BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Tanah merupakan kebutuhan hidup manusia yang sangat mendasar. Manusia hidup serta melakukan aktivitas di atas tanah sehingga setiap saat manusia selalu berhubungan dengan tanah dapat dikatakan hampir semua kegiatan hidup manusia baik secara langsung maupun tidak langsung selalu memerlukan tanah. Pun pada saat manusia meninggal dunia masih memerlukan tanah untuk penguburannya. Begitu pentingnya tanah bagi kehidupan manusia, maka setiap orang akan selalu berusaha memiliki dan menguasainya. Dengan adanya hal tersebut maka sebelum membahas lebih jauh kiranya kita harus mengetahui tinjauan umum tentang pertnahan, hak-hak tanah, asas asas yang ada hukum pertanahan dan sebagainya.
Tanah mempunyai peranan yang besar dalam dinamika pembangunan, maka didalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 33 ayat 3 disebutkan bahwa Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat .Ketentuan mengenai tanah juga dapat kita lihat dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria atau yang biasa kita sebut dengan UUPA.
B. Rumusan Masalah
Untuk memberikan arah, penulis bermaksud membuat suatu perumusan masalah sesuai dengan arah yang menjadi tujuan dan sasaran penulisan dalam makalah ini. Perumusan masalah menurut istilahnya terdiri atas dua kata yaitu rumusan yang berarti ringkasan atau kependekan, dan masalah yang berarti pernyataan yang menunjukkan jarak antara rencana dengan pelaksanaan, antara harapan dengan kenyataan. Perumusan masalah dalam makalah ini berisikan antara lain
1. Apa pengertian hukum agraria (hukum pertanahan)?
2. Bagaimana Kedudukan Hak Atas Tanah dan Sertifikasinya?
3. Bagaimana Asas Asas Pertanahan itu ? dsb.
C. Tujuan dan Kegunaan
Adapun beberapa tujuan dan kegunaan dari makalah ini yaitu:
1. Untuk mengetahui bagaiman gambaran dari Hukum Agraria, dan hal- hal yang ada dalam hukum pertanahan.
2. Guna menambah wawasan dan pengetahuan bagi para mahasiswa mengenai hukum agraria dan permasalahannya.
3. Dapat bermanfaat dan memberikan informasi tentang Hukum Pertanahan dan permasalannya.
BAB II
PEMBAHASAN
TINJAUAN UMUM HUKUM AGRARIA
A. DEFINISI HUKUM AGRARIA
Hukum agraria ialah suatu hukum yang mengatur prihal tanah beserta segala seluk-beluknya yang ada hubungannya dengan pertanahan, misalkan hal perairan, perikanan, perkebunan, pertambangan dan sebagainya.
Adapun yang termasuk dalam ruang lingkup hal pertanahan beserta segala beluk-beluknya tersebut, menurut Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria(UUPA) secara terperinci dapat dijabarkan sebagai berikut:
1. seluruh bumi, dalam arti disamping permukaan bumi (yang disebut tanah), termasuk pada tubuh bumi di bawahnya serta bagian bumi yang berada di bawah air;
2. seluruh air, dalam arti perairan, baik perairan pedalaman maupun laut wilayah Republik Indonesia;
3. seluruh ruang angkasa, dalam arti ruang yang ada di atas bumi;
4. sumber-sumber kekayaan alam yang terkandung di dalam bumi, yang disebut bahan-bahan galian atau sumber-seumber galian yang pada daasarnya merupakan objek dari usaha-usaha industry, perrtambangan dan sejenisnya;
5. sumber-sumber kekayaan alam yang tertkandung di dalam air, baik perairan pedalaman maupun perairan laut wilayah Republik Indonesia misalkan ikan dan sebangsanya, berbagai bangsa binatang laut lainnya, garam, mutiara, dan sebagainya.
Dalam hal ini, hukum agraria merupakan salah satu saranan pengejawantahan cita-cita nasional bagi kita semua, melalui hakikat dan fungsinya yakni sebagai hukum yang:
1. menjaga keserasian antara alam dan manusia serta mempertahankan keserasian kehidupan segala makhluk pengisi ala mini dalam kehidupan alamiahnya yang lestari;
2. mengatur dan menjamin seluruh rakyat untuk sedapat dan semerata mungkin memperoleh manfaat atas tanah-tanah yang ada di seluruh wilayah Negara;
3. mengatur hak rakyat/pribad hukum tantra maupun perdata untuk memanfaatkan sumber kekayaan alam yang ada berdasarkan kepentingan dan kedudukan pribadi masing-masing;
4. mengatur segala kewajiban (rakyat/ pribadi hukum tersebut) selaras dengan segala hak mereka yang berkenaan dengan tanah dan penggunaannya;
5. memberikan batasan yang jelas mengenai tingkat keadaan tanah yang ada berikut tingkatan hak dan kewajiban beserta segala persyaratan dan harus diperhatikan oleh para pemegang dan para calon pemegang hak dan kewajiban atas tanah yang bersangkutan;
6. menggariskan hak maksimal dan kewajiban minimal yang harus dipenuhi oleh yang menggunakan tanah itu secara konsekuen dalam arti tegas merata dan seimbang, demi tegaknya keadilan dalam bidang pertanahan di seluruh negeri.
B. SEJARAH HUKUM AGRARIA
Purnadi Purbacaraka dalam bukunya Sendi-sendi Hukum Agraria, membagi kronologi sejarah hukum agraria menjadi lima tahap, yaitu:
Tahap I, manusia dalam kehidupan yang dikatakan primitif baru mengenal meramu sebagai sumber penghidupannya yang pertama kali dan satu-satunya pula;
Tahap II, manusia telah menemukan mata pencahariaan baru yakni berburu yang dilakukan secara nomaden, yakni mengembara dari hutan ke hutan mengikuti hewan buruan yang ada;
Tahap III, manusia telah menemukan mata pencaharian yang baru lagi, yakni beternak meskipun system pelaksanaannya pun masih sangat primitif dan secara nomaden pula.
Tahap IV, merupakan perkembangan lebih lanjut dari pola hidup menetap barulah manusia mulai bercocok tanam sebagai mata pencahariannya. Dalam tahap inilah manusia mulai memikirkan dan mempersoalkan keadaan tanah mengingat kepentingannya sehubungan dengan mata pencahariannya yang baru itu. Tetapi pengetahuan manusia tentang hal pertanahan pada masa itu sangat sederhana dan sempit, terbatas hanya pada hal-hal yang berkenaan dengan keperluan atau masalah yang tengah dihadapinya saja.
Tahap IV, manusia mulai hidup berkelompok. Dalam tahap ini manusia manusia talah mengenal mata pencaharian berdagang barter tetapi masih dalam taraf,pola dan sistim yang sangat sederhana, yakni tukar-menukar barang.
Bersamaan dengan berkembangnya perdagangan ini, maka berkembang pula mata pencaharian bercocok tanam dan perhatian serta pengetahuan orang terhadap bidang pertanahan kian berkembang pula. Dalam tahap inilah hukum agrarian mulai lahir meskipun baik secara formal maupun material dapat dikatakan masih sangat primitif, masih sangat jauh dari memadai.
Melalui perkembangan zaman, Hukum Agraria tersebut menjadi kian berkembang mengalami berbagai penyempurnaan dan pembaharuan setahap demi setahap hingga sekarang ini.
Bila dipandang menurut sejarahnya di Indonesia, maka hukum agraria dapat diklasifikasikan menjadi 2 fase, yaitu;
1. Fase Pertama
Hukum agraria sebelum berlakunya UUPA,yang terbagi pula atas 2 “kutub” hukum, yakni;
Hukum agraria Adat, yang mengenal hak atas tanah seperti hak milik,hak pakai, dan hak ulayat.
Hukum agraria Barat (Hukum Perdata Barat), yang melahirkan hak atas tanah seperti hak eigendom, hak opsal, hak erfpacht, hak gebruik dan sebagainya.
2. Fase Kedua
Hukum Agraria sesudah berlakunya UUPA (mulai tanggal 24 September 1960), yang melahirkan hak atas tanah seperti:
hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak sewa, untuk bangunan dan hak atas tanah yang bersifat sementara seperti hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang dan sebagainya.
C. SUMBER HUKUM AGRARIA
Adapun sumber atau bahan yang dijadikan rujukan oleh hukum agraria yaitu;
1. Perundang-undangan;
a. Undang-undang Dasar 1945
b. Undang-undang N0. 5 Tahun 1960, Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria
c. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang N0. 56 Tahun 1960, Tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian
d. Peraturan Pemerintah No. 224 Tahun 1961 Tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian
e. Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 1964 Tentang Perubahan dan Tambahan Peraturan Pemerintah No. 224 Tahun 1961 Tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian
2. Hukum Kebiasaan
Hukum Adat dan Yurisprudensi sebagai “rechters gewoonterecht”.
HUKUM PERTANAHAN DI YOGYAKARTA
A. Sebelum Tahun 1984
Periode pertama berlangsung hingga tahun 1918, yakni saat dimulainya reorganisasi keagrariaan. Pada masa kabekelan/apanage ini berlaku asas bahwa tanah adalah milik raja; sebagian diantaranya diberikan kepada kerabat dan pejabat keraton sebagai tanah lungguh, sedang rakyat hanya mempunyai wewenang anggadhuh (meminjam). Dalam hal ini rakyat tidak memiliki hak hukum atas sebidang tanah, tetapi hanya sekedar menggarapnya. Oleh karenanya jaman ini merupakan jaman penderitaan bagi rakyat kecil, dimana selain diharuskan menyerahkan sebagian hasil tanamnya, rakyat masih diwajibkan bekerja di perusahaan-perusahaan pertanian.
Periode kedua ditandai dengan dilaksanakannya perubahan dalam sistem pemilikan tanah tahun 1918 hingga tahun 1950-an. Pada masa ini raja melepaskan hak-haknya atas sebagian terbesar dari tanah yang termasuk wilayahnya, yang kemudian menjadi hak milik pribumi anggota masyarakat desa, dan diadakannya pembagian baru dari persil-persil tanah untuk penduduk desa. Peraturan perundangan yang mengatur tentang proses perubahan sistem pemilikan tanah ini adalah Rijksblad Kasultanan 1918 No. 16 tanggal 8 Agustus 1918, diantara pasalnya berbunyi sebagai berikut:
Pasal 3
(Semua tanah yang terletak dalam wilayah yang telah diorganisir yang nyata-nyata dipakai rakyat, baik yang ditempati maupun yang diolah secara tetap atau tidak tetap sebagaimana tercatat dalam register kalurahan, diberikan kepada kalurahan baru tersebut dengan hak anggadhuh/inlandsbezitsrecht. Adapun tanah yang diberikan kepada masing-masing kalurahan itu adalah tanah yang termasuk dalam register kalurahan).
Perlu dikemukakan disini bahwa akhir periode kedua ini tidak bisa dipastikan waktunya, disebabkan karena sekitar tahun 1950-an terjadi banyak peristiwa penting yang berkaitan dengan bidang agraria seperti dihapuskannya pajak kepala tahun 1946, digantikannya pajak tanah dengan pajak pendapatan tahun 1951, dan diberikannya hak milik perseorangan turun-temurun tahun 1954.
Periode ketiga berlangsung sejak tahun 1950-an, hingga tahun 1984 yakni saat diberlakukannya UU No. 5 Tahun 1960 secara penuh di Daerah Istimewa Yogyakarta.
Adapun peraturan-peraturan yang dikeluarkan Pemerintah DIY dibidang agraria adalah: Peraturan Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 5 Tahun 1954 Tentang Hak Atas Tanah di Daerah Istimewa Yogyakarta; Peraturan Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 10 Tahun 1954 Tentang Pelaksanaan "Putusan" Desa Mengenai Peralihan Hak Andarbe (erfelijk individueel bezitsrecht) Dari Kalurahan dan Hak Anganggo Turun Temurun Atas Tanah (erfelijk individueel gebruiksrecht) dan Perubahan Jenis Tanah di Daerah Istimewa Yogyakarta; Peraturan Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 11 Tahun 1954 Tentang Peralihan Hak Milik Perseorangan Turun Temurun Atas Tanah (erfelijk individueel bezitsrecht); serta Peraturan Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 12 Tahun 1954 Tentang Tanda Yang Sah Bagi Hak Milik Perseorangan Turun Temurun Atas Tanah (erfelijk individueel bezitsrecht).
Dari ketentuan pasal 1 dan 2 tersebut dapat diketahui bahwa Perda No. 5 Tahun 1954 hanya mengatur hak atas tanah di kalurahan-kalurahan diluar kota praja Yogyakarta. Sedangkan untuk dalam Kota Besar, sambil menunggu Perda yang baru, sementara masih berlaku Rijksblad-Rijksblad diatas. Tetapi ternyaa sampai dengan tahun 1984 saat pemberlakuan UUPA secara penuh di DIY, Pemerintah DIY tidak menghasilkan Peraturan Daerah yang baru, sehingga hak atas tanah di Kota Besar Yogyakarta masih diatur dengan peraturan-peraturan lama.
Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 6 Tahun 1972 tentang Pelimpahan Wewenang Pemberian Hak Atas Tanah yang sebelumnya ditangguhkan berlakunya di DIY berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 92 Tahun 1972, sejak tahun 1984 dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 68 Tahun 1984 dinyatakan berlaku bagi DIY, dan sekaligus mencabut Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 92 Tahun 1972. Dengan berlakunya Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 6 Tahun 1972 ini, maka Gubernur, Bupati/Walikotamadya, dan Camat mendapat kewenangan-kewenangan tertentu dalam hal pemberian hak ats tanah,.
Satu peraturan lagi yang harus ditetapkan sebagaimana diperintahkan Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 66 Tahun 1984 adalah tentang Penegasan Konversi dan Pendaftaran Hak Atas Tanah Milik Perorangan Berdasarkan Peraturan Daerah Istimewa Yogyakarta No. 5 Tahun 1954. Peraturan yang termuat dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 69 Tahun 1984 ini dalam pasal 1 nya menegaskan Perda DIY No. 5 Tahun 1954 adalah hak milik sebagaimana dimaksud dalam diktum KEDUA pasal II Ketentuan-ketentuan Konversi UU No. 5 Tahun 1960, yaitu hak agrarisch eigendom, milik, yasan, andarbeni, hak atas druwe desa, pesini, grant Sultan, landerijen bezitrecht, altijderende erfpacht, hak usaha atas bekas tanah partikelir dan hak-hak lain dengan nama apapun yang akan ditetapkan lebih lanjut oleh Menteri Agraria.
Selanjutnya Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 69 Tahun 1984 menentukan bahwa pendaftaran dan pemberian hak atas tanah dilaksanakan sebagai berikut.
Tanah dengan tanda hak milik model D dan kutipan buku daftar hak milik dibukukan dalam buku tanah dan kepada yang bersangkutan diberikan sertifikasi sesuai peraturan yang berlaku. Tanah dengan tanda hak milik model E baru dapat dibukukan dalam buku tanah setelah dilaksanakan pengukuran dan kepad yang bersangkutan diberikan sertifikasi sesuai peraturan yang berlaku. Dan tanah dengan tanda hak milik Petikan Leter C dilaksanakan setelah permohonan yang bersangkutan diumumkan menurut ketentuan pasal 18 Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961, yaitu di Kantor Kepala Desa dan Asisten Wedana selama 2 bulan berturut-turut (pasal 4).
Akhirnya perlu dikemukakan disini ketentuan pasal Peraturan Mentri Pertanian dan Agraria No. 2 Tahun 1962 yang menyatakan bahwa:
1. hak-hak yang disebut dalam pasal II Ketentuan-ketentuan Konversi UUPA ditegaskan dan didaftar menjadi:
a. hak milik, jika yang mempunyainya pada tanggal 24 September 1960 memenuhi syarat untuk mempunyai hak milik.
b. hak guna bangunan dengan jangka waktu 20 tahun sejak berlakunya UUPA, jika yang mempunyainya tidak mempunyai syarat untuk mempunyai hak milik dan tanahnya merupakan tanah perumahan.
c. hak guna usaha dengan jangka waktu 20 tahun sejak berlakunya UUPA, jika yang mempunyainya tidak mempunyai syarat untuk mempunyai hak milik dan tanahnya merupakan tanah pertanian.
2. Hak-hak yang disebut dalam pasal VI Ketentuan-ketentuan Konversi UUPA yaitu hak vruchtgebruik, gebruik, grant controleur, brukleen, ganggam bauntuik, anggaduh, pituas, bengkok / lungguh dan hak-hak lain yang akan ditegaskan lebih lanjut oleh Menteri Agararia, didaftar dan ditegaskan menjadi hak pakai.
Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa kebijaksanaan Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta tersebut adalah sesuai dan selaras dengan UUPA dan oleh karenanya tidak terdapat pertentangan satu sama lain. Bahkan hak ini bisa dibenarkan berdasarkan hak asal-usul yang dimiliki oleh Daerah Istimewa Yogyakarta. Yang jelas, selama ini inventarisasi dan pembagian tanah oleh BPN atas tanah-tanah Swapraja/bekas Swapraja didasarkan pada Peraturan Pemerintah No. 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian. Fakta ini dalam prakteknya selalu berhadapan dengan masalah pro dan kontra, disebabkan karena adanya anggapan dari berbagai pihak yang menyatakan bahwa PP No. 224 Tahun 1961 itu tidak bisa dijadikan dasar, dan oleh karenanya tanah-tanah Swapraja/bekas Swapraja itu tetap tidak jelas statusnya.
Secara jujur harus diakui bahwa fungsi PP No. 224 Tahun 1961 itu masih membingungkan. Sebab kalau memang dimaksudkan sebagai aturan organik (pelaksana) dari UU No. 5 Tahun 1960 khususnya diktum KEEMPAT, dalam konsideran PP No. 224 Tahun 1961 semestinya dicantumkan “Diktum KEEMPAT UU No. 5 Tahun 1960”, tidak sekedar “UUPA (LN 1960 No. 104)”. Meskipun demikian, paling tidak ada 2 (dua) ketentuan penting yang berhubungan dengan tanah Swapraja/bekas Swapraja yang diatur dalam PP No. 224 Tahun 1961, yaitu:
1. Bahwa tanah-tanah yang akan dibagikan dalam rangka Land-reform adalah tanah-tanah Swapraja/bekas Swapraja yang telah beralih kepada Negara (pasal 1 c).
2. Bahwa tanah Swapraja/bekas Swapraja tersebut diberi peruntukan: sebagian untuk kepentingan pemerintah, sebagian untuk mereka yang langsung dirugikan karena dihapuskannya hak Swapraja atas tanah itu, dan sebagian untuk rakyat yang membutuhkan (pasal 4).
KEDUDUKAN HAK ATAS TANAH
DAN SERTIFIKASINYA
Kepemilikan hak atas tanah merupakan hak dasar yang juga merupakan bagian dari hak asasi manusia. Pencabutan kepemilikan hak atas tanah oleh presiden dilakukan untuk kepentingan umum. Perlindungan subjek hak atas dalam menghadapi pencabutan hak didasarkan kepada pemahaman pengertian kepentingan umum. Kepentingan umum merupakan suatu yang abstrak, mudah dipahami secara teoritis, tetapi menjadi sangat kompleks ketika diimplementasika
Kebijakan publik telah ditetapkan oleh pemerintah mengenai kewenangan pemerintah untuk melakukan pencabutan hak atas tanah demi kepentingan umum dengan telah dikeluarkannya Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 Tentang pengadaan tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum (untuk selanjutnya ditulis Perpres No. Tahun 2005). Menurut catatan Kompas, ketentuan pencabutan hak atas tanah ini ternyata tidak jauh beda dengan Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 Tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Keoentingan Umum, yang pernah dikeluarkan oleh Presiden Soeharto. Baik Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 maupun Perpres No. 36 Tahun 2001, sama-sama merujuk pada Undang-undang Nomor 20 Tahun 1961 Tentang Pencabutan Hak-hak atas Tanah dan Benda yang ada diatasnya (Kompas, 8 Mei 2005).
Selanjutnya dikatakan pada masa reformasi saat ini harus ada revisi terhadap ketentuan yang mengatur tentang hak atas tanah dengan memberikan jaminan terhadap kepemilikan tanah. Dengan revisi tersebut, bukan berarti hak milik atas tanah tidak bisa dicabut, tetapi prosesnya tidak semudah di zaman Orde Baru, karena harus melewati aturan yang ketat (Kompas, 9 Mei 2005). Dalam masa refomasi ini banyak masyarakat layak terkejut dengan dikeluarkannya kebijakan publik yang dituangkan dalam Perpres No. 36 Tahun 2005. Keterkejutan itu beralasan, karena kita semua tidak mengira bila pemerintah mengeluarkan peraturan di tengah harapan berjalannya proses demokrasi dan penguatan hak-hak rakyat sipil. Lahirnya Perpres No. 36 Tahun 2005, mengingatkan orang pada praktek-praktek pemerintahan Orde Baru dalam mengambil paksa tanah-tanah rakyat baik yang di kota maupun di desa dengan mengatasnamakan pembangunan, sehingga menimbulkan penggusuran dan konflik agraria.
A. Hak Asasi Manusia dan Hak Atas Tanah
Hukum melindungi kepentingan seseorang dengan cara mengalokasikan suatu kekuasaan kepadanya untuk bertindak dalam rangka kepentingannya tersebut (Rahardjo, 2000 : 53).
Dengan demikian, hak itu merupakan suatu kepentingan yang dilindungi oleh hukum, sehingga memungkinkan seseorang menunaikan kepentingan tersebut. Seperti dinyatakan oleh Allen : "The legally guarenteds power to realisean interst". Oleh karena itu implikasi dari definisi tentang hak tersebut antara lain :
a. hak adalah suatu kekuasaan, yaitu suatu kemampuan untuk memodifikasi keadaan.
b. Hak merupakan jaminan yang diberikan oleh hukum.
c. Penggunaan hak menghasilkan suatu keadaan yang berkaitan langsung dengan kepentingan pemilik hak. (Ali, 1996:242)
Dalam kepustakaan ilmu hukum dikenal teori atau ajaran untuk menjelaskan keberadaan hak, antara lain :
a. Belangen Theorie (teori kepentingan) menyatakan bahwa hak adalah kepentingan yang terlindungi. Salah satu penganutnya adalah Rudolf von Jhering, yang berpendapat bahwa hak itu suatu kepentinagn yang penting bagi seseorang yang dilindungi oleh hukum, atau suatu kepentingan yang terlindungi.
b. Wilmacht Theorie (teori kehendak), yaitu adalah kehendak yang dilengkapi oleh kehendak. Salah satu penganutnya adalah Bernhard Winscheid, yang menyatakan bahwa hak itu suatu kehendak yang dilengkapi dengan kekuatan dan diberi oleh tata tertib hukum kepada seseorang. Berdasarkan kehendak seseorang dapat mempunayai rumah, mobil, tanah dan sebagainya.
c. Teori fungsi sosial yang dikemukakan oleh Leon Duguit, yang menyatakan bahwa tidak ada seseorang manusiapun yang mempunyai hak. Sebaliknya, di dalam masyarakat, bagi manusia hanya ada satu tugas sosial. Tata tertib hukum tidak didasarkan atas hak kebebasan manusia, tetapi atas tugas sosial yang harus dijalankan oleh anggota masyarakat (Mas, 2004:32 - 33).
Sedangkan dilihat dari sudut kewenangan, maka pengertian hak berintikan kebebasan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu berkenaan dengan sesuatu atau terhadap subjek hukum tertentu atau semua subjek hukum tanpa halangan atau gangguan dari pihak manapun, dan kebebasan tersebut memiliki kewenang-wenangan untuk melakukan perbuatan tertentu, termasuk menuntut sesuatu (Kusumaatmadja dan Sidharta, 2000 : 90).
B. Sertifikasi Tanah
Kurang atau minimnya bukti kepemilikan atas tanah menjadi salah satu penyebab dari minimnya proses pendaftaran hak atas tanah. Hal lain yang menjadi penyebab yakni juga minimnya pengetahuan masyarakat akan arti pentingnya bukti kepemilikan hak atas tanah. Untuk proses pembuatan sertipikat maka mereka harus memiliki surat-surat kelengkapan untuk tanah yang mereka miliki, akan tetapi pada kenyataannya tanah-tanah yang dimiliki masyarakat pedesaan atau masyarakat adat itu dimiliki secara turun temurun dari nenek moyang mereka, sehingga surat kepemilikan tanah yang mereka miliki sangat minim bahkan ada yang tidak memiliki sama sekali. Mereka menempati dan menggarap tanah tersebut sudah berpuluh-puluh tahun sehingga masyarakat pun mengetahui bahwa tanah tersebut adalah milik si A atau si B tanpa perlu mengetahui surat-surat kepemilikan atas tanah tersebut.
Dan saat ini dengan adanya Undang-Undang Pokok Agraria yang ditindak lanjuti dengan adanya Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 yang kemudian diganti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tidak mungkin lagi diterbitkan hak-hak yang tunduk kepada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ataupun yang akan tunduk kepada hukum adat setempat kecuali menerangkan bahwa hak-hak tersebut merupakan hak adat. Mengingat pentingnya pendaftaran hak milik atas tanah adat sebagai bukti kepemilikan hak atas tanah secara sah sesuai dengan Pasal 23, Pasal 32, dan Pasal 38 Undang-Undang Pokok Agraria, maka diberikan suatu kewajiban untuk mendaftarkan tanah adat khususnya hak milik Adat.
Sertifikat hak atas tanah memberikan kepastian hukum atas kepemilikan tanah bagi pihak yang namanya tercantum dalam sertipikat. Karena penerbitan sertipikat dapat mencegah sengketa tanah. Dan kepemilikan sertipikat akan memberikan perasaan tenang dan tentram karena dilindungi dari tindakan sewenang-wenang yang dilakukan oleh siapapun.Dengan kepemilikan sertipikat hak atas tanah, pemilik tanah dapat melakukan perbuatan hukum apa saja sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan. Selain itu, sertipikat tanah memiliki nilai ekonomis seperti disewakan, jaminan hutang, atau sebagai saham.Pemberian sertipikat hak atas tanah dimaksudkan untuk mencegah pemilikan tanah dengan luas berlebihan yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan.
ASAS ASAS HUKUM PERTANAHAN
A. Asas Ketuhanan Yang Maha Esa
Pasal 1 ayat (2) UUPA : Seluruh bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, dalam wilayah RI sebagai karunia Tuhan YME bagi bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional.
B. Asas Persatuan Indonesia
Pasal 9 ayat (1) UUPA : Hanya warga negara Indonesia dapat mempunyai hubungan yang sepenuhnya dengan bumi, air, dan ruang angkasa
Catatan : WNA hanya dapat memperoleh Hak Pakai.
C. Asas Demokrasi dan Kerakyatan
Pasal 9 ayat (2) UUPA : Tiap-tiap warga negara, baik laki-laki maupun wanita, mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh sesuatu hak atas tanah serta untuk mendapat manfaat dan hasilnya, baik bagi diri sendiri maupun orang lain.
Catatan: dalam penguasaan tanah tidak diadakan perbedaan lagi antara warga negara pribumi dan non-pribumi dan antara laki-laki dan perempuan.
D. Asas Musyawarah
Pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum dilakukan melalui musyawarah. Proses atau kegiatan saling mendengar dengan sikap saling menerima pendapat dan keinginan yang didasarkan atas kesukarelaan antara pihak pemegang hak atas tanah dan pihak yang memerlukan tanah, untuk memperoleh kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti kerugian.
E. Asas Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab
Pasal 10 UUPA : Kewajiban untuk mengerjakan dan mengusahakan sendiri secara aktif tanah pertanian yang dipunyai seseorang atau badan hukum harus dilakukan dengan mencegah cara-cara pemerasan.
Penjelasan Umum II Angka 7 : mengingat akan susunan masyarakat pertanian kita, untuk sementara waktu kiranya masih dimungkinkan adanya penggunaan tanah pertanian oleh orang-orang yang bukan pemiliknya; misalnya melalui sewa-beli, bagi-hasil, gadai dan sebagainya. Namun demikian segala sesuatunya harus diselenggarakan dengan mencegah hubungan-hubungan hukum yang bersifat penindasan si lemah oleh si kuat, tidak boleh diadakan perjanjian atau kesepakatan atas dasar free-fight, harus dicegah cara-cara pemerasan (“exploitation del’homme par l’homme”).
F. Asas Keadilan Sosial
Pasal 11, 13, 15, dan pasal-pasal yang mengatur landreform (Pasal 7, 10, 17, 53) UUPA. Penjelasan pasal 11 : ... harus diperhatikan adanya perbedaan keadaan masyarakat dan keperluan golongan rakyat, tetapi dengan menjamin perlindungan terhadap kepentingan golongan yang ekonomis lemah. Golongan ekonomis lemah tersebut, bisa warga negara asli maupun keturunan asing. Demikian pula sebaliknya.
G. Sifat Komunalistik Religius
Pasal 6 UUPA : Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial; yang memungkinkan penguasaan tanah secara individual dengan hak-hak atas tanah yang bersifat pribadi sekaligus mengandung kebersamaan, jangan mengabaikan, melainkan harus mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama.
Pasal 7 : Untuk tidak merugikan kepentingan umum, maka pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan.
diperkenankan.
H. Asas Pemisahan Horizontal
Hak atas tanah tidak dengan sendirinya meliputi pemilikan bangunan dan tanaman yang ada di atasnya. Perbuatan hukum mengenai tanah tidak dengan sendirinya meliputi bangunan dan tanaman yang ada di atasnya. Namun dalam praktek dimungkinkan suatu perbuatan hukum mengenai tanah meliputi juga bangunan dan tanaman yang ada di atasnya, aasalkan bangunan dan tanaman tersebut secara fisik merupakan satu kesatuan dengan tanah yang bersangkutan, artinya bangunan yang berfondasi dan tanaman merupakan tanaman keras; bangunan dan tanaman keduanya milik si empunya tanah; maksud demikian secara tegas disebutkan dalam akta yang membuktikan dilakukannya perbuatan hukum yang bersangkutan.
I. Asas Spesialitas
Bahwa tanah yang didaftarkan harus jelas-jelas diketahui dan nyata ada di lokasi tanahnya.
J. Asas Publitas
Bahwa setiap orang dapat mengetahui sesuatu bidang tanah itu milik siapa, seberapa luasnya, dan apakah ada beban di atasnya.
K. Asas Negatif
Bahwa pemilikan suatu bidang tanah yang terdaftar atas nama seseorang tidak berarti mutlak adanya, sebab dapat saja dipersoalkan siapa pemiliknya melalui Pengadilan.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, Masalah Pencabutan Hak Atas Tanah dan Pembebasan Tanah Di Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bhakti,1991.
Ali, Achmad, Menguak Tabir Hukum, Jakarta: Candra Pratama, 1996.
Macpherson, C.B., Pemikiran Dasar Tentang Hak Milik, Jakarta: Yayasan LBH Indonesia 1978.
Purbacaraka, Purnadi dan A. Ridwan Halim, Sendi- sendi Hukum Agraria, cet.II , Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985.
Santoso, Urip . Hukum Agraria dan Hak-hak Atas Tanah, Jakarta : Kencana, 2007.
Sumardjan, Selo . Perubahan Sosial di Yogyakarta, cet. ketiga ,Yogyakarta: Gadjah Mada U.P., 1991.
0 komentar:
Posting Komentar