Lahirnya Mazhab
Berbagai mazhab fikih lahir pada masa keemasan fikih, yaitu dari abad ke-2 H hingga pertengahan abad ke-4 H dalam rentang waktu 250 tahun di bawah Khilafah Abbasiyah yang berkuasa sejak tahun 132 H (Al-Hashari, 1991: 209; Khallaf, 1985:46; Mahmashani, 1981: 35). Pada masa ini, tercatat telah lahir paling tidak 13 mazhab fikih (di kalangan Sunni) dengan para imamnya masing-masing, yaitu: Imam Hasan al-Bashri (w. 110 H), Abu Hanifah (80 - 150 H), al-Auza’i (w. 157 H), Sufyan ats-Tsauri (w. 160 H), al-Laits bin Sa’ad (w. 175 H), Malik bin Anas (93-179 H), Sufyan bin Uyainah (w. 198 H), asy-Syafi’i (150-204 H), Ahmad bin Hanbal (164-241 H), Dawud azh-Zhahiri (w. 270 H), Ishaq bin Rahawaih (w. 238 H), Abu Tsaur (w. 240 H), dan Ibn Jarir ath-Thabari (w. 310 H) (Lihat: al-’Alwani, 1987: 88; as-Sayis, 1997: 146).
Bagaimana mazhab-mazhab itu lahir di tengah masyarakat dalam kurun sejarah saat itu? Seperti dijelaskan Nahrawi (1994: 164-168), terdapat berbagai faktor dalam masyarakat yang mendorong aktivitas keilmuan yang pada akhirnya melahirkan berbagai mazhab fikih, antara lain:
Pertama, kestabilan politik dan kesejahteraan ekonomi.
Kedua, kesungguhan para ulama dan fukaha.
Ketiga, perhatian para khalifah terhadap fikih dan fukaha.
Keempat, pembukuan ilmu-ilmu (tadwîn al-‘ulûm). Pada masa ini telah dilakukan pembukuan berbagai cabang ilmu seperti hadis, fikih, dan tafsir yang memudahkan tersedianya rujukan untuk mengembangkan ilmu fikih.
Kelima, adanya berbagai perdebatan dan diskusi (munâzharât) di antara ulama. Ini merupakan faktor terbesar yang merangsang perkembangan ilmu fikih (Nahrawi, 1994: 164-168. Lihat juga: Al-Hudhari Bik, 1981: 174-182; Khallaf, 1985: 46-48; Al-Hashari, 1991: 209-213).
Terbentuknya Mazhab
Bagaimana terbentuknya mazhab-mazhab itu sendiri? Menurut Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani (1994: 386), berbagai mazhab itu terbentuk karena adanya perbedaan (ikhtilâf) dalam masalah ushûl maupun furû‘ sebagai dampak adanya berbagai diskusi (munâzharât) di kalangan ulama. Ushul terkait dengan metode penggalian (tharîqah al-istinbâth), sedangkan furû‘ terkait dengan hukum-hukum syariat yang digali berdasarkan metode istinbâth tersebut.
Lebih jauh An-Nabhani menerangkan bagaimana dapat terjadi perbedaan metode penggalian (tharîqah al-istinbâth) hukum tersebut. Ini disebabkan adanya perbedaan dalam 3 (tiga) hal, yaitu: (1) perbedaan dalam sumber hukum (mashdar al-ahkâm); (2) perbedaan dalam cara memahami nash; (3) perbedaan dalam sebagian kaidah kebahasaan untuk memahami nash (An-Nabhani, 1994: 387-392). Penjelasannya sebagai berikut:
Mengenai perbedaan sumber hukum, hal itu terjadi karena ulama berbeda pendapat dalam 4 (empat) perkara berikut, yaitu:
1. Metode mempercayai as-Sunnah serta kriteria untuk menguatkan satu riwayat atas riwayat lainnya. Para mujtahidin Irak (Abu Hanifah dan para sahabatnya), misalnya, berhujjah dengan sunnah mutawâtirah dan sunnah masyhûrah; sedangkan para mujtahidin Madinah (Malik dan sahabat-sahabatnya) berhujjah dengan sunnah yang diamalkan penduduk Madinah (Khallaf, 1985: 57-58).
2. Fatwa sahabat dan kedudukannya. Abu Hanifah, misalnya, mengambil fatwa sahabat dari sahabat siapa pun tanpa berpegang dengan seorang sahabat, serta tidak memperbolehkan menyimpang dari fatwa sahabat secara keseluruhan. Sebaliknya, Syafi’i memandang fatwa sahabat sebagai ijtihad individual sehingga boleh mengambilnya dan boleh pula berfatwa yang menyelisihi keseluruhannya (Khallaf, 1985: 58-59).
3. Kehujjahan Qiyas. Sebagian mujtahidin seperti ulama Zhahiriyah mengingkari kehujahan Qiyas sebagai sumber hukum, sedangkan mujtahidin lainnya menerima Qiyas sebagai sumber hukum sesudah al-Quran, as-Sunnah, dan Ijma (Khallaf, 1985: 59).
4. Subyek dan hakikat kehujjahan Ijma. Para mujtahidin berbeda pendapat mengenai subyek (pelaku) Ijma dan hakikat kehujjahannya. Sebagian memandang Ijma Sahabat sajalah yang menjadi hujjah. Yang lain berpendapat, Ijma Ahlul Bait-lah yang menjadi hujah. Yang lainnya lagi menyatakan, Ijma Ahlul Madinah saja yang menjadi hujah. Mengenai hakikat kehujjahan Ijma, sebagian menganggap Ijma menjadi hujjah karena merupakan titik temu pendapat (ijtimâ‘ ar-ra‘yi); yang lainnya menganggap hakikat kehujjahan Ijma bukan karena merupakan titik temu pendapat, tetapi karena menyingkapkan adanya dalil dari as-Sunnah (An-Nabhani, 1994: 388-389).
Mengenai perbedaan dalam cara memahami nash, sebagian mujtahidin membatasi makna nash syariat hanya pada yang tersurat dalam nash saja. Mereka disebut Ahl al-Hadîts (fukaha Hijaz). Sebagian mujtahidin lainnya tidak membatasi maknanya pada nash yang tersurat, tetapi memberikan makna tambahan yang dapat dipahami akal (ma‘qûl). Mereka disebut Ahl ar-Ra‘yi (fukaha Irak). Dalam masalah zakat fitrah, misalnya, para fukaha Hijaz berpegang dengan lahiriah nash, yakni mewajibkan satu sha’ makanan secara tertentu dan tidak membolehkan menggantinya dengan harganya. Sebaliknya, fukaha Irak menganggap yang menjadi tujuan adalah memberikan kecukupan kepada kaum fakir (ighnâ’ al-faqîr), sehingga mereka membolehkan berzakat fitrah dengan harganya, yang senilai satu sha‘ (1 sha‘= 2,176 kg takaran gandum) (Khallaf, 1985: 61; Az-Zuhaili, 1996: 909-911).
Mengenai perbedaan dalam sebagian kaidah kebahasaan untuk memahami nash, hal ini terpulang pada perbedaan dalam memahami cara pengungkapan makna dalam bahasa Arab (uslûb al-lughah al-‘arabiyah). Sebagian ulama, misalnya, menganggap bahwa nash itu dapat dipahami menurut manthûq (ungkapan eksplisit)-nya dan juga menurut mafhûm mukhâlafah (pengertian implisit yang berkebalikan dari makna eksplisit)-nya. Sebagian ulama lainnya hanya berpegang pada makna manthûq dari nash dan menolak mengambil mafhûm mukhâlafah dari nash (Khallaf, 1985: 64).
Perkembangan ijtihad.
Ijtihad dalam sejarah dan perkembangannya, telah ada sejak zaman Rasulullah saw. Rasulullah saw. sendiri adalah mujtahid (ahli ijtihad) pertama. Ijtihadnya terbatas dalam masalah-masalah yang belum ditetapkan hukuknya oleh wahyu (Alquran). Apabila hasil ijtihad Rasulullah saw. itu benar, maka turun wahyu membenarkannya, dan jika ijtihad Rasulullah saw. itu salah, turun wahyu untuk meluruskan kesalah itu.contoh ijtihad Rasulullah saw. yang mendapat pembenaran wahyu adalah ijtihadnya tentang pembebasan tawanan perang *Badr. Ketika itu umat Islam memenangkan pertempuran dan banyak tentara musuh yang tertawan. Rasulullah saw. bertanya kepada sahabat-sahabatnya mengenai tawanan perang tersebut. *Umar bin Khatab menjawab: “Tawanan perang itu hendaknya dibunuh.” Sedengkan *Abu Bakar as-Siddiq menyatakan, agar tawanan itu dibebaskan dengan syarat membayar *fidyah (denda). Rasulullah saw. mengambil keputusan agar tawanan itu dibebaskan dengan membayar fidyah. Keputusan ini menupakan ijtihad Rasulullah saw. meskipun dimusyawarahkan terlebih dahulu dengan sahabat-sahabatnya. Lalu turunlah surah al-anfal ayat 67-69 yang membenarkan ijtihad Rasulullah saw. adapun contoh ijtihad Rasulullah saw. yang salah ialah tentang keputusannya pemberian izin orang-orang munafik untuk tidak ikut dalam peperangan. Lalu turun surah at-Taubah ayat 43-45 yang menyatakan kekeliruan ijtihad Rasulullah saw.
Pada masa sahabat, ijtihad mulai banyak dipakai karena dengan wafatnya Rasulullah saw. wahyu dengan sendirinya tidak lagi diturunkan dan hadis juga tidak lagi bertambah. Sementara itu, masalah-masalah yang dihadapi umat Islam terus dan memerlukan ketentuan hukum. Pada masa Abu Bakar jika menghadapi persoalan dan tidak menemukan nashnya di dalam Alquran dan hadis, ia mengumpulkan para sahabat untuk bermusyawarah dan menentukan hukum dari masalah-masalah itu. Demikian pula pada masa Umar bin Khatab, Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib. Mereka menggunakan ijtihad terhadap masalah-masalah yang tidak didapati nasnya di dalam Alquran dan sunah Rasulullah saw. akan tetapi, diantara keempat sahabat besar itu, hanya Umar yang banyak diketahui memakai ijtihad. Walaupun demikian keempat sahabat itu sangat berhati-hati dalam mengeluarkan suatau pendapat yang merupakan hasil ijtihad. Abu Bakar apabila berijtihad dengan pendapatnya, selalu berkata: “Ini adalah pendapatku. Jika benar, itu dari Allah dan jika salah, itu dari saya. Saya memohon ampun atas kesalah itu.” Umar pernah mengatakan: “Ini pendapat Umar. Jika benar, itu dari Allah dan jika salah, itu dari Umar.” Selain dari keempat sahabat itu, adapula beberapa sahabat yang terkenal ijtihadnya, seperti Ibnu Mas’ud, Abu Musa al-Asyari, Mu’az bin Jabal, Ubay bin Ka’b dan *Zaid bin Sabit.
Sesudah masa sahabat, ijtihad semakin berkembang. Hal ini ditandai denga munculnya mujtahid besar, separti Abdullah bin Umar bin Khatab, Ibnu Syihad az-Zuhri, Abdullah bin Abbas, Alqamah bin Qais, Anas bin Malik, Umar bin Abdul Aziz, Abdullah bin Amr, dan Wahhab bin Munabbih.
Ijtihad mengalami perkembangan yang paling pesat pada abad kedua sampai dengan abad keempat Hijriah. Masa itu dikenal dengan priode pembukuan sunah serta fikih dan munculnya mujtahid-mujtahid terkemuka yang kemudian dikenal sebagai Imam-imam mazhab, yaitu, Imam Hanafi (Imam Malik (, , Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad bin Hanbal (Imam Hanbali).
Setelah abad keempat Hijriah, perkembangan ijtihad mengalami kemunduran, bahkan muncul pendapat bahwa pintu ijtihad telah tertutup. Hal ini disebabkan antara lain karena umat Islam merasa cukup dengan pendapat-pendapat mujtahid sebelumnya. Umat Islam memandang bahwa semua masalah sudah ditentukan hukumnya oleh fukaha (ahli hukum Islam), sehingga mereka hanya boleh menjelaskan dan menafsirkan ajaran-ajaran yang disepakati oleh fukaha terdahulu. Di samping itu, tidak ada lagi muncul mujtahid-mujtahid yang memiliki kemampuan dan keunggulan seperti yang dimiliki oleh para mujtahid sebelumnya sehingga tidak ada lagi yang disebut mujtahid mitlak (mujtahid mustaqill). Yang ada hanya mujtahid fi al-Mazhab (mujtahid yang mengikuti pendapat para imam mazhab sebelumnya) atau mujtahid murajjih (mujtahid yang menerangkan dan memperkuat pendapat para imam-imam mazhab sebelumnya).
Kemudian dalam perkembangan berikutnya, muncul ulama-ulama seperti Ibnu Taimiyyah yang menyerukan agar umat Islam membuka kembali pintu ijtihad. Pendapat Ibnu Taimiyah memperoleh dukungan dari ulama dan tokoh-tokoh pemikir serta tokoh-tokoh pembaharu sesudahnya, seperti Jamaludin al-Afgani, Muhammad bin Abdul *Wahhab, *Muhammad bin Abduh, dan Muhammad Rasyid Rida.
Pada masa kini, para ulama semakin dituntut untuk melakukan ijtihad. Hal ini karena disebabkan banyaknya persoalan yang dihadapi umat akibat perubahan yang begitu pesat.
Sekilas sejarah Ilmu fiqih
Pada zaman Rosulullah Kaum muslimin menerima hukum-hukum Islam langsung dari rosululllah .Dengan membaca Al qur an memahamiNya dan mengamalkan titah dan perintahNya.
Selain itu ,mereka juga mendapatkan tambahan berupa wahyu dari Allah taala dalam bentuk: ucapan, tindak -tanduk dan ketetapan Rasul.
Selain dua sumber diatas,mereka mendapatkan tambahan berupa ijtihad-umum- terhadap apa yang dilakukan Rosulullah Saw.Kemudian dikukuhkan atau di koreksi oleh wahyu.
Sesudah itu datanglah jaman para sahabat.Mereka menerapkan wahyu di sepanjang kehidupan mereka. Baik yang berupa Al qur` an maupun yang berupa Sunnah.
Apabila mereka menemukan kasus baru,mereka berijtihad melalui bimbingan Rosululllah .Yaitu dg apa yang mereka ketahui dari Al qur`an dan Sunnah,berdasarkan pengalaman mereka karena dekatnya dengan proses turunya wahyu,berkat pengetahuan mereka terhadap sebab musabab di turunkanya wahyu itu,dan berkat pelajaran yang mereka peroleh dari sekolah Rosulullah .
Sejak itulah ilmu fiqih lahir ke dunia tanpa nama dan tanpa pencacahan atau pendaftaran.
Menyusul sesudah itu zaman At-tabiin dan Tabi`it-Tabi`in.Dan sejak saat itu bertambah pesat dan luaslah ijtihad,mengikuti perkembangan kasus yang makin banyak banyak dan membengkak.
Jejak mereka itu juga di ikuti oleh para iman yang juga aktif dalam lapangan ijtihad.Pada abad kedua dan ketiga Hijriyah dimulailah penulisan sunnah dan penulisan ilmu fiqih.
Dan yang pertama-tama adalah penulisan buku Al –Muwat-Tha` oleh Al –Imam Malik,sesuai dengan permintaan Khalifah Al-Mansyur.Kitab ini merupakan kitab hadits sekaligus kitab fiqih.
Menyusul langkah Imam Malik adalah Imam Abu yusuf,rekan Abu Hanifah,yang menulis beberapa buah buku serupa.Kemudian Al Imam Muhammad bin Al-Hasan menulis bukunya :Dhahirur riwayat As Sittah,di Himpun oleh Al Hakim yang tersohor dalam Al-Kahfi dan di berikan penjelasan oleh As Sarkhasi dalam Al Mabshuth.
Disusul sedudah itu oleh As Syafi`I dengan bukunya :Al-Um ,yang merupakan pegangan mazhab As-Syafi`i.
Sejak saat itu pesatlah ijtihad dan penulisan kitab .
Ilmu Fiqih model diatas (yang mengaitkan ijtihad) adalah merupakan perkawinan antara pemikiran dan wahyu atau dengan kata lain” pencerahan akal dengan cahaya wahyu” Ternyata ini merupakan pencerahan ilmu Islam yang paling subur,jauh mendahului apa yang di berikan bangsa eropa sesudah mereka mencapai puncak kejayaan pemikiran dalam menguraikan perundang-undangan atau teori fiqih.
Mazhab Maliki (93-179 H).
Imam Malik bin Anas al-Asbahi, berasal dari Yaman dan lahir di Madinah, dan tak pernah meninggalkan Madinah kecuali untuk Haji, beliau lebih suka duduk bersebelahan dangan Nabi, walaupun telah ditawarkan untuk mendampingi Khalifah di Baghdad. Beliau telah banyak berguru dengan para Tabi’in, diantaranya ialah Ibn al-Shihab al-Zuhri dan Rabi’ah al-Ra’yi, Yahya ibn Said , Abdul Rahman bin Hurmuz dll. Beliau belajar dan mengajar di Masjid Nabawi dan diantara murid beliau adalah Imam syafi’I, anak kahalifah Harun al-Rashid yaitu al-Amin dan al-Ma’mun, abdullah bin Wahb, Abdul Rahmanbin al-Qasim, Abul Hasan al-Qurtubi dll.
Imam Malik telah menulis sebuah Buku yang dinamakan al-Muwatta’, Buku ini mengandungi Hadith-Hadith yang Sahih dan Mursal, Fatwa sahabat dan pendapat para Tabi’in, dan juga mengandungi Ijtihad beliau sendiri dalam bentuk qiyas, tafsir , tarjih. Beliau menulis buku tersebut dalam masa empat puluh tahun, ini adalah merupakan karya terbesar Imam Malik dan merupakan buku pertama dalam ditulis seumpamanya, setelah al-Qur’an dan Hadith. Al-Muwatta ingin dijadikan kitab dan Mazhab rasmi bagi Khilafah Abbasiah masa itu tetapi Imam Malik dengan tawadu’ menolak permintaaan tersebut. Selain al-Muwatta’ kitab yang terkenal dalam mazhab Maliki adalah al-Mudawwanah yang ditulis oleh murid-murid beliau dan menjadi pegangan rasmi pemerintahan Umawiyyah di Andalus/ Spain
Madzhab Syafi`i (150-204 H).
Imam Abu Abdullah Muahammad bin Idris al-Syafi’i, mempunyai nasab yang bertemu dengan Rasul yaitu dengan datuk beliau yang bernama Abd Manaf. Beliau lahir di Ghazzah, Palestin, dan wafat di Mesir. Menimba ilmu di Mekkah sampai berumur 15 tahun dan diberikan izin berfatwa, kemudian beliau pindah ke Madinah berguru dengan Imam Malik sampai wafat, lalu mengembara ke Yaman untuk berguru dengan Yahya bin Hassan Murid Imam al-Auza’i, beliau ditangkap pada tahun 184 H. kerana didakwa menentang pemerintahan Abbasiyah dan dibawa ke Baghdad disinilah beliau bertemu dengan Imam Muhammad al-Syaibani dari Mazhab Hanafi, beliau terus mengembara untuk belajar dan mengembangkan ilmunya sampailah akhirnya beliau mukim di Mesir pada tahun199 dan meninggal tahun 204 H.
Oleh kerana imam Syafi’i banyak mengembara dalam menuntut ilmu maka mazhabnya juga merupakan kombinasi dari beberapa madrasah / pemikiran dan kecendrungan, beliau mengambil sikap tengah antara madrasah ahlul Hadith (menolak ijtihad-qiyas) dan madrasah ahlul Ra’yi (menolak hadith ahad), beliau tidak menolak hadith Ahad yang sahih,dan menolak hadith Mursal yang bukan oleh kibar Tabi’in. dan beliau menggunakan metode qiyas dalam ijtihadnya, ini berarti beliau seorang pro ahlul Hadith dalam masa yang sama pro ahlul Ra’yi.
Beliau adalah seorang ahli hadith yang banyak menghafal hadith dan dalam kaedah fiqihnya hadith adalah sebagai sharih, muqayyid, Mufassil, dan Mukhassis kepada al-Qur’an, sumber ketiga setelah al-Qur’an dan Sunnah adalah Ijma’ dan kemudian aqwal al-Sahabah. Dan yang terakhir adalah Qiyas, dengan ini beliau menolak Istihsan dan Istislah atau amal ahli madinah.
Imam Shafi’i menulis buku tentang Usul fiqh, kitabnya al-Risalah adalah kitab pertama yang membincangkan tentang ilmu itu, dan kitab kedua adalah kitab al-Umm yang khusus membicarakan tentang mazhabnya dalam fiqih. Diantara murid beliau yang tersebar di Iraq dan Mesir adalah: al-Rabi’ bin Sulaiman al-Muradi, al-Hasan bin Muhammad al-Za’farani, Abu Ali Husein bin Ali al-Karabisi, Isma’il bin yahya al-Muzni, abu Ya’kub al-Buwaiti dan Imam Nawawi. Mazhab beliau pernah menjadi Mazhab rasmi di Mesir dan di Negara-negara Asia.
0 komentar:
Posting Komentar