PENDAHULUAN
Al-Qur’an sebagai wahyu yang diberikan kepada Nabi Muhammad Saw. membawa umat manusia dari kegelapan (kebodohan) menuju cahaya terang benderang yakni agama Islam. Al-Qur’an juga menjelaskan yang haq dan mengungkap berbagai kebathilan.
Berbagai kebathilan telah mewarnai dimensi kehidupan manusia. Salah satu bentuk kebathilan yang sering dijumpai adalah sikap khianat. Orang yang khianat terkadang mendapat perlindungan dari orang atau pihak-pihak tertentu. Sikap khianat banyak dijumpai di lingkungan politik dan hukum. Salah satu lapangan politik dan hukum yang kerap diwarnai sikap khianat yaitu Pengadilan.
Banyak pihak yang tak bersalah terkena jeratan hukum di pengadilan. Hal ini terjadi karena orang itu telah dikhianati dan hakim juga termakan sikap dan ucapan orang yang berkhianat. Dengan begitu, banyak orang yang seharusnya mendapatkan perlindungan hukum namun dia yang terkena jeratan hukum.
Islam melarang keras terhadap perlakuan hakim yang membela orang yang berkhianat di muka hukum. Islam pun memberikan rambu-rambu kepada umat Islam terutama hakim untuk bersikap hati-hati di dalam meneliti yang haq agar tidak tertipu oleh pembicaraan orang-orang yang berkhinat dan tidak menjadi penantang kebenaran demi membela orang yang khianat.
Berangkat dari gambaran dan pemaparan sekilas di atas, penyusun mencoba membahas mengenai larang membela orang yang berkhinat di muka hukum. Bagaimana pandangan hukum Islam terhadap sikap khianat di muka hukum?
PEMBAHASAN
Teks Ayat dan Terjemahan
Sesungguhnya kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat,
Dan mohonlah ampun kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang,
Dan janganlah kamu berdebat (untuk membela) orang-orang yang mengkhianati dirinya. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang selalu berkhianat lagi bergelimang dosa,
Mereka bersembunyi dari manusia, tetapi mereka tidak bersembunyi dari Allah, padahal Allah beserta mereka, ketika pada suatu malam mereka menetapkan keputusan rahasia yang Allah tidak ridlai. Dan Allah Maha meliputi (ilmu-Nya) terhadap apa yang mereka kerjakan.
(Q.S. An-Nisā (4): 105-108).
B. Tafsirul Mufradat (Penafisran Kosakata)
1. Wala takun lil khainina khasiman = maksudnya adalah li ajli al-khaninina khasiman (janganlah menjadi penentang demi membela orang-orang yang berkhianat). Ini menunjukkan bahwa tidak boleh menentang seseorang kecuali setelah diketahui bahwa orang itu benar.
2. Was tagfirillah = dan mohon ampunlah kepada Allah. Ini merupakan peerintah untuk Rasulullah Saw. agar beristigfar. Ibn Jarir mengatakan bahwa maknanya adalah, mohon ampunlah kepada Allah atas dosamu karena telah menentang (orang yang berkhianat) untuk membela orang-orang yang khianat.
Keterangan tentang asbabun nuzul ayat ini akan dikemukakan berikutnya, dan dengan itu semakin jelaslah maksudnya.
3. Tujadil = berasal dari kata al-jadal yaitu berkelahi (al-qatl). Ada juga yang mengatakan bahwa kata ini diambil dari kata al-jadalah, yaitu permukaan tanah karena masing-masing pihak yang bersengketa ingin membanting lawannya ke tanah. Hal itu disebut mengkhianati diri sendiri, karena mudharat kemaksiatan mereka kembali kepada diri mereka sendiri.
4. Yakhtanuna anfusahum = mereka mengkhianati dirinya sendiri dan membebaninya dengan apa yang bertentangan dengan fitrah, sehingga mendatangkan bahaya kepada mereka.
5. Ma la yardla minal qaul = keputusan rahasia yang Allah tidak ridlai, maksudnya adalah rencana yang diatur di antara mereka.
C. Asbabun Nuzul (Sebab Turunnya Ayat)
Ibn Jarir meriwayatkan dari Qatadah, surat an-Nisa ayat 105 dan beberapa ayat berikutnya diturunkan berhubungan dengan pencurian yang dilakukan Thu'mah bin Ubairiq, seorang lelaki kaum Anshar dan termasuk anggota Bani Zhafar. Ia mencuri baju besi pamannya yang dititipkan padanya. Lalu ia menyembunyikan barang curian itu di rumah seorang Yahudi, Zaid bin Samin. Thu'mah tidak mengakui perbuatannya itu malah menuduh bahwa yang mencuri barang itu adalah Zaid bin Samin. Hal Ini diajukan oleh kerabat-kerabat Thu'mah kepada nabi Saw. dan mereka meminta agar nabi membela Thu'mah dan menghukum orang-orang Yahudi, kendatipun mereka tahu bahwa yang mencuri barang itu ialah Thu'mah, nabi sendiri hampir-hampir membenarkan tuduhan Thu'mah dan kerabatnya itu terhadap orang Yahudi itu.
D. Munasabah al-Ayat (Korelasi Ayat)
Surat an-Nisa ayat 105-108 di atas memiliki keterkaitan dengan ayat 58 surat al-Anfal yaitu:
Dan jika kamu khawatir akan (terjadinya) pengkhianatan dari suatu golongan, maka kembalikanlah perjanjian itu kepada mereka dengan cara yang jujur. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berkhianat.
Ayat 55-59 termasuk di dalamnya ayat 58 surat al-Anfal, Mujahid mengatakan bahwa ayat-ayat ini diturunkan berkaitan dengan kaum Yahudi Madinah yang dipimpin oleh Ath-Thagut Ka’ab bin Asyraf. Kemudian Allah menjelaskan apa yang seharusnya diperbuat terhadap para pengkhianat sperti mereka, dan bahwa Rasululah aman dari akibat tipu daya mereka.
Ayat 58 surat al-Anfal mengandung makna bahwa jika kamu (Muhammad) khawatir terhadap kaum Yahudi yang mengadakan perjanjian akan mengkhianati dan merusak perjanjian, karena kamu melihat tanda-tanda jelas yang menunujuk kepadanya, maka tutuplah pintu pengkhianatan itu sebelum terjadi, dengan melemparkannya kepada mereka dan memperingatkan mereka bahwa kamu (Muhammad) tidak lagi terikat kepadanya, dan tidak memperhatikan urusan mereka. Ini, hendaknya kamu (Muhammad) lakukan dengan cara yang terang tanpa penipuan dan sembunyi-sembunyi.
Hikmah dalam hal ini, bahwa Islam sama sekali tidak membolehkan pengkhianatan.
E. Syarh al-Ayat dan Qira’ah al-Muntijah (Penjelasan Ayat dan Analisis Penafsiran Ayat)
Al-Maraghi menjelaskan bahwa ayat ini secara ringkas mengandung makna bahwa janganlah bersikap meremehkan di dalam meneliti yang haq karena tertipu oleh pembicaraan orang-orang yang berkhianat dan kepandaiannya di dalam berdebat, agar kamu tidak menjadi penentang kebenaran demi membela mereka yang berkhianat.
Dalam ayat ini terdapat isyarat supaya meningkatkan perhatian terhadap yang haq, meskipun hanya sekadar berpaling kepada perkataan orang yang hendak memperdaya. Juga terdapat isyarat, bahwa keyakinan pribadi serta kecenderungan fitri dan agamis hendaknya tidak mempengaruhi majlis pengadilan; dan bahwa hakim tidak boleh membantu orang yang diduga mempunyai hak, tetapi hendaknya dia memperlakukan antara dua orang yang bersengketa dengan adil dalam segala hal.
Imam As-Syaukani menjelaskan bahwa ayat ini ditujukan kepada Rasulullah Saw. agar beristigfar karena beliau hampir tertipu oleh omongan orang-orang yang berkhianat dalam memutuskan perkara.
Al-Maraghi menjelaskan bahwa mohonlah ampun kepada Allah di dalam memutuskan perkara manusia karena kamu lebih cenderung kepada orang yang kamu lihat lebih pandai dalam mengemukakan hujjahnya, atau cenderung kepada seorang Muslim karena berbaik sangka kepada ke-Islamannya. Ini gambaran orang yang melakukan suatu dosa yang wajib dimohonkan ampunannya, meskipun dia tidak sengaja menyimpang dari keadilan dan menentang lawan sengketa.
Maksud ayat ini adalah janganlah kamu berdebat untuk melindungi orang-orang yang mengkhianati diri mereka sendiri. Khitab ini diarahkan kepada Nabi Saw. sebagai peringatan yang tegas bagi manusia terhadap perkara yang sering dilakukan oleh kebanyakan hakim.Pengkhianatan terhadap orang lain dikatakan sebagai pengkhianatan terhadap diri sendiri, karena bahayanya kembali kepada diri mereka sendiri. Orang-orang yang berkhianat itu adalah pencuri, demikian juga orang yang menolongnya, karena dia berserikat dengannya di dalam perbuatan dosa dan khianat. Orang-orang seperti mereka ini selalu ada di setiap masa dan tempat.
Kesimpulan makna, janganlah kamu membela dan membantu orang-orang yang berkhianat di dalam persengketaan.
Yang dimaksud dengan tidak menyukai adalah benci dan murka. Yaitu, Allah benci kepada orang-orang yang berkhianat, melakukan kesalahan, dan tidak takut kepada siksaan Ilahi yang selayaknya dia pikirkan. Allah SWT. hanya menyukai orang-orang yang berpegang teguh kepada amanat dan ber-istiqamah (konsisten).
Kebiasaan orang-orang yang berkhianat itu ialah menyembunyikan kesalahan dari manusia, baik karena malu maupun takut terhadap akibatnya yang buruk. Mereka menyembunyikannya dan tidak malu kepada Allah dengan jalan meninggalkannya, disebabkan keimanan mereka yang lemah. Sebab, iman merupakan benteng bagi orang yang beriman kuat untuk tidak terus-menerus atau mengulang perbuatan dosa, dan tidak berbuat khianat, kecuali karena kelengahan dan ketidaktahuannya. Oleh karena itu, bagi orang yang mengetahui bahwa Allah senantiasa melihatnya di dalam kegelapan bagaimana pun, hendaknya meninggalkan perbuatan dosa dan khianat karena malu kepada-Nya dan takut kepada siksaan-Nya.
Sesungguhnya Allah Ta’ala menyaksikan mereka ketika pada malam hari mereka mengatur pembicaraan yang tidak diridlahi oleh Allah, guna membebaskan diri mereka dari kesalahan dan menuduhkannya kepada orang lain.
Kemudian Allah mengancam mereka karena kesalahan besar yang telah mereka lakukan. Allah berfirman:
Sesungguhnya Allah Ta’ala selalu mengawasi perbuatan mereka ; tidak ada sesuatu pun di langit dan di bumi yang tidak Dia ketahui. Oleh karena itu, mereka tidak akan dapat selamat dari siksaan-Nya.
Kesimpulan
Setelah penyusun mengadakan pembahasan terhadap masalah-masalah yang ditarik dari pokok bahasan dan analisis terhadap larangan membela orang yang berkhianat di dalam persengketaan yang telah dikumpulkan dalam makalah ini, akhirnya penyusun menarik kesimpulan sebagai berikut:
Hukum Islam melarang keras terhadap sikap khianat di dalam persengketaan di muka hukum dan hakim tidak boleh melindungi orang-orang yang mengkhianati diri mereka sendiri juga membantu orang yang diduga mempunyai hak, tetapi hendaknya dia memperlakukan antara dua orang yang bersengketa dengan adil dalam segala hal.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Maraghi, Ahmad Musthafa, Tafsir al-Maraghi, Penj. Bahrun Abu Bakar dan Hery Noer Aly, Jilid V, Semarang: Toha Putra Semarang, 1986.
Tafsir al-Maraghi, Penj. Bahrun Abu Bakar dan Hery Noer Aly, Jilid X, Semarang: Toha Putra Semarang, 1987.
Muhammad asy-Syaukani, Imam Muhammad bin Ali, Tafsir Fathul Qadir, penj. Amir Hamzah F. dan Asep S., Jakarta: Pustaka Azzam, 2009.
0 komentar:
Posting Komentar