Bab I
Pendahuluan
Pembahasan puasa sangat penting untuk dimunculkan. Mengingat banyaknya problematika / permasalahan yang terjadi di masyarakat. Pertama dikalangan sosial yang mempunyai cita-cita modern. Karena itu kita sebagai generasi muda islam dituntut untuk memahami suatu hukum dengan secara hati-hati, karena dewasa ini kita telah tahu non muslim telah menggunakan hal tersebut menjadi senjata ampuh untuk menyesatkan syariat Islam dan mengotori kesucian Al-Qur’an. Meraka melancarkan tuduhan, pelecehan dan sebagainya terhadap syariat islam, sehingga kaum muslim terkecoh terhadap celaan-celaan terhadap syariat islam mengakibatkan banyak yang mengingkari adanya puasa dan membantah terhadap suatu kebenaran.
Dikalangan para santri atau mahasiswa islam mungkin sudah tidak perlu dipertanyakan lagi masalah kewajiban puasa (untuk puasa wajib). Dan mungkin yang masih jarang diketahui yaitu perdebatan para mujtahid mengenai hal-hal yang ada dalam puasa. Seperti syarat, rukun dan perkara yang membatalkannya. Oleh karena itu, dalam makalah ini akan dijelaskan secara detail tentang beberapa syarat, rukun, dan perkara-perkara yang membatalkan dan yang tidak membatalkan, menurut pendapat empat madzhab, yaitu Hanafiyyah, Malikiyyah, Syafi’iyyah, dan Hanabilah.
Bab II
Pembahasan
A. Pengertian Puasa
Puasa secara bahasa adalah الصوم yang berarti الإمساك والكف عن الشيء (al-imsak wa al-kuffu ‘an as-syai’) menahan dan berhenti dari sesuatu. Puasa dalam arti istilah atau syara’ seperti yang dijelaskan oleh Wahbah al-Zuhayli berarti :
الإمساك نهاراً عن المفطِّرات بنية من أهله من طلوع الفجر إلى غروب الشمس
Mencegah pada waktu siang hari dari perkara yang membatalkan mulai dari terbit fajar sampai terbenamnya matahari.
Sesungguhnya puasa itu mencegah dari dua syahwat yaitu syahwat perut dan farji (kelamin). Dan dari setiap sesuatu yang masuk pada lambung, seperti obat, dll. Pada waktu yang tertentu (mulai dari terbit fajar shadiq sampai terbenamnya matahari). Pada seseorang yang tertentu (muslim, berakal, tidak dalam keadaan haidl dan nifas). Dan dengan niat (menyengaja dalam hati untuk suatu pekerjaan dengan yakin tanpa ragu-ragu, guna membedakan antara ibadah dengan kebiasaan).
Dalam kitab Kifayat al-Akhyar kata الإمساك itu dalam syara’ berarti “Mencegah dari sesuatu yang khusus, seseorang yang tertentu, dan pada waktu yang tertentu, dengan beberapa syarat”. Dalam arti khusus untuk sesuatu yang membatalkan, tertentu bagi orang yang puasa, dan tertentu pada waktu mulai dari terbit fajar sampai tenggelamnya matahari. Seperti yang telah di jelaskan pada rukun-rukun puasa.
B. Syarat-syarat puasa
Al-Zuhayli menggolongkan syarat puasa atas dua bagian, yaitu syarat Wajib dan syarat Sah puasa. Yaitu :
a. Syarat wajib Puasa
Syarat wajib puasa itu ada lima, yaitu :
1) Islam
Menurut Hanafiyyah : Islam adalah syarat wajib, karena orang kafir tidak dikenai khithab beberapa hukum cabang (إن الكفار غير مخاطبين بفروع الشريعة). Yaitu beberapa hal yang terkait dengan ibadah. Maka orang kafir tidak wajib berpuasa dan tidak wajib mengqadha'.
Namun menurut Jumhur : Islam adalah syarat sah, karena orang kafir dikenai khithab beberapa hukum cabang (الكفار مخاطبون بفروع الشريعة) dengan maksud bahwa mereka wajib masuk islam. Maka puasanya orang kafir dianggap tidak sah, dan juga tidak wajib mengqhada’nya, meskipun itu orang murtad.
2) & 3. Aqil dan Baligh (berakal sehat dan melewati masa pubertas)
Tidak wajib puasa bagi anak kecil (belum baligh), orang gila (tidak berakal) dan orang mabuk, karena mereka tidak termasuk orang mukallaf (orang yang sudah masuk dalam catatan hukum), sebagaimana dalam hadist:
قوله صلّى الله عليه وسلم : «رفع القلم عن ثلاث: عن الصبي حتى يبلغ، وعن المجنون حتى يفيق، وعن النائم حتى يستيقظ»
Akantetapi, Anak laki-laki atau perempuan yang Mumayyiz (yang pintar) itu sah puasanya. Menurut Syafi’iyyah, Hanafiyyah, Hanabilah, wajib bagi orang tua untuk memerintah anaknya (jika kuat melaksanakan) yang sudah berumur 7 tahun, dan memukulnya jika sudah berumur 10 tahun. Ini disamakan dengan masalah shalat. Kecuali jika puasa tersebut memberatkannya. Sebab, terkadang seseorang itu kuat untuk shalat, tapi tidak kuat untuk puasa.
Menurut Malikiyyah, tidak wajib bagi orang tua untuk memerintah pada anaknya untuk berpuasa.
4. & 5, Mampu dan Menetap
Fuqaha’ sepakat bahwa puasa tidak diwajibkan atas orang sakit (tidak mampu) dan sedang bepergian (tidak menetap), tetapi mereka wajib mengqadha'-nya. Dasarnya tertulis dalam al-Qur’an. Al-Baqarah : 184
•
(yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka Barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi Makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan [memberi Makan lebih dari seorang miskin untuk satu hari], Maka Itulah yang lebih baik baginya. dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.
Demikian pula tidak wajib untuk berpuasa bagi orang tua (jompo), wanita hamil dan menyusui.
Syarat bagi musafir untuk tidak wajib puasa :
a. Perjalanan yang diperbolehkan untuk qashar shalat.
b. Jumhur selain Hanafiyyah: Perjalanan harus mubah (tidak untuk maksiat). Hanafiyyah tidak mensyaratkan “Mubah” karena sebab adanya dalil kemurahan yaitu “bepergian”.
c. Jumhur selain Hanabilah : Perjalanan harus dimulai pada waktu sebelum fajar. Hanabilah tidak mensyaratkan hal ini, namun jika seseoarang yang berpuasa bepergian setelah fajar, yang lebih utama tidak membatalkan puasanya.
b. Syarat sah Puasa
Hanafiyyah : ada 3 yaitu : niat, suci dari haidl dan nifas, sepi dari perkara yang membatalkan.
Malikiyyah : ada 4 yaitu : niat, suci dari haidl dan nifas, islam, puasa diwaktu-waktu yang diperbolehkan. Kemudian disyaratkan juga, harus berakal.
Syafi’iyyah : ada 4 yaitu : islam, berakal, suci dari haidl dan nifas (dihari itu), puasa diwaktu-waktu yang diperbolehkan. Syafi’iyyah menggolongkan niat pada rukun puasa.
Hanabilah : ada 3 yaitu : islam, niat, suci dari haidl dan nifas.
C. Rukun Puasa
Rukun puasa menurut Hanabilah dan Hanafiyyah hanya ada satu yaitu Imsak (mencegah dari perkara yang membatalkan), Malikiyyah ada dua yaitu niat dan imsak, Syafi’iyyah ada tiga yaitu niat, imsak, dan sha-im (orang yang berpuasa).
1) Niat
Menurut Hanafiyyah, Malikiyyah, dan Hanabilah, niat adalah syarat bukan rukun.
Menurut Syafi’iyyah niat termasuk rukun.
a. Tempat Niat
Tempat niat adalah dalam hati, tidak cukup hanya di ucapkan. Akan tetapi melafalkan niat itu disunnahkan menurut Jumhur selain Malikiyyah. Bahkan menurut Malikiyyah yang lebih utama adalah tidak melafalkan niat.
b. Syarat Niat
Waktu Niat
a. Hanafiyyah : untuk semua puasa, jika memungkinkan untuk niat pada waktu keluarnya fajar (طلوع الفجر), atau niat pada waktu malam, maka ini lebih utama.
Imam Hanafi menggolongkan puasa atas dua macam. Yaitu :
1. Puasa yang niatnya harus pada malam hari : yaitu puasa yang tetap dalam tanggungan, diantaranya : qada’ ramadhan, qada’ puasa sunnah, puasa kafarat, nadzar mutlaq.
2. Puasa yang niatnya tidak harus pada malam hari, boleh niat setelah fajar sampai setengah hari : yakni puasa yang digantungkan pada waktu yang tertentu, diantaranya : puasa ramadhan, nadzar yang tertentu, puasa sunnah,
b. Malikiyyah : niat itu harus pada malam hari atau niat pada waktu terbit fajar. Maka tidak sah puasanya jika niat setelah fajar, meskipun itu puasa sunnah.
c. Syafi’iyyah :
• Puasa wajib (ramadhan, qada’ ramadhan, nadzar) : wajib niat pada malam hari.
• Puasa sunnah : sah niat setelah fajar sampai tergelincirnya matahari. Dengan catatan mulai setelah fajar seseorang tersebut belum makan.
d. Hanabilah : sama dengan Syafi’iyyah, namun untuk puasa sunnah itu niatnya tidak dibatasi sampai siang, setelahnya pun boleh, dengan catatan mulai setelah fajar seseorang tersebut belum makan.
Ta’yin Niat
Jumhur selain Hanafiyyah: wajib untuk ta’yin niat dalam puasa. Karena untuk meng-i’tikadkan bahwasanya puasa besok itu adalah puasa ramadhan / qada’ ramadhan, dll. Maka tidak sah hanya niat puasa secara mutlak.
Hanafiyyah : tidak wajib ta’yin niat, karena masa / waktunya sudah jelas atau nyata bahwasanya ini adalah bulan ramadhan, maka puasa ini pasti untuk waktu tersebut, maka tidak wajib untuk ta’yin. Maka boleh untuk niat secara mutlak.
Kemantapan dalam niat
Jumhur kecuali Hanafiyyah: mengharuskan adanya kemantapan dalam niat. Maka tidak sah bagi orang yang niat pada hari syak “jika besok ternyata ramadhan, maka aku puasa ramadhan, jika tidak maka aku puasa sunnah”. Niat seperti itu tidak sah.
Hanafiyyah : tidak disyaratkan untuk mantap dalam niat puasa yang sudah tertentu waktunya. Seperti seseorang yang niat puasa pada malam 30 sya’ban, ternyata jelas atasnya bahwa hari itu adalah ramadhan, maka sah puasa tersebut baginya. Dengan niat apapun.
Niat Fardu atau Sunnah
Semua ulama’ madzhab sepakat bahwa niat fardlu atau sunnah itu tidak disyaratkan. Begitu juga niat ada’ dan menyandarkan pada allah (لله تعالى) itu juga tidak disyaratkan.
Ta’addud an-niat bi at-ta’addudi al-ayyam
Jumhur selain Malikiyyah : mensyaratkan untuk mengulang niat di tiap-tiap hari, contoh di bulan ramadhan.
Malikiyyah : sudah dianggap cukup niat sekali pada awal ramadhan digunakan untuk sebulan, dan di sunnahkan untuk niat di tiap-tiap hari. Dengan syarat puasanya terus menerus, jika terpisah oleh sesuatu seperti haidl, nifas, musafir (yang membatalkan puasanya), maka dihari berikutnya harus mendatangkan niat yang baru, dan puasa yang sebelumnya itu dianggap sah.
2) Imsak yakni mencegah dari sesuatu yang membatalkan mulai dari terbit fajar sampai terbenamnya matahari.
3) Shaim yaitu orang yang berpuasa.
D. Hal-hal yang dapat Merusak/Membatalkan Puasa
1. Hanafiyyah : menggolongkan sesuatu yang merusak puasa ada dua, yaitu yang hanya mewajibkan qada’, dan mewajibkan qada’ dan kafarat.
a. Wajib qada’ : digolongkan pada tiga kelompok.
Masuknya sesuatu (selain makanan dan obat), baik lewat jalan yang biasa (lewat mulut), atau yang lain (suntik, qubul perempuan, dubur, hidung, tenggorokan, dll), yang nantinya sampai kepada perut (جوف).
Masuknya sesuatu (berupa makanan atau obat) kedalam perut, karena adanya udzur syar’i atau lupa (tidak disengaja). Atau makan, minum, jima’ (syubhat atau lupa) dengan rasa ragu tentang terbitnya fajar padahal itu sudah benar-benar terbit.
Mendatangi sahwat farji (yang tidak sempurna) seperti keluar mani karena bersetubuh dengan mayit, perempuan yang tidur, hewan, anak kecil (yang belum menarik perhatian), atau karena mencium, bersentuhan, onani, dll.
b. Wajib qada’ dan kafarat
Menelan makanan pokok (dan sejenisnya) dengan tanpa adanya udzur syar’i. Seperti makan, minum, dll.
Mendatangi sahwat farji. Seperti jima’ (qubul / dubur) meskipun tidak keluar mani, dengan syarat objeknya berupa manusia yang hidup, yang menarik perhatian.
2. Malikiyyah : menggolongkan sesuatu yang merusak puasa ada dua, yaitu yang hanya mewajibkan qada’, dan mewajibkan qada’ dan kafarat.
a. Wajib qada’
1. Membatalkan puasa dengan sengaja pada puasa fardlu selain ramadhan, seperti qada’ ramadhan, kaffarat, nadzar yang tidak ditentukan waktunya.
2. Membatalkan puasa dengan sengaja pada puasa ramadhan dengan alasan adanya udzur seperti sakit, bepergian, lupa, dipaksa, dll.
3. Membatalkan puasa dengan sengaja pada puasa sunnah.
Jadi, jika seseorang membatalkan segala macam puasa kecuali ramadhan dengan sengaja tanpa alasan maka dia wajib meng-qada’nya tanpa kaffarat. Dan jika alasannya itu karena lupa (untuk semua puasa termasuk ramadhan kecuali puasa sunnah) maka ia juga wajib qada’ tanpa kaffarat. Jika itu puasa sunnah maka tidak wajib qada’ dan kaffarat.
Adapun perkara yang dapat membatal puasa ada 5, yaitu :
Bersetubuh.
Keluar mani atau madzi, baik disebabkan karena ciuman, besentuhan, melihat dan berpikir yang lama.
Menyengaja muntah.
Masuknya benda cair (مائع) ke tenggorokan, baik dari mulut, hidung, atau telinga, dengan sengaja, lupa, salah (khata’). Yang temasuk dalam golongan (مائع) disini meliputi : dupa (البخور), uap dari periuk (بخار القدر) ketika seseorang menghirup keduanya, dll.
Masuknya seseuatu pada perut, baik melaui mulut, hidung, telinga, mata, dll. Baik dengan sengaja, lupa, salah (khata’).
b. Wajib qada’ dan kafarat, ini hanya terlaku pada batalnya puasa ramadhan, bukan yang lain. Yaitu :
1. Bersetubuh dengan sengaja, meskipun dengan hewan, dan tidak keluar seperma.
2. Keluar mani atau madzi dalam keadaan bangun (tidak tidur) yang kebiasaannya disertai dengan ladzat (rasa enak), baik disebabkan karena ciuman, sentuhan kulit, melihat, berpikir. Menurut Qaul yang rajih, tidak wajib membayar kaffarat bagi seseorang yang keluar mani sebab sengaja melihat dan berpikir, yang biasanya dia tidak keluar mani sebab itu.
3. Makan dan minum dengan sengaja.
4. Niat membatalkan puasa (setelah masuk waktu subuh).
5. Menyengaja membatalkan tanpa adanya alasan (‘udzur) seperti sakit, bepergian, haidl.
Syarat diwajibkannya kaffarat ada 7 :
1. Puasa yang dibatalkan adalah puasa ramadhan.
2. Menyengaja membatalkan.
3. Atas dasar kemauan sendiri, tidak karena paksaan atau yang lain.
4. Mengetahui haramnya membatalkan puasa.
5. Menghina kehormatan bulan ramadhan.
6. Sesuatu yang masuk dalam perut itu melalui mulut, tidak yang lain.
7. Sesuatu tersebut masuk sampai perut, tidak hanya ditenggorokan.
3. Syafi’iyyah : menggolongkan sesuatu yang merusak puasa ada dua, yaitu yang hanya mewajibkan qada’, dan mewajibkan qada’ dan kafarat.
a. Wajib qada’ : sesuatu yang membatalkan puasa, yang hanya wajib qada’, dan juga wajib untuk menahan dari sesuatu yang membatalkan. Yaitu :
1. Masuknya sesuatu pada perut, dengan sengaja meskipun sedikit, tidak berupa makanan (batu kecil), yang melewati jalan yang terbuka seperti mulut, hidung, telinga, qubul, dubur, dll. Jika seseorang tersebut lupa, dipaksa, atau tidak tau (جاهل) maka tidak membatalkan puasa, baik sedikit atau banyak.
Jika yang masuk tersebut debu jalanan (meskipun seseorang dengan sengaja membuka mulutnya, sehingga debu tersebut masuk kedalam perut), maka tidak membatalkan.
Juga membatalkan puasa yaitu menghirup asap (misal rokok), meneteskan sesuatu, memasukkan kayu atau yang lain pada bagian dalam telinga.
2. Menelan dahak, kecuali jika dahak tersebut berjalan dengan sendirinya dan seseoarng tidak bisa untuk membuangnya maka tidak membatalkan.
3. Kemasukan air ketika berkumur atau isytinyak (yang di syariat-kan) yang berlebihan (مبالغة). Jika tidak مبالغة maka tidak membatalkan, dan jika tidak disyariatkan (seperti berkumur yang ke-empat kali) meskipun tidak مبالغة maka tetap membatalkan.
4. Sengaja muntah, dan dia mengetahui hukum haram melakukannya. Jika tidak tau, lupa, atau di paksa maka tidak membatalkan.
5. Keluar mani yang disebabkan selain bersetubuh, baik yang haram seperti onani atau tidak seperti onani dengan tangan istri, ataupun yang lain seperti bersentuhan kulit, mencium, dll.
6. Kesalahan dalam memprediksi, seperti seseorang yang masih makan, ternyata sudah keluar fajar, atau seseorang yang buka, ternyata matahari belum surup.
7. Datangnya sifat gila, murtad, haid, nifas.
b. Wajib qada’ dan kafarat disertai dengan takzir dan juga wajib imsak pada jima’. Dengan syarat 14 :
1. Niat di malam hari, jika tidak niat di malamnya, maka puasanya tidak sah, dan dia juga diwajibkan untuk imsak.
2. Sengaja.
3. Atas kehendak sendiri.
4. Mengerti dengan keharamannya.
5. Bersetubuh pada siang hari di bulan ramadhan.
6. Puasanya batal dikarenakan bersetubuh tersebut, bukan karena yang lain. Jika puasanya batal karena yang lain, seperti : makan kemudian baru bersetubuh, maka tidak wajib kaffarat. Juga tidak wajib kaffarat karena makan, minum, onani, keluar mani sebab bersentuhan kulit.
7. Berdosa karena melakukan jima’ tersebut. Maka tidak ada kaffarat bagi musafir, atau orang yang sakit, dengan niat jima’ untuk sebuah kemurahan.
8. Seseorang itu yakin dengan sahnya puasanya.
9. Bukan karena kesalahan, maka tidak ada kaffarat bagi seseorang yang bersetubuh dengan menyangka waktu itu masih malam, ternyata terbukti telah keluar fajar.
10. Kedatangan sifat gila atau mati pada hari itu sebelum terbenamnya matahari.
11. Jima’ tersebut dinisbatkan kepadanya.
12. Jima’ yang sampai memasukkan hasyafah.
13. Jima’ yang sempurna, yakni jima’ di farji, meskipun itu dubur, mayit, dan juga hewan.
14. Yang terkena kaffarat adalah pelaku, bukan pada perempuan yang di jima’. Perempuan hanya wajib qada’.
Catatan : jika seseorang jima’ dua hari dalam puasa, maka dia juga wajib kaffarat dua kali atasnya.
4. Hanabilah : menggolongkan sesuatu yang merusak puasa ada dua, yaitu yang hanya mewajibkan qada’, dan mewajibkan qada’ dan kafarat.
a. Wajib qada’
1. Masuknya sesuatu pada batas lubang yang menuju keperut atau otak dengan sengaja dan tanpa paksaan, yang disertai dengan ingatnya puasa, meskipun tidak tau dengan hukum keharamannya, baik sesuatu itu berupa makanan atau tidak, seperti batu, menelan dahak, obat yang dihisap (pada hidung), menyuntik dubur, menelan asap dengan sengaja.
2. Bercelak, yang dengan celak tersebut terbukti bahwa itu sampai pada tenggorokan, bila tidak terbukti maka tidak batal.
3. Menyengaja muntah.
4. Bekam, orang bekam dan yang dibekam keduanya batal puasanya jika itu terdapat darah yang keluar.
5. (a) Mencium, istimna’ (hasrat mengeluarkan mani / onani), sentuhan kulit yang mengakibatkan keluar mani atau madzi. (b) melihat berulang-ulang sampai keluar mani bukan madzi, kesemuanya itu dilakukan dengan sengaja dan dia ingat dengan puasanya.
6. Murtad
7. Mati
8. Jelasnya sebuah kekeliruan pada waktu makan di siang hari. Barang siapa makan dan ragu dengan terbenamnya matahari maka puasanya batal.
b. Wajib qada’ dan kafarat
Bersetubuh di siang hari bulan ramadhan dengan tanpa adanya udzur, di dalam farji (qubul / dubur), dengan manusia atau hewan, hidup atau mati, keluar mani atau tidak, tidak memandang dia itu sengaja, lupa, kekeliruan, bodoh, kehendak sendiri, paksaan, pakasaan dalm keadaan tidur atau bangun.
E. Hal-hal yang tidak Merusak/Membatalkan Puasa
1. Hanafiyyah
Makan, minum, jima’ karena lupa.
Keluar mani sebab melihat, berpikir, atau bermimpi.
Menetesi atau mencelaki mata, meskipun rasa atau bekasnya terasa ditenggorokan.
Bekam
Memakai siwak, meskipun basah terkena air.
Berkumur dan isytinsyak (menyerap air kedalam hidung). Meskipun tidak dalam wudlu. Dengan catatan tidak terlalu keras, karena di khawatirkan masuk ke perut.
Mandi atau renang.
الاغتياب dan niat berbuka.
Kemasukan asap, debu, atau bekas rasa makanan yang adadi tenggorokan, dengan tanpa kesengajaan.
Melepas gigi graham, asalkan tidak sampai menelan sesuatu (darah/obat).
Masuknya air kedalam saluran kencing laki-laki, kedalam telinga sebab tercebur dalam air, kedalam telinga karena darurat, masuknya kayu kedalam telinga karena ini tidak sampai ke otak, mengeluarkan kotoran telinga. Akan tetapi yang lebih utama meninggalkan / menjaga semuanya.
Menelan dahak, menghirup ingus dan menelannya, namun yang lebih utama membuangnya.
Terpaksa muntah, muntah tersebut kembali dengan sendirinya kedalam perut, atau muntah yang tidak sampai memenuhi mulut.
Memakan sesuatu yang terselip dalam sela-sela gigi, selain jenis-jenis kacang.
Masuk waktu pagi dalam keadaan junub, meskipun seharian.
Menyuntik otot, bawah kulit, atau urat.
Mencium bau-bauan semacam parfume.
2. Malikiyyah
Muntah yang seseorang tersebut tidak bisa membendungnya, dan muntahnya tersebut tidak kembali ketenggorokan. Kemasukan lalat, nyamuk, debu jalanan, dll. Karena sulitnya menjaga dari debu tersebut.
Suntikan pada lubang dzakar.
Mengolesi dengan minyak pada luka yang ada diperut, meskipun obat itu akan sampai pada bagian dalam perut.
Mencabut / melepaskan makanan, minuman, alat kelamin (dari jima’) pada waktu keluarnya fajar.
Keluar mani atau madzi yang disebabkan karena melihat atau berpikir yang مستديم (terus-menerus menetapi satu tingkah).
Menelan ludah atau sisa-sisa makanan yang ada digigi, dengan catatan tidak banyak.
Berkumur karena haus, masuk waktu subuh dalam keadaan junub, memakai siwak (pagi-sore).
Bekam
3. Syafi’iyyah
Masuknya sesuatu pada perut atas dasar lupa, dipaksa, bodoh. Karena sulit untuk memuntahkan/membuangnya seperti dahak, sisa makanan dalam sela-sela gigi. Dan sesuatu yang sulit untuk menghindarinya seperti debu jalanan, mengayak tepung, lalat, nyamuk.
Mengeluarkan darah, bekam. Tetapi ini di makruhkan jika tidak ada hajat.
Bercelak, berciuman (makruh), berpelukan, bertemu kulit, keluar mani sebab berpikir atau melihat dengan sahwat.
Mengunyah-ngunyah sesuatu, mencicipi masakan (keduanya ini di makruhkan jika tidak ada hajat).
Bersiwak, tapi dimakruhkan setelah tergelincirnya matahari.
Bersenang-senang dengan adanya sahwat, dari sebuah pandangan, penciuman, dan pendengaran, tetapi itu semua dimakruhkan.
Menelan air ludah yang suci dan masih murni dari sumbernya.
Keluar mani sebab berpikir, melihat (dengan sahwat), berkumpul dengan perempuan disertai pembatas (dengan sahwat), bermimpi.
4. Hanabilah
Sesuatu yang sulit untuk menjaganya : menelan ludah, debu jalanan.
Berkumur dan isytinsyaq.
Mengunyah sesuatu yang lengket (العلك) / karet.
Mencium, bersentuhan kulit, bersentuhan paha, dengan syarat tidak keluar mani.
Keluar madzi sebab berulang-ulangnya melihat, keluar mani sebab melihat tanpa berulang-ulang, berulang-ulangnya melihat tapi tidak keluar mani, berpikir-pikir sampai keluar mani atau madzi.
Berdarah, mengiris kulit, keluar darah dari hidung.
Masuknya sesuatu sampai keperut dengan tanpa kesengajaan, seperti lupa, dipaksa, atau tidur.
Keraguan dalam keluarnya fajar (ketika makan, minum, atau jima’) dan keraguannya itu berlangsung lama.
Muntah dengan sendirinya.
Bersiwak sepanjang waktu siang, keadaan junub sepanjang waktu siang (disunnahkan untuk mandi diwaktu malam sebelum fajar).
Bercelak, ketika rasanya tidak sampai pada tenggorokan.
Perempuan yang memasukkan jarinya atau jari orang lain kedalam farjinya walaupun jarinya dalam keadaan basah.
Daftar Pustaka
Fatawi Subkatil Islamiyyah, (Maktabah Syamilah, Fiqh al-‘Am, Fatawi subkatil islamiyyah).
Imam Taqiy al-Din Abi Bakar bin Muhammad al-Husain, Kifayat al-Akhyar, Surabaya : Maktabah Hidayah. Juz I.
Sayyid sabiq. Fiqh Sunnah (Maktabah Syamilah).
Wahbah al-Zuhayli, Fiqh al-Islam Wa Adillatuh, Damsik : Dar al-Fikr, 2007. Juz III.
0 komentar:
Posting Komentar