Asal muasal keyakinan bahwa laki – laki lebih unggul dari perempuan menurut rifat hasanberasal dari tiga asumsi theologies, a).bahwa ciptaan tuhan yang utama adalah laki – laki, bukan perempuan, karena diyakini perempuan diciptakan dari tulang rusuk laki – laki. Sebab itu perempuan adalah makhluk yang derivative dan secara ontology bersifat skunder, b).
bahwa perempuan (siti hawa) penyebab penyebab utama kejatuhan manusia atau terusirnya manusia dari surga, karenanya segala amala hawwa dibenci, dicurigai dan di kutuk, c). bahwa perempuan diciptakan tidak hanya dari laki – laki, tetapi juga untuk laki – laki, hal inilah yang menyebabkan keberadaan mereka hanya bersifat instrumental, tidak punya kepentigan yang mendasar.
Siapapun yang menyatakan didunia ini persamaan laki – laki dan perempuan bisa diterima oleh banyak agama dan juga oleh masyarakat skuler, dan ditemukan bukti – bukti yang menegaskan persamaan laki – laki dan perempuan dalam al – qur’an dan tradisi islam, mungkin akan segera di tentang dengan kekerasan dengan berbgai dalil yang digambarkan sebagai bukti – bukti yang tak terbantahkan, yang diambil dari al – Qur’an, hadis dan sunnah, untuk membuktikan bahwa laki – laki diatas perempuan.
Dalil yang digunakan untuk menentang para pendukung kesetaraan laki – laki dan perempuan yang popular diantaranya menurut al – Qur’an qawwamun (umunya diterkemahkan sebagai “ penguasa atau pengatur”) perempuan. Laki – laki memperoleh warisan sebanyak dua kali lipat dari permpuan, kesaksian satu orang laki – laki sama dengan kesaksian dua orang perempuan, menurut nabi perempun tidak sempurna dalam salat (karena menstruasi), kurang dalam kecerdasan (dalam kesaksiannya dihitung kurang dari kesaksian laki – laki).
PEMBAHASAN
BUDAYA – BUDAYA PATRIARKI DIDALAM AL – QUR’AN
A. Pengertian Patriarki
Pengertian budaya patriakhi Patriarki berasal dari kata patri-arkat, berarti struktur yang me-nempatkan peran laki-laki seba-gai penguasa tunggal, sentral dari segala-galanya. Jadi budaya Patriarki adalah budaya yang dibangun di atas dasar struktur dominasi dan sub ordinasi yang mengharuskan suatu hirarki di mana laki-laki dan pandangan laki-laki menjadi suatu norma. Pandangan dengan pende-katan Socio Antropolgie, juga meramaikan kajian tentang po-sisi laki-laki dan perempuan.
Pa-da masyarakat primitif, savage so-ciety, corak matriarki lebih do-minan ketimbang patriarki, se-mentara pada perkembangan be-rikutnya banyak didominasi oleh corak Patriarki. Tapi sesung-guhnya tidak ada satu masapun dimana matriarki maupaun patriarki secara total menguasai peradaban kemanusiaan.
Pada masa primitif, perempuan sangat menjadi penentu eksistensi dan sustainibilitas sebuah suku, et-nis, atau clan. Tapipada masa se-lanjutnya ketika kehidupan ma-nusia berkembang, pola kehi-dupanlebih modern dan inklusif terbuka, kebutuhan mereka be-rubah.
B. Ayat patriarki dalam al – qur’an
a. penciptaan manusia
Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya[263] Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain[264], dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu . (Q.S. an – Nisa’ : 01)
Ayat yang senada tentang penciptaan manusia dari satu sumber atau satu diri (nafsin wahidatain) adalah dalam surat al – A’raf : 189 dan az – Zumar : 6, umat islam, hampir tanpa terkecuali, percaya bahwa satu sumber asli atau yang dituju dalam ayat - ayat ini tertuju pada seorang laki – laki yang bernama Adam, keyakinan ini telah mengantarkan banyak penerjemah kearah penerjemahan yang keliru terhadap ayat – ayat al- Qur’an yang sederhana. Mislanya surat an-Nisa’ : jika diterjemahkan dengan benar akan menjadi sebagai berikut : wahai an – Nas berhati – hatilah dalam menjaga kewajibanmu kepada tuhan yang telah menciptakan kalian (jama’) dari diri yang satu ( nafsin wahidatain) dan menyebarkan darinya (bentuk feminine) pasangannya (zaujaha), dan dari dua diri ini kami mengemabangbiakan laki – laki dan perempuan yang banyak. Namun kebanyakan penerjemah menerjemahkan kata ganti feminin ha pada minha dan zaujaha sebagai dia (laki – laki)sebagai pengganti dia “perempuan”.
Bagaimana mungkin bisa terjadi kesalahan seperti itu?
Mungkinkah ada alasan yang memberikan pra – konsepsi dan orientasi psikologis, sehingga para penafsir al – Qur’an ini (yang kebetulan laki – laki) sama sekali tidak bisa membayangkan bahwa mungkin ciptaan pertama bukan laki – laki, atau apakah mereka takut bahwa suatu penerjemahan yang benar terhadap ha boleh jadi menyatakan ide bahwa perempuan, bukan laki –laki, adalah ciptaan yang lebih dahulu (dan oleh karena itu lebih bersifat superior, andaikata “kedahuluan” mengandung makna supperioritas), dan laki – laki diciptakan dari perempuan bukan seperti yang biasanya yakni perempuan diciptakan dari laki – laki (siti hawwa di ciptakan dari tulang rusuk Nabi Adam), maka cerita tradisinal itu akan memberikan presepsi bawa hawwa memiliki keunggulan dari pada nabi adam, tentu saja sampai sekarang tidak ada tafsir al – Qur’an yang menyatakan kemungkinan bahwa nifsu wahidain boleh jadi merujuk pada perempuan ketimbang laki – laki.
b. Kepemimpinan laki – laki
kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri[289] ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka)[290]. wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya[291], Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya[292]. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar. (Q.S. an – Nisa’ : 34)
Para ahli tafsir berbeda pendapat mengenai mplementasi ayat diatas, menurut sarjana muslim modern yang banyak menggeluti kajian mengenai gender, meskipuna yat – ayat tersebut menggunakan lafadz – lafadz umum (umum al – lafadz) tetap semuanya turun untuk menagnggapi sebab khusus (khusus al – sabab). Masalahnya apakah yang dijadikan pegangan lafad yang bersifat umum atau sebab yang bersifat khusus? Ulama’ yang berpegang pada kaidah kedua menyangkut pautkan pemberakuan ayat dengan kondisi obyektif yang menyebabkan ayat ini turun, jika unsure kekuatan illatnya tidak sama maka dengan sendirinya tidak pada waktu dan tempatnya ayat itu diterapkan.
Pada ayat diatas para ulama’ tafsir khususny ibnu ktasir dan az – zamkhsyari memberikan berbagai hal yang perlu diperhatikan:
1. asal – usul ayat ini turun dalam kaitan dengan urusan rumah tangga bukan dalam lingkup public, diriwayatkan oleh ibnu jarir dan ibnu mardawih, seorang sahabat anshor datang dengan istrinya bertengkar, lalu istrinya mengadu kepada nabi dia dipukul hingga berbekas di mukanya, maka turunlah ayat ini.
2. ayat ini menggunakan kata Rijal yang menunjuk pada kapasitas tertentu yang dibebankan budaya terhadap laki – laki tertentu, bukannya menggunakan Dzakar atau Mar yang menunjuk kepada setiap orang yang berjenis kelamin laki – laki.
3. kata Qawwam yang diartikan sebagai “pemimpin” yakni laki – laki menjadi pemimpin terhadap perempuan, Ibnu Katsir lebih memilih atau menerjemahkan sebagai pelindung atau pemelihara. Jika dibandingakn dengal ulama’ modern, mislanya oleh Abdullah Yusff Ali yang memahami kata itu dengan emahaman “membiayai atau mengepalai”, MM. Picktall sarjana muslim asal inggris memberikan pengertian yang tidak jauh berbeda dengan pengertian Abdullah Yusuf Ali, yakni bertanggung jawab. Kata qawwamuna berasal dari kata qama, yang berarti tegakderifasi kata ini membentuk tidak kurang dari 135 pengertian, termasuk dianatranya bertanggung jawab pada suatu urusan. Pemaknaan mufradah ayat – ayat al – qur’an kedalam bahasa asingmenjadi salah satu factor terjadinya bias gender dalam kehidupan bermasyarakat.
4. Al – Thabari mengartikan dengan penangung jawab yakni laki – laki bertanggung jawab untuk membimbign istri dijalan Allah dan dijalan dalam usahanya untuk menunaikan kwajibannya terhadap suami. Ibnu Abbas mengartikan dengan pihak yang mempunyai kekuasaan untuk mendidik perempuan, al – Zamakhsary menjelaskan laki – laki berkewajiban melaksanakan tugas kewajiban kepada istrinya , sebagaimana kwajiban penguasa kepada rakyatnya, ali alusi menatakan hal yang sama denga al – Zamakhsyari yaiu tugas laki – laki mempin perempuan sebgaimana pemimpin memimpin rakyat dalam bentuk perintah, larangan dan semacamnya.
5. Muhammad Abduh, seorang ahli tafsir modern yang terkenal dengankaryanya al – manar, tidak memihakkan kepemimpinan laki – laki terhadap perempuan, alasannya karena ayat ini menggunakan kata qawwan, atau yang lebih tegas menunjuk laki – laki memlki kelebihan diatas perempuan, tetapi ayat tersebut mengatakan ,,,,,,, (oleh karena allah telah memberikan elabihan diantara mereka diatas sebgian yang lain), tidak mutlaq dans selamanya laki – laki memiliki kelbihan diatas perempuan.
c. Derajat laki – laki lebih tinggi dari pada perempuan
Untuk membenarkan aturan – aturan formal yang merugikan wanita, dibuat pula berbagai teori tentang wanita yang berdasarkan khayal belaka. Sebagai contoh, ketika ibnu arraby sang sufi termasyhur berbicara tenatang wanita dia mengatakan bahwa wanirta lebih rendah dari pada pria, karena siti hawa dibuat dari rusuk nabi adam, hal ini sesuai dengan surat al – baqarah ayat : 228, yang berbunyi :
"dan Para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. akan tetapi Para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya".
Padahal kalau dilihat keseluruhan ayat ini akan nampak bahwa hal ini tidak menyangkut hak laki – laki secara umumtapi hanya khusus dalam masalah penceraian.
Sedangakan Quray Syihab memaknainya sebagai derajat kepemimpinan tetapi kepemimpinan yang berlandas lapang dada suami untuk meringankan sebagian kwajiban istri, oleh karena itu tulisan guru besar pera mufassir, at – Thabary walaupun ayat ini disusun dalam redaksi berita, tetapi maksudnya adalah perintah bagi para suami untuk melakukan istri mereka dengan sikap terpuji, agar mereka dapat memperoleh derajat itu.
KESIMPULAN
Budaya patriarki merupakan budaya dimana lelaki mempunyai kedudukan lebih tinggi dari wanita. Dalam budaya ini, ada perbedaan yang jelas mengenai tugas dan peranan wanita dan lelaki dalam kehidupan bermasyarakat, khususnya dalam keluarga.
Laki-laki sebagai pemimpin atau kepala keluarga memiliki otoritas yang meliputi kontrol terhadap sumber daya ekonomi, dan suatu pembagian kerja secara seksual dalam keluarga. hal ini menyebabkan wanita memiliki akses yang lebih sedikit di sektor publik dibandingkan lelaki.
Patriarki adalah istilah yang dipakai untuk menggambarkan sistem sosial di mana kaum laki-laki sebagai suatu kelompok mengendalikan kekuasaan atas kaum perempuan.
Islam bukan agama patriarki. Islam tidak mengajarkan bahwa kedudukan wanita berada di bawah seorang pria. Islam mengajarkan bahwa seorang wanita ketika menikah maka tanggung jawab atas dirinya berada di diri laki-laki yang menjadi suaminya. Hadist menunjukan bahwa Islam memberikan penghormatan yang besar terhadap wanita, karena sebaik-baiknya pria Muslim adalah yang berbuat baik kepada istrinya. Islam memberikan kehormatan yang tinggi bagi para muslimah. Tidak ada kewajiban bagi mereka untuk mencari nafkah. Bukannya menggambarkan wanita sebagai orang yang lemah dan tukang membebani laki-laki, tapi ini adalah penghormatan Islam kepada wanita sehubungan dengan tugas mereka yang amat vital di dalam rumah keluarganya.
Islam memberikan kewajiban dan hak yang sama bagi pria maupun wanita, namun pria diberikan satu tingkat lebih tinggi dibanding wanita bukan untuk merendahkan tapi dalam sebuah rumah tangga pria menjadi imam yang memiliki tanggung jawab serta tugas yang tidak mudah dalam menjaga istri dan anak-anaknya kelak.
Daftar Pustaka
Merhissi, Fatimah Dan Hassan, Riffat. “Setara Dihadapan Allah” Yogyakarta : Media Game Offset. 19945
Mernissi, Fatima. “Wanita Didalam Islam”. Bandung : Pustaka. 1994
Munhanif, Ali (ed). “Perempuan Dalam Literature Klasik”. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama. 2003
Shihab, M. Quraish. “Tafsir Al – Misbah Volume I” Jakarta : Lentera Hati. 2006
Siapapun yang menyatakan didunia ini persamaan laki – laki dan perempuan bisa diterima oleh banyak agama dan juga oleh masyarakat skuler, dan ditemukan bukti – bukti yang menegaskan persamaan laki – laki dan perempuan dalam al – qur’an dan tradisi islam, mungkin akan segera di tentang dengan kekerasan dengan berbgai dalil yang digambarkan sebagai bukti – bukti yang tak terbantahkan, yang diambil dari al – Qur’an, hadis dan sunnah, untuk membuktikan bahwa laki – laki diatas perempuan.
Dalil yang digunakan untuk menentang para pendukung kesetaraan laki – laki dan perempuan yang popular diantaranya menurut al – Qur’an qawwamun (umunya diterkemahkan sebagai “ penguasa atau pengatur”) perempuan. Laki – laki memperoleh warisan sebanyak dua kali lipat dari permpuan, kesaksian satu orang laki – laki sama dengan kesaksian dua orang perempuan, menurut nabi perempun tidak sempurna dalam salat (karena menstruasi), kurang dalam kecerdasan (dalam kesaksiannya dihitung kurang dari kesaksian laki – laki).
PEMBAHASAN
BUDAYA – BUDAYA PATRIARKI DIDALAM AL – QUR’AN
A. Pengertian Patriarki
Pengertian budaya patriakhi Patriarki berasal dari kata patri-arkat, berarti struktur yang me-nempatkan peran laki-laki seba-gai penguasa tunggal, sentral dari segala-galanya. Jadi budaya Patriarki adalah budaya yang dibangun di atas dasar struktur dominasi dan sub ordinasi yang mengharuskan suatu hirarki di mana laki-laki dan pandangan laki-laki menjadi suatu norma. Pandangan dengan pende-katan Socio Antropolgie, juga meramaikan kajian tentang po-sisi laki-laki dan perempuan.
Pa-da masyarakat primitif, savage so-ciety, corak matriarki lebih do-minan ketimbang patriarki, se-mentara pada perkembangan be-rikutnya banyak didominasi oleh corak Patriarki. Tapi sesung-guhnya tidak ada satu masapun dimana matriarki maupaun patriarki secara total menguasai peradaban kemanusiaan.
Pada masa primitif, perempuan sangat menjadi penentu eksistensi dan sustainibilitas sebuah suku, et-nis, atau clan. Tapipada masa se-lanjutnya ketika kehidupan ma-nusia berkembang, pola kehi-dupanlebih modern dan inklusif terbuka, kebutuhan mereka be-rubah.
B. Ayat patriarki dalam al – qur’an
a. penciptaan manusia
Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya[263] Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain[264], dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu . (Q.S. an – Nisa’ : 01)
Ayat yang senada tentang penciptaan manusia dari satu sumber atau satu diri (nafsin wahidatain) adalah dalam surat al – A’raf : 189 dan az – Zumar : 6, umat islam, hampir tanpa terkecuali, percaya bahwa satu sumber asli atau yang dituju dalam ayat - ayat ini tertuju pada seorang laki – laki yang bernama Adam, keyakinan ini telah mengantarkan banyak penerjemah kearah penerjemahan yang keliru terhadap ayat – ayat al- Qur’an yang sederhana. Mislanya surat an-Nisa’ : jika diterjemahkan dengan benar akan menjadi sebagai berikut : wahai an – Nas berhati – hatilah dalam menjaga kewajibanmu kepada tuhan yang telah menciptakan kalian (jama’) dari diri yang satu ( nafsin wahidatain) dan menyebarkan darinya (bentuk feminine) pasangannya (zaujaha), dan dari dua diri ini kami mengemabangbiakan laki – laki dan perempuan yang banyak. Namun kebanyakan penerjemah menerjemahkan kata ganti feminin ha pada minha dan zaujaha sebagai dia (laki – laki)sebagai pengganti dia “perempuan”.
Bagaimana mungkin bisa terjadi kesalahan seperti itu?
Mungkinkah ada alasan yang memberikan pra – konsepsi dan orientasi psikologis, sehingga para penafsir al – Qur’an ini (yang kebetulan laki – laki) sama sekali tidak bisa membayangkan bahwa mungkin ciptaan pertama bukan laki – laki, atau apakah mereka takut bahwa suatu penerjemahan yang benar terhadap ha boleh jadi menyatakan ide bahwa perempuan, bukan laki –laki, adalah ciptaan yang lebih dahulu (dan oleh karena itu lebih bersifat superior, andaikata “kedahuluan” mengandung makna supperioritas), dan laki – laki diciptakan dari perempuan bukan seperti yang biasanya yakni perempuan diciptakan dari laki – laki (siti hawwa di ciptakan dari tulang rusuk Nabi Adam), maka cerita tradisinal itu akan memberikan presepsi bawa hawwa memiliki keunggulan dari pada nabi adam, tentu saja sampai sekarang tidak ada tafsir al – Qur’an yang menyatakan kemungkinan bahwa nifsu wahidain boleh jadi merujuk pada perempuan ketimbang laki – laki.
b. Kepemimpinan laki – laki
kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri[289] ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka)[290]. wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya[291], Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya[292]. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar. (Q.S. an – Nisa’ : 34)
Para ahli tafsir berbeda pendapat mengenai mplementasi ayat diatas, menurut sarjana muslim modern yang banyak menggeluti kajian mengenai gender, meskipuna yat – ayat tersebut menggunakan lafadz – lafadz umum (umum al – lafadz) tetap semuanya turun untuk menagnggapi sebab khusus (khusus al – sabab). Masalahnya apakah yang dijadikan pegangan lafad yang bersifat umum atau sebab yang bersifat khusus? Ulama’ yang berpegang pada kaidah kedua menyangkut pautkan pemberakuan ayat dengan kondisi obyektif yang menyebabkan ayat ini turun, jika unsure kekuatan illatnya tidak sama maka dengan sendirinya tidak pada waktu dan tempatnya ayat itu diterapkan.
Pada ayat diatas para ulama’ tafsir khususny ibnu ktasir dan az – zamkhsyari memberikan berbagai hal yang perlu diperhatikan:
1. asal – usul ayat ini turun dalam kaitan dengan urusan rumah tangga bukan dalam lingkup public, diriwayatkan oleh ibnu jarir dan ibnu mardawih, seorang sahabat anshor datang dengan istrinya bertengkar, lalu istrinya mengadu kepada nabi dia dipukul hingga berbekas di mukanya, maka turunlah ayat ini.
2. ayat ini menggunakan kata Rijal yang menunjuk pada kapasitas tertentu yang dibebankan budaya terhadap laki – laki tertentu, bukannya menggunakan Dzakar atau Mar yang menunjuk kepada setiap orang yang berjenis kelamin laki – laki.
3. kata Qawwam yang diartikan sebagai “pemimpin” yakni laki – laki menjadi pemimpin terhadap perempuan, Ibnu Katsir lebih memilih atau menerjemahkan sebagai pelindung atau pemelihara. Jika dibandingakn dengal ulama’ modern, mislanya oleh Abdullah Yusff Ali yang memahami kata itu dengan emahaman “membiayai atau mengepalai”, MM. Picktall sarjana muslim asal inggris memberikan pengertian yang tidak jauh berbeda dengan pengertian Abdullah Yusuf Ali, yakni bertanggung jawab. Kata qawwamuna berasal dari kata qama, yang berarti tegakderifasi kata ini membentuk tidak kurang dari 135 pengertian, termasuk dianatranya bertanggung jawab pada suatu urusan. Pemaknaan mufradah ayat – ayat al – qur’an kedalam bahasa asingmenjadi salah satu factor terjadinya bias gender dalam kehidupan bermasyarakat.
4. Al – Thabari mengartikan dengan penangung jawab yakni laki – laki bertanggung jawab untuk membimbign istri dijalan Allah dan dijalan dalam usahanya untuk menunaikan kwajibannya terhadap suami. Ibnu Abbas mengartikan dengan pihak yang mempunyai kekuasaan untuk mendidik perempuan, al – Zamakhsary menjelaskan laki – laki berkewajiban melaksanakan tugas kewajiban kepada istrinya , sebagaimana kwajiban penguasa kepada rakyatnya, ali alusi menatakan hal yang sama denga al – Zamakhsyari yaiu tugas laki – laki mempin perempuan sebgaimana pemimpin memimpin rakyat dalam bentuk perintah, larangan dan semacamnya.
5. Muhammad Abduh, seorang ahli tafsir modern yang terkenal dengankaryanya al – manar, tidak memihakkan kepemimpinan laki – laki terhadap perempuan, alasannya karena ayat ini menggunakan kata qawwan, atau yang lebih tegas menunjuk laki – laki memlki kelebihan diatas perempuan, tetapi ayat tersebut mengatakan ,,,,,,, (oleh karena allah telah memberikan elabihan diantara mereka diatas sebgian yang lain), tidak mutlaq dans selamanya laki – laki memiliki kelbihan diatas perempuan.
c. Derajat laki – laki lebih tinggi dari pada perempuan
Untuk membenarkan aturan – aturan formal yang merugikan wanita, dibuat pula berbagai teori tentang wanita yang berdasarkan khayal belaka. Sebagai contoh, ketika ibnu arraby sang sufi termasyhur berbicara tenatang wanita dia mengatakan bahwa wanirta lebih rendah dari pada pria, karena siti hawa dibuat dari rusuk nabi adam, hal ini sesuai dengan surat al – baqarah ayat : 228, yang berbunyi :
"dan Para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. akan tetapi Para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya".
Padahal kalau dilihat keseluruhan ayat ini akan nampak bahwa hal ini tidak menyangkut hak laki – laki secara umumtapi hanya khusus dalam masalah penceraian.
Sedangakan Quray Syihab memaknainya sebagai derajat kepemimpinan tetapi kepemimpinan yang berlandas lapang dada suami untuk meringankan sebagian kwajiban istri, oleh karena itu tulisan guru besar pera mufassir, at – Thabary walaupun ayat ini disusun dalam redaksi berita, tetapi maksudnya adalah perintah bagi para suami untuk melakukan istri mereka dengan sikap terpuji, agar mereka dapat memperoleh derajat itu.
KESIMPULAN
Budaya patriarki merupakan budaya dimana lelaki mempunyai kedudukan lebih tinggi dari wanita. Dalam budaya ini, ada perbedaan yang jelas mengenai tugas dan peranan wanita dan lelaki dalam kehidupan bermasyarakat, khususnya dalam keluarga.
Laki-laki sebagai pemimpin atau kepala keluarga memiliki otoritas yang meliputi kontrol terhadap sumber daya ekonomi, dan suatu pembagian kerja secara seksual dalam keluarga. hal ini menyebabkan wanita memiliki akses yang lebih sedikit di sektor publik dibandingkan lelaki.
Patriarki adalah istilah yang dipakai untuk menggambarkan sistem sosial di mana kaum laki-laki sebagai suatu kelompok mengendalikan kekuasaan atas kaum perempuan.
Islam bukan agama patriarki. Islam tidak mengajarkan bahwa kedudukan wanita berada di bawah seorang pria. Islam mengajarkan bahwa seorang wanita ketika menikah maka tanggung jawab atas dirinya berada di diri laki-laki yang menjadi suaminya. Hadist menunjukan bahwa Islam memberikan penghormatan yang besar terhadap wanita, karena sebaik-baiknya pria Muslim adalah yang berbuat baik kepada istrinya. Islam memberikan kehormatan yang tinggi bagi para muslimah. Tidak ada kewajiban bagi mereka untuk mencari nafkah. Bukannya menggambarkan wanita sebagai orang yang lemah dan tukang membebani laki-laki, tapi ini adalah penghormatan Islam kepada wanita sehubungan dengan tugas mereka yang amat vital di dalam rumah keluarganya.
Islam memberikan kewajiban dan hak yang sama bagi pria maupun wanita, namun pria diberikan satu tingkat lebih tinggi dibanding wanita bukan untuk merendahkan tapi dalam sebuah rumah tangga pria menjadi imam yang memiliki tanggung jawab serta tugas yang tidak mudah dalam menjaga istri dan anak-anaknya kelak.
Daftar Pustaka
Merhissi, Fatimah Dan Hassan, Riffat. “Setara Dihadapan Allah” Yogyakarta : Media Game Offset. 19945
Mernissi, Fatima. “Wanita Didalam Islam”. Bandung : Pustaka. 1994
Munhanif, Ali (ed). “Perempuan Dalam Literature Klasik”. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama. 2003
Shihab, M. Quraish. “Tafsir Al – Misbah Volume I” Jakarta : Lentera Hati. 2006
0 komentar:
Posting Komentar