Mernissi. (1996). Setara di Hadapan Allah. Terj. oleh Tim LSPPA.Yogyakarta: LSPPA Yayasan Prakarsa.
Ilyas, Hamim. (2001). “Kontekstualisasi Hadis dalam Studi Gender dan Islam”. Dalam Ema Marhumah dan Lathiful Khuluq (ed.). Rekonstruksi Metodologis Wacana Kesetaraan Gender dalam Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Khan, Mazhar ul Haq. (1999). Wanita Islam korban Patologi Sosial. Terj. oleh Luqman Hakim. Bandung: Pustaka.
Marzuki. (2002). “Memposisikan Kembali Kedudukan Perempuan dalam Sunnah Nabi: Analisis Kritis Hadis-hadis Nabi yang Misoginis”. Laporan Penelitian Kajian Wanita. Tidak diterbitkan.
Mernissi, Fatima. (1997). Menengok Kontroversi Peran Wanita dalam Politik. Terj. oleh M. Masyhur Abadi. Surabaya: Dunia Ilmu.
__________. (1999). Pemberontakan Wanita: Peran Intelektual Kaum Wanita dalam Sejarah Muslim. Terj. oleh Rahmani Astuti. Bandung: Penerbit Mizan.
Muhammad bin ‘Umar Nawawi. (t.t.). Syarh ‘Uqud al-Lujjain fi Bayani Huquq al-Zaujain. Semarang: Thaha Putera.
Nasution, Khoiruddin. (2004). Islam tentang Relasi Suami dan Isteri (Hukum Perkawinan 1). Yogyakarta: Academia.
Nurul Agustina. (1994). “Tradisionalisme Islam dan Feminisme”. Dalam Jurnal Ulumul Qur’an (Edisi Khusus) No. 5 dan 6 Vol. V.
Qasim Amin. (2003). Sejarah Penindasan Perempuan: Menggugat “Islam Laki-laki, Menggurat “Perempuan Baru”. Terj. Oleh Syariful Alam. Yogyakarta: Ircisod.
Rachman, Budhy Munawar. (2001). Islam Pluralis: Wacana Kesetaraan Kaum Beriman. Jakarta: Penerbit Paramadina.
Siti Ruhaini Dzuhayatin dkk. (2002). Rekonstruksi Metodologis Wacana Kesetaraan Gender dalam Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Soekanto, Soerjono. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press. Thahir, Mursyidah. (2000). “Kekerasan Rumah Tangga dan Konsep Nusyuz”. dalam Jurnal Pemikiaran Islam tentang Pemberdayaan Perempuan. Jakarta: Logos.
Umar, Nasaruddin. (1999) Argumen Kesetaraan Jender Perspektif Al-Qur’an. Jakarta: Yayasan Paramadina.
Zuchdi, Darmiyati. 1993. Panduan Penelitian Analisis Konten. Yogyakarta: Lembaga Penelitian IKIP Yogyakarta.
Biodata Penulis
Marzuki, dilahirkan di Banyuwangi tanggal 21 April 1966. Menyelesaikan studi S-1 dari Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tahun 1990 dan menyelesaikan studi S-2 dari Program Pasca Sarjana Jurusan Pengkajian Islam IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 1997. Mulai tahun 1997 mengambil studi S-3 di Program Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Tulisan-tulisan yang dibuatnya berkisar dalam bidang Pendidikan Agama Islam dan Hukum Islam serta permasalahan gender dalam perspektif Islam.
0 komentar:
Posting Komentar