Sebenarnya Al Qur-an dan Al Hadis tidak diragukan lagi dalam hal menjunjung tinggi kedudukan akal. Di dalam al Qur-an terdapat ratusan ayat yang mendorong manusia untuk berfikir dan menggunakan akalnya. Kata ayat sendiri berarti “pertanda”, yaitu pertanda yang harus dipikirkan dan direnungkan manusia, agar dengan pikiran, renungan dan penyelidikan yang dijalankannya sampai kepada keyakinan kuat tentang adanya Tuhan Yang maha Esa. Akal melambangkan kekuatan manusia, maka dalam ajaran yang memberikan kedudukan tinggi pada akal, yaitu konsep manusia dewasa, yang dapat berdiri sendiri, sanggup berpikir dan mengambil keputusan sendiri, serta bertanggung jawab. Oleh karena itu, dalam Islam terdapat pengakuan akan kebebasan manusia dalam kehendak dan perbuatan, pengakuan akan kesanggupan manusia untuk mengubah keadaan dirinya dan keadaan alam sekitarnya. Al Hadis sebagai sumber kedua dari ajaran Islam ternyata juga memberi kedudukan tinggi pada akal. Sudah jelas dikatakan : Agama adalah penggunaan akal, tiada agama bagi orang-orang yang tak berakal. Sejalan dengan tingginya kedudukan akal dalam al Qur-an dan Hadis ini, ilmu, sebagai hasil dari pemikiran akal, juga mempunyai kedudukan yang sama di dalam kedua sumber itu. 38
b. Fungsi Akal Manusia
Akal adalah anugerah Tuhan yang hanya diberikan kepada manusia. Oleh karena itu, akal harus digunakan agar ia tidak kehilangan kemanusiaannya. Akal yang tidak berfungsi mengakibatkan manusia jatuh pada kekuasaan hawa nafsu dan berarti kejatuhan manusia, yang digambarkan dalam Al Qur-an sebagai lebih sesat daripada binatang. Al Qur-an mengatakan :Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya. Maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya?, atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami. Mereka itu tidak lain, hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat
jalannya (dari binatang ternak itu). 40 (QS. Al Furqan : 43-44)
Akal adalah al-hijr atau an-nuha artinya adalah kecerdasan, sedangkan kata kerja ‘aqala artinya adalah habasa yaitu mengikat atau menawan. Karena itu, seorang yang menggunakan akalnya, al-‘aqil, adalah orang yang menawan atau mengikat nafsunya.
Orang yang menggunakan akalnya pada dasarnya adalah orang yang mampu mengikat hawa nafsunya, sehingga hawa nafsunya tidak dapat menguasai dirinya, ia mampu mengendalikan dirinya, dan akan dapat memahami kebenaran, karena seseorang yang dikuasai hawa nafsu akan mengakibatkan terhalang akal sehatnya untuk memahami kebenaran. Dengan demikian, akal dapat juga diartikan sebagai suatu potensi rohaniyah untuk membedakan mana yang haq dan mana yang batil, mana yang benar dan mana yang salah. Akal adalah penahan hawa nafsu untuk mengetahui amanat dan beban kewajibannya, ia adalah pemahaman dan pemikiran yang selalu berubah sesuai dengan masalah yang dihadapi, ia merupakan petunjuk yang membedakan hidayah dan kesesatan, ia adalah kesadaran batin yang berdaya tembus melebihi penglihatan mata.
Oleh karena itu, dalam Al-Qur’an dijelaskan bahwa akal mempunyai fungsi untuk memahami kebenaran yang fisik dan metafisik.
Selain potensi pikir di atas, dalam diri manusia terdapat pula potensi-potensi (kemampuan dasar) yang saling berhubungan, potensipotensi tersebut adalah :
a. Potensi Rohani
Selain akal (pikir) sebagai ciri khas kecanggihan manusia dibanding makhluk lain adalah anugerah Allah yang disebut sebagai potensi rohani. Rohani yang dimaksud di sini adalah aspek manusia selain jasmani dan akal (logika). Rohani itu samar, penuh misteri dan belum jelas batasannya, manusi tidak akan memiliki cukup pengetahuan untuk mengetahui hakekatnya, sebagaimana dinyatakan Allah :Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh, katakanlah : Roh itu termasuk urusan Tuhanku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit. (Q.S. Al-Isra’ : 85)
Para ahli yang mengutip ayat di atas tidak menjelaskan apa itu roh. Namun Abdul Fatah Jalal menyatakan, bahwa roh itu berpadu dengan kalbu. “Tidak ada seorangpun yang dapat mengetahui dengan jelas mengenai esensi ruh ini. Tetapi kiranya dapat dikatakan, bahwa ruh itu terpadu dengan kalbu”. Sehingga kemudian Ahmad Tafsir menyatukan kalbu dengan roh.
“Pernyataan itu saya sebut rohani”. Rohani dalam konteks pendidikan Islam bias disebut “qalb” (kalbu). Kalbu sekalipun tidak jelas hakekat dan rinciannya namun memiliki gejala yang cukup jelas. “Gejalanya diwakilkan dalam istilah rasa, antara lain : sedih, gelisah, rindu, sabar, serakah, putus asa, cinta, benci, iman, bahkan kemampuan melihat yang gaib, termasuk melihat Tuhan, surga dan neraka, dan lain-lain”
Melihat di sini, diartikan merasakan, seperti melihat Tuhan, berarti “merasakan adanya kekuasaan Tuhan”.Kekuatan akal atau pikir betul-betul sangat luas, dapat mengetahui obyek-obyek yang abstrak, tetapi sebatas dapat dipikirkan secara logis. Yang terbatas pada kebenaran empirik dan sensual, sedang kebenaran transendental hanya kekuatan kalbu yang dapat menangkapnya. Kalbu merupakan potensi manusia untuk beriman, karena pengetahuan tentang supranatural dan pengenalan filosofis tentang Tuhan dapat dicapainya. Sedang acuan yang dicanangkan Al Qur’an menyebutkan :Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada Agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan atas fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. (Q.S. Ar-Rum : 30)
Manusia diciptakan Allah dengan naluri beragama, yaitu agama tauhid. Menurut Al-Syaibani, “Manusia mempunyai kecenderungan beriman kepada kekuasaan yang tertinggi dan paling unggul yang menguasai jagat raya ini”. Manusia ingin beragama, keinginan ini meningkat seirama perkembangan pemikirannya. Pada akhirnya, kalbu manusia menembus pada pengetahuan bahwa Tuhan itu ada.
Pernyataan tersebut diperkuat oleh pendapat Dr. Mukti Ali, “Sejak dunia dikenal sejarah, perhatian manusia selalu ditujukan untuk mencapai dasar-dasar spiritual dari hidupnya. Tidak ada satu masyarakatpun di dunia ini yang tidak mempunyai lembaga keagamaan”
b. Fungsi Akal Manusia
Akal adalah anugerah Tuhan yang hanya diberikan kepada manusia. Oleh karena itu, akal harus digunakan agar ia tidak kehilangan kemanusiaannya. Akal yang tidak berfungsi mengakibatkan manusia jatuh pada kekuasaan hawa nafsu dan berarti kejatuhan manusia, yang digambarkan dalam Al Qur-an sebagai lebih sesat daripada binatang. Al Qur-an mengatakan :Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya. Maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya?, atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami. Mereka itu tidak lain, hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat
jalannya (dari binatang ternak itu). 40 (QS. Al Furqan : 43-44)
Akal adalah al-hijr atau an-nuha artinya adalah kecerdasan, sedangkan kata kerja ‘aqala artinya adalah habasa yaitu mengikat atau menawan. Karena itu, seorang yang menggunakan akalnya, al-‘aqil, adalah orang yang menawan atau mengikat nafsunya.
Orang yang menggunakan akalnya pada dasarnya adalah orang yang mampu mengikat hawa nafsunya, sehingga hawa nafsunya tidak dapat menguasai dirinya, ia mampu mengendalikan dirinya, dan akan dapat memahami kebenaran, karena seseorang yang dikuasai hawa nafsu akan mengakibatkan terhalang akal sehatnya untuk memahami kebenaran. Dengan demikian, akal dapat juga diartikan sebagai suatu potensi rohaniyah untuk membedakan mana yang haq dan mana yang batil, mana yang benar dan mana yang salah. Akal adalah penahan hawa nafsu untuk mengetahui amanat dan beban kewajibannya, ia adalah pemahaman dan pemikiran yang selalu berubah sesuai dengan masalah yang dihadapi, ia merupakan petunjuk yang membedakan hidayah dan kesesatan, ia adalah kesadaran batin yang berdaya tembus melebihi penglihatan mata.
Oleh karena itu, dalam Al-Qur’an dijelaskan bahwa akal mempunyai fungsi untuk memahami kebenaran yang fisik dan metafisik.
Selain potensi pikir di atas, dalam diri manusia terdapat pula potensi-potensi (kemampuan dasar) yang saling berhubungan, potensipotensi tersebut adalah :
a. Potensi Rohani
Selain akal (pikir) sebagai ciri khas kecanggihan manusia dibanding makhluk lain adalah anugerah Allah yang disebut sebagai potensi rohani. Rohani yang dimaksud di sini adalah aspek manusia selain jasmani dan akal (logika). Rohani itu samar, penuh misteri dan belum jelas batasannya, manusi tidak akan memiliki cukup pengetahuan untuk mengetahui hakekatnya, sebagaimana dinyatakan Allah :Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh, katakanlah : Roh itu termasuk urusan Tuhanku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit. (Q.S. Al-Isra’ : 85)
Para ahli yang mengutip ayat di atas tidak menjelaskan apa itu roh. Namun Abdul Fatah Jalal menyatakan, bahwa roh itu berpadu dengan kalbu. “Tidak ada seorangpun yang dapat mengetahui dengan jelas mengenai esensi ruh ini. Tetapi kiranya dapat dikatakan, bahwa ruh itu terpadu dengan kalbu”. Sehingga kemudian Ahmad Tafsir menyatukan kalbu dengan roh.
“Pernyataan itu saya sebut rohani”. Rohani dalam konteks pendidikan Islam bias disebut “qalb” (kalbu). Kalbu sekalipun tidak jelas hakekat dan rinciannya namun memiliki gejala yang cukup jelas. “Gejalanya diwakilkan dalam istilah rasa, antara lain : sedih, gelisah, rindu, sabar, serakah, putus asa, cinta, benci, iman, bahkan kemampuan melihat yang gaib, termasuk melihat Tuhan, surga dan neraka, dan lain-lain”
Melihat di sini, diartikan merasakan, seperti melihat Tuhan, berarti “merasakan adanya kekuasaan Tuhan”.Kekuatan akal atau pikir betul-betul sangat luas, dapat mengetahui obyek-obyek yang abstrak, tetapi sebatas dapat dipikirkan secara logis. Yang terbatas pada kebenaran empirik dan sensual, sedang kebenaran transendental hanya kekuatan kalbu yang dapat menangkapnya. Kalbu merupakan potensi manusia untuk beriman, karena pengetahuan tentang supranatural dan pengenalan filosofis tentang Tuhan dapat dicapainya. Sedang acuan yang dicanangkan Al Qur’an menyebutkan :Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada Agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan atas fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. (Q.S. Ar-Rum : 30)
Manusia diciptakan Allah dengan naluri beragama, yaitu agama tauhid. Menurut Al-Syaibani, “Manusia mempunyai kecenderungan beriman kepada kekuasaan yang tertinggi dan paling unggul yang menguasai jagat raya ini”. Manusia ingin beragama, keinginan ini meningkat seirama perkembangan pemikirannya. Pada akhirnya, kalbu manusia menembus pada pengetahuan bahwa Tuhan itu ada.
Pernyataan tersebut diperkuat oleh pendapat Dr. Mukti Ali, “Sejak dunia dikenal sejarah, perhatian manusia selalu ditujukan untuk mencapai dasar-dasar spiritual dari hidupnya. Tidak ada satu masyarakatpun di dunia ini yang tidak mempunyai lembaga keagamaan”
0 komentar:
Posting Komentar