BAB I
P E N D A H U L U A N
Sebagai muslim sejati sudah barang tentu kita menyadari bahwa setiap gerak dan langkah keseharian kita tidak terlepas dari hukum islam. Apalagi jika hukum islam itu kita pahami tidak hanya sebatas aturan ibadah (berupa materi fiqih) yang merupakan produk istinbath al-hukum para mujtahid. Hukum islam, dalam dimensi ilahiyah, memang lebih kompleks. Ia adalah nilai-nilai ketuhanan dan ajaran suci yang cakupannya meliputi bidang keyakinan, amaliyah, dan akhlak. Gejala berkembangnya upaya memahami hukum islam dalam konteks yang lebih luas, kini semakin kita rasakan. Kini umat tidak hanya memahami hukum islam, tetapi juga bagaimana memperoleh pemahaman yang objektif tentang sejarah hukum islam itu sendiri. Bahkan kerinduan akan munculnya kritik historis, termasuk terhadap hukum islam bukan lagi menjadi warna pemikiran para mahasiswa atau entelektual muslim. Dengan kata lain, generasi baru umat kini semakin tercerahkan.
Dalam makalah ini akan dibahas mengenai sejarah hukum islam pada masa sahabat mulai dari kehidupan masyarakat arab ketika itu, factor-faktor yang mempengaruhi Fiqih pada era sahabat, sumber pokok legislasi di masa sahabat, cara legislasi di masa sahabat, diantara keputusan hukum pada masa sahabat, Sebab-sebab timbul perbedaan pendapat, Sumber hukum islam pada zaman Rasululah saw dan ijtihad pada zaman ini. Dan juga pada zaman Khulafa Rasyidin yang dimulai dari pengaruh fatwa terhadap perkembangan hukum islam , sumber hukum islam pada zaman Sahabat, sebab- sebab ikhtilaf pada zaman Sahabat dan perkembangan Fatwa Sahabat.
Tasyri‘ islami (legislasi Islam) yang dimaksud mengandung dua pengertian. Pertama adalah sebagai ketetapan dari Allah dan Rasul. Kedua adalah sebagai ketetapan berdasarkan interpretasi manusia yang dilakukan oleh para fuqaha’ sepanjang masa sejak zaman sahabat. Tasyrî‘ itu sendiri berarti sinnu al-qawanin (سن القوانين), pembuatan hukum. Pembuat hukum dalam Islam adalah Allah dan Rasul. Karena itu, ketetapan Allah dan Rasul disebut syari‘ah ; yaitu jalan yang digariskan kepada manusia. Hukum sebagai ketetapan Allah dan Rasul tidak boleh berubah, tetapi hukum kehidupan mengikuti perubahan. Untuk mengantisipasi perubahan tersebut, manusia juga dapat membuat hukum (syari‘ah) baru berdasarkan prinsip-prinsip umum yang ditetapkan oleh syari‘ah yang asli. Hukum jenis kedua ini adalah pemahaman manusia terhadap hukum yang disebut fiqh. Dalam perkembangan sejarah Islam, istilah syari‘ah digunakan untuk kedua bentuk hukum tersebut. Inilah yang disebut sebagai at-tasyri‘ al-islami.
BAB II
P E M B A H A S A N
A. Kondisi Awal Hukum Islam Periode Al-khulafa Ar-Rasyidun
Pada periode kedua dari masa perkembangan fiqih ini bermula sejak meninggalnya nabi Muhammmad SAW. Yaitu pada tanggal 8 juni 632/11H dan berakhir ketika Muawiyah bin Abi Sofian menjabat sebagai kholifah pada tahun 41H. meninggalnya nabi SAW merupakan peristiwa yang tak diharapkan di kota Madinah dan sangat mengejutkan para sahabat. 30 tahun pasca nabi Muhammad meninggal, persoalan umat muslim pada periode ini, ditangani oleh para sahabat.
Periode ini dikenal dengan periode sahabat yaitu pada masa khulafa’ ar-rasyidin. Urutannya sebagai berikut: Abu Bakar adalah sebagai sahabat yang pertama terpilih menjadi pengganti nabi SAW. Kemudian diganti oleh Umar Ibnu al-Khatab (634M-644M), lalu digantikan oleh Usman Ibnu Affan (644-656) dan terakhir digantikan oleh Ali Ibnu Abi Tholib (656 M-661 M). empat pemimpin diatas dikenal sebagai al-Kulafa’ ar-Rasyidun (para pemimpin yang diridhoi).
Pada masa ini, Islam mulai berkembang dan melebar sayapnya dan mengibarkan panji-panji Islam dalam menjalankan misinya keberbagai daerah disekitar jazirah Arab, seperti Iraq, Syiria, Mesir, daerah-daerah di Afrika utara dan belahan dunia lainnya. Oleh karena itu sudah tentu persoalan-persoalan yang timbul dimasyarakat di semenanjung Arabiyah pun menjadi lebih beragam.
B. Factor-faktor yang Mempengaruhi Fiqih pada Era Sahabat
Para sahabat, memainkan peranan yang sangat penting dalam membela dan mempertahankan agam Islam. Mereka bukan sekedar melestarikan “tradisi hidup” nabi, tetapi juga melebarkan sayap dakwah islam hingga ke negeri Persia, Iraq, Syam dan Mesir. Ini untuk pertama kalinya Fiqih berhadapan dengan persoalan baru, penyelesaian atas masalah moral, etika, cultural dan kemanusiaan dalam masyarakat yang pluralistic.
Agaknya inilah faktor yang terpenting dalam mempengaruhi perkembangan Fiqih pada periode itu. Daerah-daerah yang dibuka dan diislamkan pada saat itu memiliki perbedaan masalah kultural, tradisi, situasi dan kondisi yang menghadang para Fuqaha, sahabat untuk memberikan “hukum” pada pesoalan-persoalan baru yang muncul dibelakangan ini.
Para sahabat dengan kapasitas pemahaman yang komprehensif terhadap Islam. Karena lamanya bergaul dengan nabi dan menyaksikan sendiri proses turunnya syariat, menyikapi setiap persoalan yang muncul dengan merujuk kepada al-Qur’an dan sunnah nabi. Mereka menggali kandungan moral al-Qur’an, adakalanya mereka juga menemukan nash al-Qur’an dan petunjuk nabi yang secara jelas menunjukan pada persoalan yang tengah dihadapi, tetapi dalam banyak hal mereka harus banyak menggali kaidah-kaidah dasar dan tujuan moral dari berbagai tema-tema dalam al-Qur’an untuk diaplikasikan terhadap persoalan-persoalan baru yang tidak dijumpai ketentuan nashnya. Perkembangan baru yang muncul mengiri perluasan wilayah Islam itu sangat membantu memperkaya tsarwah fiqhiyah. Saat itu mulai terjadi perbedaan pemahaman terhadap nash, sebagaimana perbedaan itu juga muncul karena perbedaan persepsi dan pendapat.
Konsekuensi lain dari perluasan wilayah Islam adalah bercampurnya orang-orang Arab dengan yang lain. Sebagian mereka ada yang memeluk Islam dan sebagian yang lain tetap pada Agamanya. Ini suatu perkembangan yang belum muncul di zaman nabi sehingga dibutuhkan suatu aturan baru yang mengatur hubungan orang Islam dengan non-Muslim.
C. Sumber Pokok Legislasi di Masa Sahabat
Masa legislasi pada masa sahabat ini bersumberkan atas tiga pokok, yaitu Al-Qur'an, Sunnah Rasulullah saw dan Ijtihad para Sahabat. Perlu kita ketahui Ijtihad yang dilakukan ketika itu berbentuk kolektif, disamping individual. Dalam melakukan ijtihad kolektif, para sahabat berkumpul dan memusyawarahkan suatu kasus hukum . hasil musyawarah sahabat disebut ijmak.
Para sahabat ahli fatwa selalu mencari penyelesaian hukum dan solusi dari Kitabullah pada awalnya apabila terjadi suatu insiden atau legislasi yang menuntut hukum. Setelah mereka tidak mendapatkannya dari kitabullah sebagai nash yang pasti hukumnya baru mereka mulai mencari dalam nash pasti dan jelas dari sunnah Rasulullah saw. Pada akhirnya apabila pada Al-Qur`an dan Sunnah Rasullah mereka tidak mendapatkan nash ketentuan hukum yang pasti, maka sahabat-sahabat itu mulai berijtihad untuk mendapatkan tentang suatu perkara dengan mengambil kesimpulan hukum yang memperbandingkannya dengan hukum yang telah ada nash pasti baik dari Kitabullah maupun Hadist Nabi atau mengambil hukum itu dengan ketentuan yang dituntut oleh sari legislasi dan kemashlahatan umum.
D. Cara legislasi di Masa Sahabat
Pada awal periode ini, masa pemerintahan Abu Bakar dan awal pemerintahan Umar bin Khattab, cara mereka untuk melakukan legislasi kasus yang tidak bernash, ialah membuat suatu dewan yang terdiri dari semua tokoh-tokoh sahabat di masa itu, untuk memusyawarohkan kasus yang tidak bernash dan memusyawarahkan hukum-hukum yang timbul dari mereka sendiri yang disesuaikan dengan kemshlahatan rakyat masing-masing tokoh di daerahnya.
Begitu juga langkah yang dilakukan oleh Umar bin Khattab. Tapi apabila beliau dalam usaha menyelesaikannya sendiri tidak berhasil karena Dia tidak mendapatkan nashnya dalam Kitabullah dan sunnah Rasulullah saw, maka dia mencari cara penyelesaiannya dari hasil penyelesaian Abu Bakar. Apabila penyelesaiannya itu dapat dari hasil penyelesaian Abu Bakar maka dia juga menyelesaikan perkara itu dengan penyelesaian Abu Bakar pula, kalau tidak mendapatkan dari semuanya itu, baru dia mengundang tokoh-tokoh umat Islam untuk menyelesaikan perkara tersebut. Setelah mereka mengadakan kesepakatan hukum, maka Umar bin Khatab baru menyelesaikannya dengan hasil kesepakatan yang telah ditetapkan oleh dewan ini.
Sebab system dewan permusyawaratan inilah, maka jarang terjadi perselisihan pendapat tentang suatu hukum dimasa ini, karena masing-masing anggota dewan legislatif yang bersidang dimasa itu sama-sama mengungkapkan pendapatnya kepada anggota lain beserta sumber-sumber pendapat yang diungkapkannya itu dengan arah tujuan “kebenaran dan hak”. Dengan demikian mayoritas hukum dimasa itu bisa disebut: “itulah hukum hasil dari ijma’ sahabat yang timbul dimasa periode ini”.
E. Diantara keputusan Hukum pada masa sahabat
1. Memerangi orang yang tidak mau membayar zakat.
2. Pembagian harta rampasan perang.
3. Satu orang dibunuh oleh beberapa orang.
4. Hukuman diyat karena pengampunan salah seorang wali.
5. Pernikahan seorang wanita yang sedang dalam masa iddah.
6. Bagian zakat orang muallaf.
7. Mushaf Usmani
F. Sebab-sebab timbul perbedaan pendapat
Keputusan fiqih seorang sahabat dengan sahabat yang lainnya terkadang memiliki perbedaan dalam suatu hukum, misalnya:
1. perbedaan persepsi dalam menjawab mengapa sebuah keputusan hukum diambil. Dalam ushul fiqih biasanya disebut perbedaan menetapkan illat hukum. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Rasulullah mempercepat langkah saat Thowaf dengan lari-lari kecil. Kemudian sebagian sahabat mengatakan bahwa dengan melakukan lari-lari kecil ketika thowaf itu sunnah, lalu Ibnu Abbas berkata bahwa lari-lari kecill tidak sunnah karena langkah itu dipercepat nabi ada orang musyrik menghina orang Islam yang kelihatan loyo ketika thowaf.
2. Perbedaan pendapat dapat juga terjadi karena sebuah hadits diketahui atau dipakai oleh orang tertentu yang tidak diketahui atau dipakai oleh orang lain. Contohnya adalah perbedaan tentang najis mugholadzah anjing, doa qunut dalam shalat Subuh. Ijtihad yang belakang diketahui bahwa hasilnya sama dengan hadits nabi melahirkan kesenangan tersendiri bagi mujtahidnya.
3. Hadits yang ada dipandang tidak kuat, sehingga harus ditinggalkan. Seperti dalam sebuah riwayat menyebutkan bahwa Fatimah binti Qais bersaksi dihadapan Umar bin Khattab bahwa ia ditalak tiga oleh semuanya, dan Rasulullah tidak menentukan baginya nafkah dan tempat tinggal. Lalu Umar berkata saya tidak akan meninggalkan kitab Allah hanya karena ucapan seorang wanita yang belum benar.
4. Keragaman pengetahuan terhadap nash juga melahirkan pendapat yang berbeda. Contohnya nabi pernah member keringanan pada sahabat untuk nikah mut’ah pada tahun Khaibar dan Authas, kemudian melarangnya. Berdasarkan keputusan nabi tadi sebagian umat Islam mengatakan bahwa nikah mut’ah menjadi nash yang dilarang dan tidah diperbolehkan lagi sebagian yang lain mengatakan diperbolehkan dengan pertimbangan tertentu.
5. Sunnah Rasulullah SAW belum dikodifikasikan dan kata-katanya belum terhimpun dalam satu koleksi, padahal sedang disebar luaskan pada semua umat Islam untuk menjadi pedoman.
6. Situasi dan kondisi itu masing-masing sahabat berlainan, maka legislasi yang mereka tetapkan berlainan, sesui dengan lingkuang daerahnya, kemaslahatan dan keperluan dengan kesesuaian daerahnya. Masing-masing sahabat membawa permasalahan yang berbeda, dengan memperhatikan kemaslahatan umum, sehingga akan berlainan motif legislasi hukumnya.
BAB III
K E S I M P U L A N
1. Sumber- sumber pokok legislasi pada masa sahabat adalah Al-Qur'an, Sunnah Rasulullah saw dan Ijtihad para Sahabat.
2. Para sahabat ahli fatwa selalu mencari penyelesaian hukum dan solusi dari Kitabullah pada awalnya apabila terjadi suatu insiden atau legislasi yang menuntut hukum. Setelah mereka tidak mendapatkannya dari kitabullah sebagai nash yang pasti hukumnya baru mereka mulai mencari dalam nash pasti dan jelas dari sunnah Rasulullah saw. Pada akhirnya apabila pada Al-Qur`an dan Sunnah Rasullah mereka tidak mendapatkan nash ketentuan hukum yang pasti, maka sahabat-sahabat itu mulai berijtihad.
3. Para sahabat membuat suatu dewan yang terdiri dari semua tokoh-tokoh sahabat di masa itu, untuk memusyawarohkan kasus yang tidak bernash dan memusyawarahkan hukum-hukum yang timbul dari mereka sendiri yang disesuaikan dengan kemshlahatan rakyat masing-masing tokoh di daerahnya.
DAFTAR PUSTAKA
Khallaf , Prof. Dr., Abdul Wahab, sejarah legislasi Islam, penerj. Djamaluddin, al-Ikhlas, Surabaya, cet. I, 1994.
Zuhri, Dr., Muh., Hukum Islam Lintasan Sejarah, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, cet. II, 1997.
Sirry, Mun’im, Sejarah Fiqh Islam sebuah pengantar, Risalah Gusti, Surabaya, cet. II, 1996
Supriyadi, Dedi, M.Ag., Sejarah Hukum Islam (dari kawasan Jazirah Arab sampai Indonesia, Pustaka Setia, Bandung, cet. I, 2007.
Hanafi MA, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, Bulan Bintang, Jakarta, cet. II, 1977.
0 komentar:
Posting Komentar