Tuhan
Filsafat ketuhanan menyajikan beberapa argumen tentang adanya Tuhan.
Menurut Juhaya S. Praja argumen itu meliputi argumen ontologis, argumen kosmologis, argumen teleologis, argumen moral, dan argumen epistemologis.
Argumen Ontologis ala Plato
Ontologis adalah teori tentang hakaikat wujud, tentang hakikat yang ada. Argumen ontologis tidak banyak berdasarkan kepada alam nyata, atau empirik, namun didasarkan kepada alasan-alasan logis dan rasional. Segala sesuatu yang ada di alam ini mempunyai ide. Ide inilah yang merupakan hakikat sesuatu, ia menjadi dasar wujudnya sesuatu itu. Alam ide berada dalam alam tersendiri yang bersifat kekal. Benda-benda yang kita lihat di alam nyata yang senantiasa berubah-ubah ini bukanlah hakikat, malainkan bayangan dari idea-ideanya yang ada di alam idea. Wujud yang sesungguhnya, yang hakiki dan asli dan kekal lagi tetap ada di alam idea; bukanlah benda-benda yang dapat ditangkap oleh panca indera. Idea-idea yang ada di alam idea itu adalah tujuan dan sebab dari wujud benda-benda. Idea-idea tidak bercerai berai tanpa ada hubungan antara satu sama lain, melainkan semuanya itu bersatu dalam idea tertinggi yang diberi nama Idea Kebaikan, atau The Absolute Good, yaitu Yang Mutlak Baik. Yang Mutlak Baik itu adalah sumber, tujuan, dan sebab dari segala yang ada.
Argmen Kosmologis ala Aristotetles
Benda yang ditangkap panca indra terdiri dari materi dan bentuk. Bentuk ada dalam benda itu sendri, bukan di luar benda. Bantuk adalah hakekat universal yang tidak berubah. Perubahan bentuk hanya ada dalam wilayah panca indra. Perubahan menghendaki dasar. Dasar itu disebut materi. Bentuk materi itulah yang dimaksud dengan benda.
Sebelum mendapat bentuk materi punyai quwwah atau potensi. Kemudian akan menjelma menjadi aktualitas dalam bentuk.
Hubungan antara bentuk dan materi adalah kekal. Gerakan yang timbul dalam perubahan materi dan bentuk juga kekal.
Sebab pertama dari gerak itu mestilah sesuatu yang tidak bergerak. Gerakan terjadi dari perubahan yang menggerakkan terhadap yang digerakkan, yang menggerakkan digerakkan pula oleh sesuatu rentetan penggerak dan digerak. Rentetan ini tidak akan mempunyai kesudahan kalau di dalamnya tidak terdapat penggerak yang tak bergerak, penggerak dalam arti yang tidak berubah untuk mempunyai bentuk lain. Penggerak ini mesti dan wajib mempunyai wujud, dan inilah yang disebut Penggerak Pertama (almuharrik al-awwal). Penggerak Pertama ini tidak mempunyai sifat material. Penggerak pertama ini mestilah sempurna dan tidak berhajat pada yang lain. Pemikirannya hanyalah dirinya sendiri yang merupakan Akal. Dia adalah akal yang suci dan Dialah yang disebut Tuhan.
Argumen Teleologis
Argumen teleologis adalah argumen yang menyatakan bahwa alam diatur menurut tujuan-tujuan tertentu.
Segala sesuatu dipandang sebagai organisme yang tersusun dari bagian-bagian yang mempunyai hubungan erat dan bekerjasama untuk kepentingan organisme tersebut demi tercapainya tujuan tertentu. Dunia dalam pandangan teleologis tersusun dari bagian-bagian yang erat hubungannya satu sama lainnya dan bekerjasama untuk tujuan tertentu. Tujuan ini adalah kebaikan dunia dalam keseluruhan.
Di dunia ini manusialah makhluk yang tertinggi karena ia mempunyai akal. Manusia dapat memikirkan kepentingan dan kebaikan dunia secara keseluruhannya. Oleh karena itu, tujuan dan evolusi di dunia ini adalah terwujudnya manusia yang mempunyai akal yang lebih sempurna dan tinggi untuk memikirkan dan mengusahakan kebaikan dan kesempurnaan dunia ini dalam keseluruhan. Kebaikan dan kesempurnaan ini akan tercapai kalau menusia sebagai makhluk tertinggi dapat membedakan yang baik dari yang buruk; manusia yang bermoral tinggi.
Kalau alam ini beredar dan berevolusi kepada tujuan tertentu, yaitu kebaikan universal di bawah kepemimpinan manusia yang bermoral tinggi, maka mestilah ada suatu zat yang menentukan tujuan itu dan membuat alam ini beredar dan berevolusi ke arah itu. Zat inilah yang disebut Tuhan. Alam tidak dapat menentukan tujuannya sendiri, yang menentukan tujuan itu haruslah zat yang lebih tinggi dari alam itu sendiri, zat itu tiada lain adalah Tuhan.
Argumen Moral ala Imanuel Kant (1724-1804).
Menurut Kant, manusia mempunyai moral yang tertanam di dalam jiwa dan hati sanubarinya. Orang merasa bahwa ia mempunyai kewajiban untuk menjauhi perbuatan-perbuatan buruk dan menjalankan perbuatan-perbuatan baik.
Perbuatan baik itu menjadi baik tidak dikarenakan akibat-akibat baik yang ditimbulkannya; tidak pula karena agama mengajarkannya bahwa perbuatan itu baik. Sesuatu perbuatan itu baik karena manusia tahu dari perasaan yang tertanam di dalam jiwanya bahwa ia diperintahkan untuk berbuat baik. Untuk menjauhi perbuatan-perbuatan buruk tidaklah diperoleh dari pengalaman dunia ini, melainkan dibawanya sejak ia dilahirkan. Manusia lahir dengan perasaan itu yang kemudian disebut moral.
Kant menyatakan bahwa manusia mempunyai kemerdekaan, karena tiap hari manusia selalu mengadakan pilihan antara tunduk pada perintah hati sanubari dan patuh kepada kemauan. Jika manusia merasa bahwa dalam dirinya ada perintah mutlak (imperative category) untuk mengerjakan yang baik dan menjauhi yang buruk. Jika perintah itu bukan diperoleh dari pengalamannya, tetapi telah terdapat di dalam diri manusia, maka perintah itu mesti dari suatu zat yang tahu akan baik dan buruk, zat inilah yang disebut Tuhan.
Perbuatan baik dan buruk mengandung arti nilai-nilai. Nilai-nilai itu bukan berasal dari manusia melainkan telah terdapat di dalam dirinya. Nilai-nilai itu berasal dari luar diri manusia, yaitu dari suatu zat yang lebih tinggi dari manusia. Inilah yang disebut Tuhan. Keberadaan nilai-nilai itu mengandung arti adanya pencipta nilai-nilai itu. Penciptanya adalah Tuhan.
Argumen Epistemologis
Disamping empat argumen di atas, masih ada argumen yang sangat khas dari seorang filosof muslim, Ibn Taimiyyah (1263-1328). Argumen itu disebut argumen epistemologis. Argumen ini bertujuan untuk membuktikan adanya Tuhan secara meyakinkan melalui teori pengetahuan atau ilmu. Menurut Ibn Taimiyah, ilmu itu mempunyai dua sifat; ilmu yang bersifat obyektif dan yang bersifat subyektif
Dikatakan obyektif, suatu ilmu yang keberadaan obyeknya tidak bergantung kepada dan tidak adanya pengetahuan si subyek tentang obyek. artinya subyek ilmu tetap ada baik diketahui maupun tidak oleh subyek. Demikian pula keberadaan obyek pengetahuan atau ilmu agama, seperti tentang adanya Allah dan Rasul-Nya tidaklah bergantung kepada ada dan tidak adanya pengetahuan manusia mengenai obyek. Allah dan Rasul-Nya tetap ada walaupun manusia tidak mengetahui keberadaannya. Adanya pengetahuan si subyek tentang Allah dan Rasulnya itu tidak menyebabkan adanya Allah dan Rasull-Nya. Ia telah ada dengan sendiri-Nya. Sebaliknya ketidakadaan pengetahuan si subyek tentang Allah dan RasulNya menjadi tidak ada. Allah tetap ada secara obyektif, baik bagi orang yang mengetahui keberadaan-Nya dan mengimani-Nya maupun bagi yang tidak.
Pengetahuan atau ilmu yang bersifat subyektif ialah pengetahuan atau ilmu yang keberadaan obyeknya bergantung kepada adanya pengetahuan manusia sebagai subyek tentang obyek ilmu itu. Dengan kata lain sesuatu itu dinyatakan ada kalau si subyek atau menusia mengetahui keberadaannya.
Teori ilmu ini jika diterapkan kepada Allah sebagai ‘obyek’ yang ada dengan sendiri-Nya, maka selain diri-Nya merupakan makhluk-makhluk-Nya yang berujud karena adanya iradah, yakni karena kehendak-Nya. Sebagai halnya perbuatan manusia, seperti duduk, berdiri, makan, pergi dan sebagainya, dapat berujud apabila ada kehendak manusia untuk mewujudkannya, karena manusia memang mempunyai kehendak.
Realitas Manusia.
Manusia adalah makhluk yang memiliki kemampuan untuk mengenal dirinya.
Manusia makhluk sejarah yang dapat menceritakan kisahnya. Historisitas merupakan struktur konstruktif eksistensi manusia.
Sejarah dikendalikan oleh al-harakah. Setiap orang memiliki al-harakah sebagai sifat dasar manusia yang berfungsi untuk mengambil segala yang bermanfaat dan menolak segala yang merusak. Apabila keberadaan al-harakah dalam diri manusia ini berfungsi sebagaimana mestinya, maka tujuan hukum Islam pun pasti tercapai, yakni meraih kemaslahatan manusia di dunia dan di akhirat., meraih kebahagiaan yang kekal dengan jalan mengambil maslahat dan menghindari kerusakan. Sebab alharakah merupakan fitrah.
Fitrah itu meliputi tiga hal yaitu potensi akal (quwwatul ‘aql), potensi dipensif (quwwatul gadlab) dan potensi opensif ( quwwatul syahwat).
Dalam memfungsikan fitrah itu manusia memerlukan bantuan dari luar dirinya yang disebut al-fitrah al-munazzalah, yaitu berupa wahyu. Wahyu menjelaskan perincian perbuatan yang baik dan harus dilakukan manusia serta perbuatan buruk yang harus ditinggalkan. Dengan fitrah yang difungsikan secara maksimal manusia dijamin kebahagiaan hidupnya di dunia dan diakhirat. Dengan panduan wahyu, fitrah manusia lebih cepat berfungsi sehingga daya akal segera mengetahui Allah, mengimani-Nya, mengesakan-Nya, mentaati perintah-perintah-Nya serta menjauhi segala larangan-larangan-Nya, membenarkan Allah dan Rasul-Nya
0 komentar:
Posting Komentar