Pertumbuhan Filsafat Hukum Islam diawali oleh adanya doktrin Islam yang memperbolehkan ijtihad. Ijtihad merupakan pendekatan akal dalam mengambil putusan hukum jika tidak ada dalil yang pasti, baik dai al-Qur’an maupun Sunnah.
Hal tersebut terjadi pada peristiwa Muadz Ibn Jabal
كيف تقض إذاعرض لك قضاء؟ قال : أقض بكتاب الله قال: فإن لم تجد فى كتاب الله ؟ قال فبسنة رسول الله ص.م. فإن لم تجد فى سنة رسول الله ولا فى كتاب الله ؟ أجتهد برأى ولا الو قال معاد. فضرب رسول الله ص.م. صدره وقال الحمد لله الذى وفق رسول الله لما يرضى رسول الله.
Al-Qur’a juga mendorong adanya penelaran akal dalam memahami hukum seperti Q.S. A-Baqarah ayat 179:
وَلَكُمْ فِى الْقِصَاصِ حَيَوةٌ يُا ولِى الْاَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ
Umar Bin Khaththab: Memutuskan hukum dengan melihat roh syari’ah.
Muhammad Iqbal (1873-1938) pernah menyatakan “apakah hukum Islam dapat berkembang?” Ia menjawb sendiri, “bisa, asalkan dunia Islam mau memasuki jiwa Umar.”
Kontroversi Ijtihad Umar
Pendapatnya tentang Hasbuna Kitaballah.
Menggugurkan hukum potong tangan bagi pencuri dengan berdasarkan argumen subyektif sosiologis.
Membatasi kebolehan menikahi wanita ahlul kitab karena khawatir menikahi dengan wanita muslimah akan kurang disukai.
Tidak memberikan zakat kepada muallaf.
Faktor-faktor pendorong dalam putusan Umar : Beradaptasi dengan tantangan baru, karena perubahan sosial, ekonomi, dan demografi.
Karakteristik Mazhab Umar:
Mengutamakan ra’yu daripada sunnah
Menekankan aspek maqasid asy-syari’ah
Imam Syafi’i (150-204 H.)
Tokoh yang terkenal dengan qaul qodim (pendapatnya ketika di Irak) dan qaul jadidnya (pendapatnya ketika di Mesir).
Qaul qadim cendrung lebih rasional sedangkan qaul jadid lebih bersifat naqli (hadis.).
Secara metodologis perubahan atas suatu pemikiran merupakan realitas dinamis dalam pemikiran hukum Syafi’i yang sangat terkait dengan keadaan ruang dan waktu.
Penelitian Filsafat Hukum Islam ditekankan pada maqasid as-Syari’ah.
Al-Juwaini, menyakatakan seseorang tidak dikatakan mampu menetapkan hukum Islam, sebelum ia dapat memahami benar tujuan Allah menetapkan perintah dan larangan-larangan-Nya.
Maqasid Syari’ah menurut Juwaini dibagi pada lima bagian; daruriyyat, hajjah al-ammah, makramah, hal-hal yang tidak termasuk daruriyah dan hajjiyah, dan hal yang tidak termasuk pada daruri, hajjah al-ammah dan makramat.
Dikembangkan oleh muridnya yaitu Al-Ghazali.
Maqasid Syari’ah diletakkan dalam konteks illat dalam qiyas maupun dalam konteks istislah. Masalahat ialah memelihara maksud syari’ (pembuat hukum).
Maslahat itu menurut al-Gazali ada lima, yaitu memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Tujuan ini diletakkan dalam dlaruriyyah, hajjiyah dan tahsiniyah.
Izz al-Din Ibnu ‘Abd Salam, dalam kitabnya Qawa’id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, masalahat diletakkan dalam konteks dar’ul mafasid wa jalbul manafi’ (menghindari mafsadat menarik manfaat). Maslahat di dunia tidak bisa dilepaskan dari daruriyah, hajjiyyat, tatimmat atau taklimat. Taklif bermuara pada kemaslahatan manusia baik di dunia maupun di akirat.
Abu Ishaq Al-Syatibi (730-790 H.) dalam kitabnya al-Muwafaqat menyatakan bahwa tujuan Alah SWT. Mensyari’atkan hukum-Nya adalah untuk kemaslahatan manusia. Ia membagi peringkat kemaslahatan kepada dharuriyat, hajjiyat dan tahsiniyyat.
Dharuriyyat (musti) bersifat esensial bagi kehidupan manusia. Kebutuhan esensial itu memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta.
Hajjiyat, (diperlukan) tidak termasuk esensial tapi merupakan kebutuhan yang dapat menghindarkan manusia dari kesulitan dalam kehidupannya baik di dunia maupun diakhirat.
Tahsiniyat (pujian), sifatnya emnunjang peningkatn martabat seseorang baik kehidupan di dunia maupun akhirat.
Najmuddin Al-Thufi (657-716 H.) Pemikirannya tentang maslahah bertolak dari hadis لَاضَرَرَ وَلَاضِرَارَ (tidak boleh memadartkan dan tidak boleh pula memeadaratkan. (HR. Hakim, Daruqutni, Ibnu Majjah dan Ahmad Bin Hambal).
Inti seluruh ajaran Islam yang termuat dalam nash adalah maslahah bagi manusia. Seluruh kemaslahatan itu disyari’atkan. Setiap maslahat tidak pelu mendapatkan dukungan dari nash.
Maslahatmerupakan dalil paling kuat yang secara mandiri dapat dijadikan alasan dalam menentukan hukum syara.
Prinsip Masalahat dalam pemikitan al-Thufi meliputi:
Akal bebas menentukan kemasalahat dan kemadaratan, khususnya dalam bidang muamalah dan adat.
Maslahah merupakan dalil mandiri dalam menentukan hukum.
Maslahah hanya berlaku dalam masalah muamalah
Maslahah merupakan dalil syara’ yang paling kuat. Apabila nash atau ijma bertentangan dengan maslahah didahulukan maslahah engn cara takhsis dan bayan.
0 komentar:
Posting Komentar