1. PENDAHULUAN
“Demokrasi” saat ini merupakan kata yang senantiasa mengisi perbincangan berbagai lapisan masyarakat mulai dari masyarakat bawah sampai masyarakat kelas elit seperti kalangan elit politik, birokrat pemerintahan, tokoh masyarakat, aktivis lembaga swadaya masyarakat, cendekiawan, mahasiswa dan kaum profesional lainnya.
Telaah tentang tolak-tarik antara peranan negara dan masyarakat tidak dapat dilepaskan dari telaah tentang demokrasi, karena dua alasan. Pertama, hampir semua negara di dunia ini telah menjadikan demokrasi sebagai asasnya yang fundamental telah ditunjukkan oleh hasil studi UNESCO pada awal 1950-an yang mengumpulkan lebih dari 100 sarjana Barat dan Timur, sementara di negara-negara demokrasi itu pemberian peranan kepada negara dan masyarakat hidup dalam porsi yang berbeda-beda (kendati sama-sama negara demokrasi). Kedua, demokrasi sebagai asas kenegaraan yang secara esensial telah memberikan arah bagi peranan masyarakat untuk menyelenggarakan negara sebagai organisasi tertinggi tetapi ternyata demokrasi itu berjalan dengan rute yang berbeda-beda.
Minimal ada tiga rute yang sampai saat ini bisa dicatat tentang upaya menuju demokrasi modern yaitu revolusi borjuis yang ditandai dengan kapitalisme dan parlementerisme ( Prancis dan Inggris ), revolusi dari atas yang juga kapitalis dan reaksioner yang berpuncak pada facisme (Jerman), dan revolusi petani seperti terlihat pada rute komunis yang sampai tahap tertentu disokong oleh kaum buruh (seperti Rusia dan China).
Dengan dua alasan tersebut menjadi jelas bahwa asas demokrasi yang hampir sepenuhnya disepakati sebagai modal terbaik bagi dasar penyelenggaraan negara ternyata memberikan implikasi yang berbeda di antara pemakai-pemakainya bagi peranan negara.
2. PEMBAHASAN
A. Pengertian Demokrasi
Pemahaman hakikat “demokrasi”, terlebih dahulu diawali dengan pengertian demokrasi serta nilai yang terkandung di dalamnya. Secara etimologis “demokrasi” terdiri dari dua kata yang berasal dari bahasa Yunani yaitu “demos” yang berarti rakyat atau penduduk suatu tempat dan “cratein” atau “cratos” yang berarti kekuasaan dan kedaulatan. Jadi, “demos-cratein” atau “demos-cratos” (demokrasi) adalah kekuasaan atau kedaulatan rakyat, kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat, rakyat berkuasa, pemerintahan rakyat dan kekuasaan oleh rakyat (Inu Kencana, 1994:150; 1999:18, Miriam Budiarjo, 1977 : 50, Ignas Kleden, 2000 : 5, Masykuri Abdillah, 1999 : 71).
Sementara itu pengertian demokrasi secara terminologis sebagaimana dikemukakan para ahli sebagai berikut :
a. Menurut Joseph A. Schmeter, demokrasi merupakan suatu perencanaan institusional untuk mencapai keputusan politik dimana individu-individu memperoleh kekuasaan untuk memutuskan cara perjuangan kompetitif atas suara rakyat.
b. Sidney Hook berpendapat demokrasi adalah bentuk pemerintahan dimana keputusan-keputusan pemerintah yang penting secara langsung atau tidak langsung didasarkan pada kesepakatan mayoritas yang diberikan secara bebas dari rakyat dewasa.
c. Philippe C. Schmitter dan Terry Lynn Karl menyatakan demokrasi sebagai suatu sistem pemerintahan dimana pemerintah dimintai tanggung jawab atas tindakan-tindakan mereka di wilayah publik oleh warga negara, yang bertindak secara tidak langsung melalui kompetisi dan kerjasama dengan para wakil mereka yang telah terpilih.
d. Henry B. Mayo menyatakan demokrasi sebagai suatu sistem politik merupakan suatu sistem yang menunjukkan bahwa kebijakan umum ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil yang diawasi secara efektif oleh rakyat dalam pemilihan-pemilihan berkala yang didasarkan atas prinsip kesamaan politik dan diselenggarakan dalam suasana terjaminnya kebebasan politik.
Dari beberapa pendapat di atas dapat diperoleh kesimpulan bahwa hakikat demokrasi sebagai suatu sistem bermasyarakat dan bernegara serta pemerintahan memberikan penekanan pada keberadaan kekuasaan di tangan rakyat baik dalam penyelenggaraan negara maupun pemerintah. Kekuasaan pemerintahan berada di tangan rakyat mengandung pengertian tiga hal : Pertama, pemerintah dari rakyat (goverenment of the people); Kedua, pemerintahan oleh rakyat (goverenment by people); Ketiga, pemerintahan untuk rakyat (goverenment for people). Jadi, hakikat suatu pemerintahan yang demokratis bila ketiga hal di atas dapat dijalankan dan ditegakkan dalam tata pemerintahan.
B. Prinsip dan Parameter Demokrasi
Menurut Masykuri Abdillah (1999) prinsip-prinsip demokrasi terdiri atas prinsip : persamaan, kebebasan, dan pluralisme. Sedangkan dalam pandangan Robert A. Dahl terdapat tujuh prinsip yang harus ada dalam sistem demokrasi, yaitu : kontrol atas keputusan pemerintah, pemilihan yang teliti dan jujur, hak memilih dan dipilih, kebebasan menyatakan pendapat tanpa ancaman, kebebasan mengakses informasi, kebebasan berserikat.
Beberapa prinsip demokrasi yang telah disebutkan di atas kemudian dituangkan dalam konsep yang lebih praktis untuk dapat diukur dan dicirikan. Ciri-ciri ini yang kemudian dijadikan parameter untuk mengukur tingkat pelaksanaan demokrasi yang berjalan di suatu negara. Untuk mengukur suatu negara atau pemerintah dalam menjalankan tata pemerintahannya dikatakan demokratis dapat dilihat dari empat aspek :
1. Masalah pembentukan negara
2. Dasar kekuasaan negara
3. Susunan kekuasaan negara
4. Masalah kontrol rakyat
C. Sejarah dan Asal Mula Demokrasi
Konsep demokrasi semula lahir dari pemikiran mengenai hubungan negara dan hukum di Yunani Kuno dan dipraktekkan dalam hidup bernegara antara abad ke-4 SM sampai abad ke-6 M. Pada waktu itu dilihat dari pelaksanaannya, demokrasi yang dipraktekkan bersifat langsung (direct democracy); artinya hak rakyat untuk membuat keputusan politik dijalankan langsung oleh seluruh warga negara. Hal ini dapat dilakukan karena negara kota (City State) Yunani Kuno berlangsung dalam kondisi sederhana dengan wilayah negara yang hanya terbatas pada sebuah kota dan daerah sekitarnya dan jumlah penduduk yang hanya berkisar 300.000 orang dalam satu negara. Ketentuan-ketentuan menikmati hak demokrasi hanya berlaku untuk warga negara yang resmi, sedangkan bagi warga negara yang berstatus budak belian, pedagang asing, peremepuan, dan anak-anak tidak dapat menikmatinya.
Gagasan demokrasi Yunani Kuno boleh dikatakan lenyap dari muka Dunia Barat ketika bangsa Romawi dikalahkan oleh suku bangsa Eropa Barat dan Benua Eropa memasuki abad pertengahan (600 – 1400). Pada masa abad pertengahan, struktur masyarakatnya menganut feodal, kehidupan sosialnya dikuasai oleh Paus dan pejabat-pejabat agama, sedangkan kekuasaan politiknya ditandai dengan perebutan kekuasaan di antara para bangsawan, dengan keadaan seperti itu masyarakat abad pertengahan tenggelam dalam apa yang disebut masa kegelapan.
Namun menjelang akhir abad pertengahan, tumbuh kembali keinginan menghidupkan demokrasi. Lahirnya Magna Charta (Piagam Besar), yaitu suatu piagam yang berisikan semacam perjanjian antara beberapa bangsawan dan raja John di Inggris bahwa Raja mengakui dan menjamin beberapa hak dan hak khusus (privileges) bawahannya termasuk rakyat jelata sebagai imbalan untuk penyerahan dana bagi keperluan perang dan lain-lain. Selain itu dalam piagam tersebut terlihat adanya dua prinsip, pertama, kekuasaan raja harus dibatasi; kedua, hak asasi manusia lebih penting daripada kedaulatan raja.
Momentum lainnya yang menandai kemunculan kembali demokrasi di dunia barat adalah gerakan renaissance dan reformasi. Renaissance adalah aliran yang menghidupkan kembali minat pada sastra dan budaya Yunani Kuno, yang berupa gelombang-gelombang kebudayaan dan pemikiran yang dimulai di Italia pada abad kelima belas dan enambelas. Gerakan ini lahir di barat karena adanya kontak dengan dunia Islam yang pada saat itu sedang berada pada puncak kejayaan peradaban ilmu pengetahuan. Para ilmuwan Islam pada masa itu seperti Ibnu Khaldun, Al Razi, Oemar Kayam, Al-Khawarizmi dan sebagainya bukan hanya berhasil mengasimilasikan pengetahuan Parsi Kuno dan warisan klasik (Yunani Kuno), melainkan berhasil menyesuaikan ilmu pengetahuan tersebut berdasarkan kebutuhan-kebutuhan yang sesuai dengan alam pikiran mereka sendiri yaitu orang Barat. Karena itu, seorang orientalis Philip K.Hitti menyatakan bahwa dunia Islam telah memberikan sumbangan besar terhadap Eropa dengan terjemahan-terjemahan warisan Parsi dan Yunani Kuno dan menyebrangkannya ke Eropa melalui Siria, Spanyol, dan Sisilia. Negara-negara tersebut merupakan arus transformasi ilmu pengetahuan dari dunia Islam ke Barat.
Peristiwa lain yang mendorong timbulnya kembali gerakan demokrasi di eropa yang sempat tenggelam pada abad pertengahan adalah gerakan reformasi.
Gerakan reformasi merupakan suatu gerakan revolusi agama yang terjadi di Eropa pada abad ke-16 yang bertujuan untuk memperbaiki keadaan dalam gereja katolik dimana kekuasaan gereja begitu dominan dalam menentukan tindakan warga negara. Karena itu segala hal yang berkaitan tindakan warga negara ditentukan oleh gereja. Hasil dari gerakan reformasi adalah adanya peninjauan terhadap doktrin gereja Katolik yang berkembang menjadi protestanisme.
Kecaman dan dobrakan terhadap absolutisme monarki berdasarkan aliran rasionalisme sebagai “sosial-control” (perjanjian masyarakat) yang salah satunya adalah menentukan bahwa dunia ini dikuasai oleh hukum yang timbul dari alam (naturan law) yang mengandung prinsip-prinsip keadilan universal, berlaku untuk semua waktu dan semua orang, baik raja, bangsawan, maupun rakyat jelata.
Salah satu ciri penting pada negara yang menganut konstitusionalisme (demokrasi konstitusional) yang hidup pada abad ke-19 ini adalah sifat pemerintah yang pasif, artinya, pemerintah hanya menjadi wasit atau pelaksana sebagai keinginan rakyat yang dirumuskan oleh wakil rakyat di parlemen. Di sini peran negara lebih kecil daripada peranan rakyat karena pemerintah hanya menjadi pelaksana (tunduk pada) keinginan-keinginan rakyat yang diperjuangkan secara liberal (individualisme) untuk menjadi keputusan parlemen.
Carl J. Friedrick mengemukakan bahwa konstitusionalisme adalah gagasan yang menyatakan bahwa pemerintah merupakan suatu kumpulan aktivitas yang diselenggarakan atas nama rakyat, tetapi tunduk pada beberapa pembatasan yang dimaksud untuk memberi jaminan bahwa kekuasaan yang diperlukan untuk memerintah itu tidak disalahgunakan oleh mereka yang mendapat tugas untuk memerintah.
Konsep Negara Hukum (Klasik) atau konsep konstitusionalisme atau disebut juga demokrasi konstitusional mulai digugat menjelang pertengahan abad ke-20 tepatnya setelah Perang Dunia II. Gagasan bahwa pemerintah dilarang campur tangan dalam urusan warga negara baik di bidang sosial maupun di bidang ekonomi bergeser ke dalam gagasan baru bahwa pemerintah harus bertanggung jawab atas kesejahteraan rakyat. Untuk itu, pemerintah tidak boleh bersifat pasif atau berlaku sebagai penjaga malam melainkan harus aktif melaksanakan upaya-upaya untuk membangun kesejahteraan masyarakatnya dengan cara mengatur kehidupan ekonomi dan sosial secara demokratis.
Demokrasi, dalam gagasan baru ini, harus meluas mencakup dimensi ekonomi dengan sistem yang dapat menguasai kekuatan-kekuatan ekonomi dan berusaha memperkecil perbedaan sosial dan ekonomi terutama harus mampu mengatasi ketidakmerataan distribusi kekayaan di kalangan rakyat. Gagasan baru ini biasa disebut sebagai gagasan Welfare State atau “Negara Hukum Material” (Dinamis) dengan ciri-ciri yang berbeda dengan dirumuskan dalam konsep Negara Hukum Klasik (Formal). Tentu saja konsep demokrasi di Barat pun masih terus berjalam dan mengalami perubahan-perubahan signifikan.
Berdasarkan pernyataan di atas, sejarah dan perkembangan demokrasi di Barat diawali berbentuk demokrasi langsung yang berakhir pada abad pertengahan. Menjelang akhir abad pertengahan lahir Magna Charta dan dilanjutkan munculnya gerakan renaissance dan reformasi yang menekankan pada adanya hak atas hidup, hak kebebasan, dan hak memiliki. Selanjutnya pada abad ke-19 muncul gerakan demokrasi konstitusional. Dari demokrasi konstitusional melahirkan demokrasi Welfare State.
D. Model dan Ketentuan Demokrasi
Ada lima corak atau model demokrasi, demokrasi liberal, demokrasi terpimpin, demokrasi sosial, demokrasi partisipasi, dan demokrasi konstitusional. Penjelasan kelima model demokrasi tersebut sebagai berikut :
a. Demokrasi liberal, yaitu pemerintahan yang dibatasi oleh undang-undang dan pemilihan umum bebas yang diselenggarakan dalam waktu yang ajeg. Banyak negara Afrika menerapkan model ini hanya sedikit yang bisa bertahan.
b. Demokrasi terpimpin. Para pemimpin percaya bahwa semua tindakan mereka dipercaya rakyat, tetapi menolak pemilihan umum yang bersaing sebagai kendaraan untuk menduduki kekuasaan.
c. Demokrasi sosial, yaitu demokrasi yang menaruh kepedulian pada keadilan sosial dan egalitarianisme bagi persyaratan untuk memperoleh kepercayaan politik.
d. Demokrasi partisipasi, yang menekankan hubungan timbal balik antara penguasa dan yang dikuasai.
e. Demokrasi konstitusional, yang menekankan proteksi khusus bagi kelompok-kelompok budaya yang menekankan kerjasama yang erat di antara elit yang mewakili bagian budaya masyarakat utama.
E. Sejarah dan Perkembangan Demokrasi di Indonesia
Perkembangan demokrasi di Indonesia telah mengalami pasang-surut (fluktuasi) dari masa kemerdekaan sampai saat ini. Dalam perjalanan bangsa dan negara Indonesia, masalah pokok yang dihadapi ialah bagaimana demokrasi mewujudkan dirinya dalam berbagai sisi kehidupan berbangsa dan bernegara. Masalah ini berkisar pada penyusunan suatu sistem politik dengan kepemimpinan cukup kuat untuk melaksanakan pembangunan ekonomi serta character and nation building, dengan partisipasi rakyat, sekaligus menghindarkan timbulnya diktator perorangan, partai ataupun militer.
a. Demokrasi pada periode 1945-1959
Satu bulan setelah Indonesia diproklamasikan, sistem pemerintahan parlementer, di mana para menteri bertanggung jawab kepada badan legislatif (parlemen), berlaku di Indonesia walaupun UUD 1945 tidak menghendaki demikian. Hal ini diperkuat dengan pengumuman pemerintah yang memberikan kebebasan kepada rakyat untuk mendirikan partai politik, hal ini tentu saja disambut antusias oleh masyarakat. Tetapi sistem parlementer ini ternyata kurang cocok diterapkan di Indonesia.
Sistem parlementer ini memberikan kebebasan kepada rakyat tanpa pembatasan dan persyaratan yang tegas dan nyata untuk melakukan kegiatan politik, sehingga muncullah banyak partai. Akibatnya dengan kemunculan banyak partai ini mereka bersaing secara terbuka dan mengedepankan tujuan partai masing-masing, imbasnya pada penyelenggaraan pemilu pertama banyak partai menjadi kontestan pemilu. Sistem banyak partai ini berakibat pada kabinet baru yang akan berjalan. Yaitu akan mantap apabila di dalamnya terdapat koalisi. Koalisi antar partai besar dilakukan karena tidak ada partai yang menang secara mutlak. Efek negatifnya adalah jatuh bangunnya kabinet dalam tempo singkat karena partai yang berkuasa kehilangan dukungan di parlemen, akibat yang lebih parah lagi program kerja kabinet yang bersangkutan tidak dilaksanakan.
Secara politis kondisi demikian sungguh merupakan hal yang merugikan. Salah satu buktinya adalah ketidakmampuan Kontituante untuk menetapkan UUD yang baru sebagai pengganti UUDS 1950. Yang menonjol adalah persaingan antar partai politik dari golongannya,sehingga kepentingan nasional yang lebih besar terbengkalai. Oleh karena itu, Presiden Soekarno selaku kepala negara pada waktu itu mengeluarkan dekrit yang menyatakan bahwa konstituante dibubarkan dan kembali ke UUD 1945 yang kemudian menghendaki terbentuknya MPRS dan DPRS. Dekrit ini dikeluarkan pada tanggal 5 Juli 1959. Sejak itu pula dimulainnya babak baru pelaksanaan demokrasi dan berakhirnya sistem demokrasi parlementer.
Dilihat dari segi historis partai-partai politik ini bermula dari penjajahan Jepang dan Belanda, namun pada awal Indonesia mengenyam kemerdekaan, konsentrasi bangsa Indonesia sedang tertuju dengan perlawanan politik dan aksi militer dari Belanda.
b. Demokrasi pada periode 1959-1965
Istilah demokrasi terpimpin telah dikemukakan oleh Presiden Soekarno sewaktu membuka Konstituante pada tanggal 10 November 1956. Sebenarnya masa demokrasi terpimpin dalam banyak aspek telah banyak menyimpang dari demokrasi konstitusional dan lebih banyak menampilkan beberapa aspek dari demokrasi rakyat. Pada masa ini ditandai dengan dominasi presiden, terbatasnya peran partai politik, perkembangan partai komunis, dan peran ABRI sebagai unsur sosial-politik semakin meluas.
Dalam praktik pemerintahan, pada periode ini telah banyak melakukan distorsi terhadap praktik demokrasi. Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dapat dipandang sebagai suatu usaha untuk mencari jalan keluar dari kemacetan politik yang terjadi dalam sidang konstituante merupakan salah satu bentuk penyimpangan praktik demokrasi. Begitu pula, dalam UUD telah ditegaskan bahwa bagi seorang presiden dapat bertahan sekurang-kurangnya selama lima tahun (UUD memungkinkan seorang presiden untuk dipilih kembali) sebagaimana yang ditentukan oleh UUD. Selain itu, bentuk penyelewengan lainnya yang terjadi adalah pada tahun 1960, Ir. Soekarno sebagai presiden membubarkan DPR hasil pemilihan umum, padahal dalam penjelasan UUD 1945 dijelaskan dan ditegaskan secara eksplisit bahwa presiden tidak memiliki wewenang untuk melakukan hal tersebut. Karena antara presiden dan DPR tidak dapat saling menjatuhkan ataupun membubarkan.
Setelah presiden membubarkan DPR hasil pemilihan umum 1955, maka dibentuklah DPR Gotong Royong. Dalam DPR Gotong Royong sangat ditonjolkan peranannya sebagai pembantu pemerintah, sedangkan fungsi kontrol sebagai sesuatu yang melekat pada DPR ditiadakan. Selain itu, pimpinan DPR Gotong Royong dijadikan sebagai salah seorang menteri. Dengan demikian dalam posisi itu pimpinan Dewan hanya difungsikan sebagai pembantu presiden disamping fungsi sebagai wakil rakyat. Peristiwa tersebut mencerminkan telah ditinggalkannya doktrin trias politika yang intinya adalah adanya pembagian dan pemisahan kekuasaan antara legislatif, eksekutif, dan yudikatif.
Selain itu, penyelewengan di bidang perundang-undangan dimana pelbagai kegiatan pemerintah dilaksanakan melalui penetapan presiden (Penpres) yang memakai Dekrit 5 Juli sebagai sumber hukum. Sementara itu politik mercusuar di bidang hubungan luar negeri dan ekonomi dalam negeri telah menyebabkan keadaan ekonomi menjadi tambah seram.
Dalam pandangan A. Syafi’i Ma’arif demokrasi terpimpin sebenarnya ingin menempatkan Soekarno sebagai Ayah dalam famili besar yang bernama Indonesia dengan kekuasaan terpusat berada di tangannya. Dengan demikian kekeliruan yang sangat besar dalam demokrasi terpimpin Soekarno adalah adanya pengingkaran terhadap nilai-nilai demokrasi yaitu terpusatnya kekuasaan hanya pada diri pemimpin dan membentuk sistem yang otoriterian. Karena itu pada periode ini sebenarnya alam dan iklim demokrasi tidak muncul, karena yang sebenarnya terjadi dalam praktik pemerintahan adalah rezim pemerintahan yang sentralistik otoriter Soekarno. Demokrasi terpimpin ala Soekarno berakhir dengan lahirnya gerakan 30 September 1965 yang didalangi oleh PKI (Partai Komunis Indonesia).
c. Demokrasi pada periode 1965-1998
Periode pemerintahan ini muncul setelah gagalnya gerakan 30 September yang dilakukan oleh PKI. Landasan formil periode ini adalah Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945 serta ketetapan-ketetapan MPRS. Semangat yang mendasari kelahiran periode ini adalah ingin mengembalikan dan memurnikan pelaksanaan pemerintahan yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Karena sebelum periode ini telah terjadi penyelewengan dan pengingkaran terhadap kedua landasan formal dan yuridis dalam kehidupan kenegaraan. Dalam usaha untuk meluruskan kembali penyelewengan terhadap UUD yang telah terjadi dalam masa Demokrasi Terpimpin, kita telah mengadakan tindakan korektif. Ketetapan MPRS No.III/1963 yang menetapkan masa jabatan seumur hidup untuk Ir.Soekarno telah dibatalkan dan jabatan presiden kembali menjadi jabatan efektif selama lima tahun. Ketetapan MPRS No.XIX/1966 telah menentukan ditinjaunya kembali produk-produk legislatif dari masa Demokrasi Terpimpin atas dasar itu Undang-Undang No.19/1964 telah diganti dengan satu undang-undang baru (No.14/1970) yang menetapkan kembali azas “kebebasan badan-badan pengadilan” Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong diberi beberapa hak kontrol, disamping ia tetap mempunyai fungsi untuk membantu pemerintah. Pimpinannya pun tidak lagi mempunyai status sebagai menteri.
Golongan karya, dimana ABRI memegang peranan penting, diberi landasan konstitusional yang lebih formil. Selain dari itu beberapa hak asasi manusia diusahakan supaya diselenggarakan secara lebih penuh dengan memberi kebebasan lebih luas kepada pers untuk menyatakan pendapat, dan kepada partai-partai politik diberikan hak untuk bergerakn dan menyusuk kekuatannya, terutama menjelang pemilihan umum 1971. Dengan demikian diharapkan terbinanya partisipasi politik dari golongan-golongan dalam masyarakat. Disamping itu diadakan program pembangunan ekonomi secara teratur dan terencana.
Beberapa perumusan tentang demokrasi Pancasila sebagai berikut :
a. Demokrasi dalam bidang politik
b. Demokrasi dalam bidang ekonomi
c. Demokrasi dalam bidang hukum
Dengan demikian watak demokrasi pancasila tidak berbeda dengan demokrasi pada umumnya. Karena dalam demokrasi pancasila memandang kedaulatan rakyat sebagai inti dari sistem demokrasi. Karenanya rakyat mempunyai hak yang sama untuk menentukan dirinya sendiri. Namun, “Demokrasi Pancasila Soeharto”ini dalam rezim Orde Baru hanya sebagai retorika dan gagasan belum sampai pada tahap tataran praksis atau penerapan. Karena dalam praktik kenegaraan dan pemerintahan, rezim ini tidak memberikan ruang bagi kehidupan berdemokrasi.
Orde Baru di bawah pimpinan Soeharto awalnya bertujuan mengembalikan kondisi bangsa Indonesia setelah pemberontakan PKI pada September 1965, dan melakukan koreksi terhadap demokrasi sebelumnya, yaitu demokrasi terpimpin. Salah satu perubahan yang dilakukan dalam bidang politik, pada awalnya rakyat merasakan perubahan yang berarti, melalui serangkaian program yang dituangkan dalam GBHN dan Repelita, namun demikian lama-kelamaan program pemerintahan Orde Baru diperuntukkan untuk kepentingan penguasa. Kekuasaan Orde Baru menjadi otoriter, namun seolah-olah dilaksanakan secara demokratis. Penafsiran UUD 1945 pun dimanipulasi demi kepentingan penguasa. Pancasila pun diperalat demi legitimasi kekuasaan. Akibat kekuasaan yang nyaris tanpa kontrol akhirnya penguasa Orde Baru cenderung melakukan penyimpangan hampir di semua sendi kehidupan bernegara. Korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) merajalela dan membudaya, pertumbuhan ekonomi hanya dinikmati orang yang dekat dengan kalangan penguasa, kesenjangan semakin melebar, hutang luar negeri menggunung. Akhirnya badai krisis ekonomi menjalar menjadi krisis multi dimensi. Rakyat yang dipelopori mahasiswa menuntut dilakukannya reformasi di segala bidang. Akhirnya, runtuhlah Orde Baru bersamaan mundurnya Soeharto pada tanggal 12 Mei 1998. Dengan demikian kejadian pengingkaran terhadap nilai-nilai demokrasi juga terjadi dalam Demorkasi Pancasila pada masa rezim Soeharto.
d. Demokrasi pada periode 1998-sekarang
Perjalanan demokrasi di Indonesia tidak berhenti pada “Demokrasi Terpimpin”nya Soekarno ataun “Demokrasi Pancasila”nya Soeharto, alih-alih mempunyai suatu pemerintahan yang demokratis, model demokrasi yang ditawarkan di dua rezim awal pemerintahan Indonesia tersebut justru memunculkan pemerintahan yang otoritarian, yang membelenggu kebebasan politik warganya. Pada masa itu banyak terjadi penyimpangan terhadap ideologi Pancasila dan mekanisme UUD 1945, selanjutnya tujuan negara justru menyimpang jauh dari cita-cita demokrasi dan kemerdekaan. Kekuasaan presiden yang berlebihan melahirkan budaya korupsi, kolusi, dan nepotisme sehingga terjadi krisis di seluruh aspek kehidupan. Akhirnya pada tahun 1997 rakyat Indonesia melakukan reformasi politik, reformasi tersebut diperjuangkan oleh beberapa pihak yang akhirnya dapat menjatuhkan rezim orde baru 1998.
Awal keberhasilan gerakan reformasi ditandai dengan mundurnya Presiden Soeharto dari kursi kepresidenan dan digantikan oleh wakil Presiden B.J. Habibie. Pada tanggal 21 Mei 1998. Peemrintahan Habibie inilah yang merupakan masa transisi yang akan membawa Indonesia untuk melakukan reformasi secara menyeluruh serta menata sistem ketatanegaraan yang lebih demokratis dengan mengadakan perubahan UUD 1945 agar lebih sesuai dengan tuntutan zaman. Oleh karena itu, pada era reformasi ini selain melakukan reformasi pada bidang politik melalui perubahan perundang-undangan, juga diperlukan amandemen UUD 1945. Pada masa ini peran partai politik mulai menonjol, sehingga iklim demokrasi memperoleh nafas baru. Memang waktu dilakukan Pemilu konsep demokrasi yang kekuasaannya berada di tangan rakyat, tetapi setelah usai Pemilu, banyak kebijakan yang tidak berdasarkan kepentingan rakyat, justru lebih menekankan pada pembagian kekuasaan antara presiden dan partai politik.
3. PENUTUP
Setelah kita melihat sejarah perkembangan demokrasi di Indonesia dari rezim Soekarno dengan “Demokrasi Terpimpin”nya dan rezim Soeharto dengan “Demokrasi Pancasila”nya justru membuahkan sistem pemerintahan yang otoritan. Lalu dilanjutkan dengan gerakan mahasiswa pada tahun 1997 yang berusaha menumbangkan pemerintahan Soeharto yang dipelopori oleh salah satu tokoh nasional yaitu Amin Rais, dan memunculkan paham baru yaitu “Reformasi” serta era keterbukaan.
Di atas segala-galanya, yang juga dibutuhkan oleh demokrasi-demokrasi yang baru tumbuh seperti di negara kita adalah pengelolaan yang efektif di bidang ekonomi, selain di bidang pemerintahan. Dengan demokian penerapan demokrasi tidak saja dalam area politik, melainka dalam bidang ekonomi, sosial budaya dan sebagainya. Jika demokrasi-demokrasi yang baru tumbuh dapat mengelola pembangunan ekonomi secara efektif, maka mereka juga dapat menata rumah tangga politik mereka dengan baik. Tapi ketegangan-ketegangan yang segera timbul akibat pertumbuhan ekonomi bisa jadi juga menggrogoti stabilitas demokrasi dalam jangka panjang.
0 komentar:
Posting Komentar