BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Teologi, sebagaimana diketahui, membahas ajaran-ajaran dasar dari suatu agama. Setiap orang ingin mendalami seluk-beluk agama mereka. Mereka juga perlu mempelajari teologi yang terdapat dalam agama yang dianutnya. Namun, diantara beberapa agama, mereka mempunyai nama atau istilah-istilah yang berbeda dengan agama kita (Islam). Dalam agama islam, terdapat istilah dari arab yang mempelajari tentang teologi tersebut, yaitu Usul al Din. Teoloogi dalam islam juga bisa dikatakan dengan istilah ilmu tauhid yang mengandung arti satu atau esa, dan keesaan itu merupakan sifat terpenting diantara segala sifat Tuhan.
Selanjutnya, teologi islam juga disebut dengan ‘ilm al-kalam. Kalam adalah kata-kata. Dan orang-orang yang ahli dalam ‘ilm al-kalam disebut mutakallim yaitu orang yang ahli debat yang pintar memakai kata-kata.
Pada pembahasan kali ini kami akan menjelaskan tentang sejarah lahirnya Ilmu Kalam dan faktor yang melatar belakangi munculnya Ilmu Kalam.
BAB II
Pembahasan
Sejarah Lahirnya Ilmu Kalam
Ilmu Kalam merupakan ilmu yang berdiri sendiri dan belum dikenal pada masa Nabi Muhammad SAW., maupun pada masa sahabat. Melainkan baru dikenal pada masa kemudiannya, setelah ilmu-ilmu keislaman satu persatu mulai muncul dan orang-orang banyak mulai suka membicarakan soal-soal alam gaib atau metafisika. Itu pun ilmu kalam tidak sekaligus timbul, dan pada masa-masa pertama berdirinya belum jelas dasar-dasarnya. Baru setelah beberapa fase, maka ia mengenal berbagai golongan dan aliran.
Permulaan dari perpecahan umat Islam, boleh dikatakan sejak wafatnya Nabi. Tetapi perpecahan itu menjadi reda, karena terpilihnya Abu Bakar menjadi khalifah. Berjalanlah masa-masa kekhalifahan Abu Bakar, Umar, dalam kubu persatuan yang erat dan persaudaraan yang mesrah. Dalam masa ketiga khalifah itulah dipergunakan kesempatan yang sebaik-baiknya dan mengembangkan Islam keseluruh alam. Tetapi setelah Islam meluas kemana-mana, tiba-tiba diakhir khalifah Utsman, terjadi suatu cedera yang ditimbulkan oleh tindakan Utsman yang kurang disetujui oleh pendapat umum. Inilah asalnya fitnah yang membuka kesempatan untuk orang-orang yang lapar kedudukan, menggulingkan pemerintahan Usman. Semenjak terbunuhnya Usman, menjadi titik yang jelas dari berlarut-larutnya perselisihan bahkan peperangan diantara kaum muslimin.
Sebenarnya Pada waktu Rasul masih hidup, apabila terdapat sesuatu kesulitan atau sesuatu yang tidak dapat di pahami, atau diketahui, maka mereka bisa menanyakannya langsung kepada Rasul. Karena memang pada waktu itu di hati mereka yang tertanam pertama secara mendalam adalah iman bukan keraguraguan. Memang dari awal agama itu hanyalah merupakan kepercayaan-kepercayaan yang kuat dan sederhana, tidak perlu diperselisihkan dan tidak memerlukan penyelidikan. Penganut-penganutnya menerima bulat-bulat apa yang diajarkan agama, kemudian dianutnya dengan sepenuh hatinya tanpa memerlukan penyelidikan dan pem-filsafat-an. Namun, setelah itu datanglah fase penyelidikan dan pemikiran dan membicarakan soal-soal agama secara filosofis. Disinilah orang-orang muslim mulai memakai filsafat untuk memperkuat alasan-alasannya. Keadaan ini juga sama dialami oleh agama-agama lain seperti yahudi dan nasrani.
Latar belakang munculnya Ilmu Kalam
Diantara faktor yang melatar belakangi munculnya Ilmu Kalam adalah Persoalan Politik. Awal mula perpecahan bisa kita simak sejak kematian Utsman bin Affan r.a. Ahli sejarah menggambarkan ‘Usman sebagai orang yang lemah dan tak sanggup menentang ambisi keluarganya yang kaya dan berpengaruh itu untuk menjadi gubernur. Tindakan-tindakan yang dijalankan Usman ini mengakibatkan reaksi yang tidak menguntungkan bagi dirinya.
Menurut segolongan kecil, Usman salah bahkan kafir dan pembunuhnya berada dipihak yang benar, karena perbuatannya yang dianggap salah selama menjadi khalifah. Sebaliknya pihak yang lain mengatakan bahwa pembunuhan tersebut adalah kejahatan besar dan pembunuh-pembunuhnya adalah orang-orang kafir, karena Usman adalah salah seorang prajurit islam yang setia. Penilaian yang saling bertentangan kemudian menjadi fitnah dan peperangan yang terjadi sewaktu Ali memegang pemerintahan.
Setelah Usman wafat Ali sebagai calon terkuat menjadi khalifah keempat. Tetapi segera ia mendapat tantangan dari pemuka-pemuka yang ingin pula menjadi khalifah, tantangan-tantangan tersebut diantaranya dari :
1. Talhah dan Zubeir dari Mekkah yang mendapat sokongan dari Aisyah. Tantangan ini dapat dipatahkan Ali dalam pertempuran yang terjadi di Irak tahun 656 M. Talhah dan Zubeir mati terbunuh dan Aisyah dikirim kembali ke Mekkah.
2. Tantangan yang datang dari Mu’awiyah, Gubernur Damaskus dan keluarga dekat Usman. Ia menuntut Ali supaya menghukum pembunuh-pembunuh Usman, bahkan ia menuduh bahwa Ali turut campur dalam soal pembunuhan itu.
Dalam pertempuran yang terjadi antara dua golongan di Siffin, tentara Ali mendesak tentara Mu’awiyah sehingga yang tersebut akhir ini bersiap-siap untuk lari. Tetapi tangan kanan Mu’awiyah Amr Ibn al-’As yang terkenal sebagai orang licik minta berdamai dengan mengangkat al-Quran keatas. Qurra’ atau syi’ah yang ada dipihak Ali mendesak Ali untuk mnerima tawaran itu dan dicarilah perdamaian dengan mengadakan arbitase. Sebagai pengantara diangkat dua orang, yaitu Amr Ibn al-‘As dari pihak Mu’awiyah dan Abu Musa al-Asy’ari dari pihak Ali. Dalam pertemuan mereka, kelicikan Amr mengalahkan perasaan takwa Abu Musa. Sejarah mengatakan bahwa keduanya terdapat pemufakatan untuk menjatuhkan kedua pemuka yang bertentangan, Ali dan Mu’awiyah. Tradisi menyebutkan bahwa Abu Musa terlebih dahulu mengumumkan kepada orang ramai putusan menjatuhkan kedua pemuka yang bertentangan itu. Berlainan dengan apa yang telah disetujui, Amr mengumumkan hanya menyutujui penjatuhan Ali yang telah di umumkan Abu Musa, tetapi menolak penjatuhan Mu’awiyah. Peritiwa ini merugikan bagi Ali dan menguntungkan bagi Mu’awiyah. Khalifah yang sebenarnya adalah Ali, sedangkan Mu’awiyah kedudukannya tak lebih dari Gubernur daerah yang tak mau tunduk kepada Ali sebagai khalifah. Dengan adanya arbitase ini kedudukannya telah naik menjadi khalifah yang tidak resmi.
Sikap Ali yang menerima dan mengadakan arbitase ini, sungguhpun dalam keadaan terpaksa, tidak disetujui oleh sebagian tentaranya. Mereka berpendapat bahwa hal serupa itu tidak dapat diputuskan oleh arbitase manusia. Putusan hanya datang dari Allah dengan kembali kepada hukum-hukum yang ada dalam al-Quran. La hukma illa lillah (tidak ada hukum selain hukum dari Allah) atau la hakama illa Allah (Tidak ada pengantar selain dari hukum Allah), menjadi semboyan mereka. Mereka memandang Ali telah berbuat salah, oleh karena itu mereka meninggalkan barisannya. Golongan mereka inilah dalam sejarah islam terkenal dengan nama al-Khawarij, yaitu orang yang keluar dan memisahkan diri.
Persoalan-persoalan politik yang terjadi ini akhirnya menimbulkan persoalan teologi. Timbullah persoalan siapa yang kafir dan siapa yang bukan kafir. Khawarij menganggap Ali, Mu’awiyah, Amr Ibn al-‘As, Abu Musa al- Asy’ari dan lain-lain yang telah menerima arbitase adalah kafir. Karena keempat pemuka ini dianggap kafir dalam arti telah keluar dari islam, kaum Khawarij menganggap mereka harus dibunuh.
Lambat laun kaum Khawarij pecah menjadi beberapa sekte. Konsep kafir turut pula mengalami perubahan. Yang dipandang kafir bukan lagi hanya orang yang tidak menentukan hukum dengan al-Qur’an, tetapi orang yang berbuat dosa besar juga dipandang kafir.
Persoalan orang yang berbuat dosa inilah yang kemudian mempunyai pengaruh besar terhadap pertumbuhan teologi selanjutnya dalam islam. Persoalan ini menimbulkan tiga aliran teologi, yaitu Khawarij, Murji’ah, Mu’tazilah.
Dalam keadaan seperti ini juga timbul dua aliran teologi yang terkenal dengan nama al-qadariah dan al-jabariah.
Teologi mereka yang bersifat rasional dan liberal ini membuat kaum intelegensia tertarik akan teologi mereka yang terdapat dalam lingkungan pemerintahan Kerajaan Islam Abbasiah dipermulaan abad ke-9 Masehi. Khalifah al-Ma’mun, putra dari khalifah Harun al-Rasyid pada tahun 827 M menjadikan teologi Mu’tazilah sebagai mazhab yang resmi dianut negara. Karena telah menjadi aliran resmi dari pemerintahan, kaum Mu’tazilah mulai bersikap paksa dalam menyiarkan ajaran mereka. Terutama paham mereka bahwa al-Qur’an bersifat makhluq dalam arti diciptakan bukan bersifat qadim dalam arti kekal dan tidak diciptakan.
Aliran mu’tazilah yang bersifat rasional ini menimbulkan tantangan keras dari golongan tradisional Islam, terutama golongan Hambali, yaitu pengikut-pengikut mazhab Ibn Hambal. Politik menyiarkan aliran Mu’tazilah secara kekerasan berkurang setelal al-Ma’mun meninggal pada tahun 833 M, dan akhirnya aliran Mu’tazilah sebagai mazhab resmi dari negara dibatalkan oleh khalifah al-Mutawwakil pada tahun 856 M. dengan demikian kaum Mu’tazilah kembali kepada kadudukan mereka semula, tetapi kini mereka telah mempunyai lawan yang bukan sedikit dari kalangan umat islam.
Perlawanan ini kemudian mengambil bentuk aliran teologi tradisional yang disusun oleh Abu al-Hasan al-Asy’ari (932 M). Al-Asy’ari sendiri pada mulanya adalah mu’tazilah, tetapi kemudian menurut riwayatnya setelah melihat dalam mimpi bahwa ajaran-ajaran Mu’tazilah diucap Nabi Muhammad sebagai ajaran yang sesat, al-Asy’ari meninggalkan ajaran tiu dan membentuk ajaran baru yang trerkenal dengan nama teologi al-Asy’ariah atau al-Asya’irah.
Disamping aliran asy’ariah timbul pula di Samarkand perlawanan menentang aliran Mu’tazilah yang didirikan oleh Abu Mansur Muhammad al- Maturidi. Aliran ini dikenal dengan nama teologi al-Maturidiah yang mana tidak bersifat setradisional al-Asy’ariah, akan tetapi tidak pula seliberal Mu’tazilah.
Selain Abu al-Hasan al-Asy’ari dan Abu Mansur al-Maturidi ada lagi seorang teolog dari Mesir yang juga bermaksud menentang ajaran-ajaran kaum Mu’tazilah. Teolog itu bernama al-Tahawi (933 M) yang mana ajaran-ajaran ini tidak menjelma sebagai aliran teologi Islam.
Dengan demikian aliran-aliran teologi penting yang timbul dalam islam adalah aliran Khawarij, Murji’ah, Mu’tazilah, Asy’ariah dan Maturidiah. Aliran Khawarij, Murji’ah, Mu’tazilah tidak mempunyai wujud lagi kecuali dalam sejarah. Yang masih ada sampai sekarang ialah aliran Asy’ariah dan Maturidiah, dan keduannya disebut Ahl Sunnah wa al-Jama’ah. Aliran Maturidiah banyak dianut oleh umat Islam yang bermazhab Hanafi, sedangkan aliran Asy’ariah pada umumnya dipakai oleh umat Islam Sunni lainnya.
BAB III
Penutup
Kesimpulan
Munculnya Ilmu Kalam diantaranya disebabkan masalah Persoalan Politik. Awal mula perpecahan yang terjadi bisa kita simak sejak kematian Utsman bin Affan r.a. Ahli sejarah menggambarkan ‘Usman sebagai orang yang lemah dan tak sanggup menentang ambisi keluarganya yang kaya dan berpengaruh itu untuk menjadi gubernur. Setelah Usman wafat Ali sebagai calon terkuat menjadi khalifah keempat. Tetapi segera ia mendapat tantangan dari pemuka-pemuka yang ingin pula menjadi khalifah.
Aliran-aliran teologi penting yang timbul dalam islam adalah aliran Khawarij, Murji’ah, Mu’tazilah, Asy’ariah dan Maturidiah. Aliran Khawarij, Murji’ah, Mu’tazilah tidak mempunyai wujud lagi kecuali dalam sejarah. Yang masih ada sampai sekarang ialah aliran Asy’ariah dan Maturidiah, dan keduannya disebut Ahl Sunnah wa al-Jama’ah. Aliran Maturidiah banyak dianut oleh umat Islam yang bermazhab Hanafi, sedangkan aliran Asy’ariah pada umumnya dipakai oleh umat Islam Sunni lainnya.
Dengan masuknya kembali paham rasionalisme kedunia islam yang mana sekarang masuk melalui kebudayaan modern. Banyak ajaran-ajaran Mu’tazilah mulai timbul kembali, khususnya dikalangan kaum intelegensia islam yang mendapat pendidikan Barat.
Daftar Pustaka
Nasution, Harun, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta, UI-Press. 2006.
Hanafi, Ahmad, Teologi Islam, Jakarta, PT Bulan Bintang, 2001.
Hanafi, Ahmad, Pengantar Teologi Islam, al-Husna Dzikra, Jakarta, 1995.
0 komentar:
Posting Komentar