ABSTRAKSI
Dengan Undang Undang Nomor 7 Tahun 1984 (UU No.7/1984), Konvensi Tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women) (CEDAW) disahkan. Menurut aturan hukum internasional dikenal dengan istilah pacta sunt servanda, perjanjian internasional yang telah disahkan wajib dilaksanakan. Negara negara dunia tidak boleh dikecualikan dari kewajiban itu bersandarkan ketentuan hukum nasional mereka. Melainkan, jika hukum nasional mengurangi pelaksanaan sesuatu perjanjian internasional, hukum nasional itu wajib diubah. Kewajiban tersebut ditambah dengan pasal CEDAW yang menyatakan Negara Negara Peserta CEDAW wajib mengubah hukum nasional agar menghapuskan diskriminasi terhadap wanita dan melindungi hak wanita.
Di Indonesia, harmonisasi hukum nasional dengan ketentuan CEDAW tersebut berarti bahwa hukum negara akan diubah dan, selanjutnya, hukum Islam dan hukum Adat akan diubah juga. Itu karena hukum di Indonesia merupakan tiga sistem, yaitu hukum negara, hukum Islam dan hukum Adat.
Namun demikian, di Indonesia penghapusan diskriminasi terhadap wanita dan perlindungan hak wanita maupun perubahan hukum jadi lebih rumit dari perkataan aturan hukum internasional tersebut. Pelaksanaan CEDAW mengandung persoalan di bidang politik, terutama setelah penggantian pemerintah Orde Baru dengan pemerintah Era Reformasi. Persoalan politik ditambah dengan masalah sosial, yaitu perkembangan dan perbedaan pendapat dalam masyarakat mengenai kebudayaan dan agama.
Dalam rangka tersebut, makalah ini ingin mengkaji kedudukan wanita dalam hukum negara dan hukum Islam di Indonesia disamping CEDAW. Makalah ini memeriksa persoalan sebagai berikut. Apa isi CEDAW? Kalau ada seorang wanita yang mencari penghapusan diskriminasi atau perlindungan haknya sebagaimana disebut dalam CEDAW, apa kesempatan dia dalam hukum negara di Indonesia? Dan apa terjadi jika seorang wanita tersebut beragama Islam? Untuk dia, dalam lingkungan peradilan agama, ada ketentuan hukum Islam yang berdasarkan persamaan antara pria dan wanita dan tidak bersifat diskriminatif? Sebaliknya, apa hubungan antara CEDAW dan hukum Islam? Ada kemungkinan bahwa hukum Islam berupa sistem yang beda sampai tidak perlu disesuaikan dengan sistem hukum lain, termasuk hukum internasional?
Dalam sistem hukum negara, pemeriksaan persoalan persoalan tersebut menunjukkan pengakuan kaidah penghapusan diskriminasi terhadap wanita sama hak wanita sudah bagus. Pengakuan itu terdapat dalam UUD 1945 dan Pancasila yang dapat diperbaiki beserta Ketetapan (TAP) Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Nomor XVII/MPR/1998 Tentang Hak Asasi Manusia (HAM) dan UU No.39/1999 Tentang HAM yang sudah lengkap.
Bagaimanapun, pengakuan kaidah penghapusan diskriminasi terhadap wanita sama haknya perlu ditambah dengan penegakan. Di Indonesia, penegakan peraturan perundangan tersebut perlu diperbaiki. Penegakan itu berupa antara lain wewenang menguji dalam lingkungan peradilan umum dan peradilan tata usaha negara (TUN). Ruang lingkup wewenang menguji yang telah ada berarti bahwa mayoritas peraturan perundangan (termasuk Keputusan TUN) tidak dapat diuji terhadap kaidah diskriminasi atau hak wanita. Jadi, mayoritas peraturan perundangan boleh dikeluarkan dan berlaku baik kalau bersifat diskriminatif dan melanggar hak wanita atau tidak.
Selain itu, penegakan dapat dilakukan melalui Komnas HAM. Secara umum wewenang Komnas HAM terhadap diskriminasi dan pelanggaran HAM tidak termasuk paksaan atau tidak mengikat pihak bersangkutan. Maka, diskriminasi dan pelanggaran HAM dapat berjalan baik secara sesuai dengan ketentuan Komnas HAM atau tidak. Ada kemungkinan masalah penegakan tersebut akan diselesaikan dalam masa depan yang telah diggariskan pemerintah Indonesia dan kebijakan berbagai Partai Politik (Parpol).
Hukum Islam belum sesuai dengan CEDAW. Dalam sistem tersebut, ada ketentuan di bidang perkawinan dan kewarisan. Ketentuan tersebut belum berdasarkan persamaan antara pria dan wanita dan, bahkan, bersifat diskriminatif di muka CEDAW. Dalam rangka sumbernya dan peraturan perundangan nasional, hukum Islam dapat diubah selaras dengan CEDAW. Namun demikian, kemauan mengubah hukum Islam di Indonesia belum diputuskan. Peraturan perundangan yang telah dikeluarkan tidak mengandung kemauan yang jelas. Selanjutnya, kebijakan Parpol dan sikap orang Indonesia belum sependapat terhadap persoalan hukum Islam dan CEDAW. Jadi, meskipun telah jelas hukum Islam belum sesuai dengan CEDAW, kemungkinan harmonisasi hukum Islam dengan CEDAW tidak yakin.
Dengan pemeriksaan tersebut, makalah ini menyimpulkan bahwa kedudukan wanita di Indonesia sebagaimana digariskan dengan CEDAW perlu diwujudkan melalui perubahan hukum baik dalam sistem hukum negara dan sistem hukum Islam. Namun demikian, makalah ini mengakui perbedaan antara sudut hukum Islam dan sudut CEDAW. Ketidakjelasan hubungan antara hukum Islam dan CEDAW adalah produk kesulitan harmonisasi sudut sudut tersebut.
KATA PENGANTAR
Saya anggap kata pengantar yang panjang tidak perlu dalam tulisan ini. Latar belakangnya, tujuannya dan isinya telah jelas. Bagaimanapun, ada sesuatu yang tidak jelas, yang belum diucapkan dalam batang tubuh tulisan ini dan yang bersifat fundamental. Yaitu, tulisan ini tidak bisa dilakukan tanpa bantuan beberapa orang. Penulis ingin mengucapkan terima kasih atas Pak Agus, Pak David, Pak Habib, Bu Vina, Mbak Lestari, Mbak Liz dan para mahasiswa Program Pengalaman Lapangan ACICIS Universitas Muhammadiyah Malang. Akhirnya (tetapi tidak sekurangnya) penulis ingin mengucapkan terima kasih atas keluarganya dan Sharifa Kyamanywa.
BAB I
PENDAHULUAN
Dengan Undang Undang Nomor 7 Tahun 1984 (UU No.7/1984), Konvensi Tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women) (CEDAW) disahkan. Menurut aturan hukum internasional dikenal dengan istilah pacta sunt servanda, perjanjian internasional yang telah disahkan wajib dilaksanakan. Negara negara dunia tidak boleh dikecualikan dari kewajiban itu bersandarkan ketentuan hukum nasional mereka. Melainkan, jika hukum nasional mengurangi pelaksanaan suatu perjanjian internasional, hukum nasional itu wajib diubah. Kewajiban tersebut ditambah dengan pasal CEDAW yang menyatakan Negara Negara Peserta CEDAW wajib mengubah hukum nasional agar menghapuskan diskriminasi terhadap wanita dan melindungi hak wanita.
Di Indonesia, harmonisasi hukum nasional dengan ketentuan CEDAW tersebut berarti bahwa hukum negara akan diubah dan, selanjutnya, hukum Islam dan hukum Adat akan diubah juga. Itu karena hukum di Indonesia merupakan tiga sistem, yaitu hukum negara, hukum Islam dan hukum Adat.
Namun demikian, di Indonesia penghapusan diskriminasi terhadap wanita dan perlindungan hak wanita maupun perubahan hukum jauh lebih rumit dari perkataan aturan hukum internasional tersebut. Pelaksanaan CEDAW mengandung persoalan di bidang politik, terutama setelah penggantian pemerintah Orde Baru dengan pemerintah Era Reformasi. Persoalan politik ditambah dengan masalah sosial, yaitu perbedaan pendapat dalam masyarakat mengenai agama dan kebudayaan
Dalam rangka tersebut, makalah ini ingin mengkaji hukum negara dan hukum Islam di Indonesia disamping CEDAW. Makalah ini memeriksa persoalan sebagai berikut. Apa isi CEDAW? Kalau ada seorang wanita yang mencari penghapusan diskriminasi atau perlindungan haknya sebagaimana disebut dalam CEDAW, apa kesempatan dia dalam hukum negara di Indonesia? Dan apa terjadi jika seorang wanita tersebut beragama Islam? Untuk dia, dalam lingkungan peradilan agama, terdapat ketentuan hukum Islam yang berdasarkan persamaan antara pria dan wanita dan tidak bersifat diskriminatif? Sebaliknya, apa hubungan antara CEDAW dan hukum Islam? Ada kemungkinan bahwa hukum Islam berupa sistem yang beda sampai tidak perlu disesuaikan dengan sistem hukum lain, termasuk hukum internasional?
Pemeriksaan persoalan tersebut menunjukkan bahwa dalam hukum negara pengakuan kaidah penghapusan diskriminasi terhadap wanita sama hak wanita sudah lengkap. Namun, penegakan ketentuan hukum negara tersebut masih dapat diperbaiki. Selanjutnya, dalam hukum Islam terdapat beberapa ketentuan yang tidak sesuai dengan CEDAW. Namun demikian, ada perbedaan pendapat tentang keperluan harmonisasi hukum Islam dengan CEDAW.
BAB II
PENJELESAN ISI CEDAW
1. Hukum Internasional dan Hak Asasi Manusia (HAM)
Hukum internasional melindungi HAM melalui konvensi atau perjanjian internasional dan kebiasaan international. Ketentuan hukum internasional terhadap HAM yang paling lama adalah Maklumat Sedunia Tentang Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights) (UDHR). UDHR dikeluarkan pada tahun 1948. UDHR telah mempengaruhi serta diakui Republik Indonesia. UDHR bukan konvensi atau perjanijian internasional, melainkan itu Ketetapan Majelis Bangsa Bangsa yang lembaga tinggi Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB). Sebagaimana demikian, UDHR sendiri tidak wajib dilaksanakan negara anggota PBB. Bagaimanapun, UDHR sudah lama diumumkan. Ada orang yang berpendapat bahwa pelaksanaan UDHR menjadi kebiasaan internasional dan, oleh sebabnya, ketentuan UDHR wajib dipenuhi semua negara dunia.
Kebiasaan hukum internasional terhadap HAM ditambah dengan Konvensi. Konvensi tentang HAM diundangkan negara negara dunia dengan bantuan PBB. Konvensi atau perjanjian internasional wajib dilaksanakan secara tersebut. Di bidang Konvensi tentang HAM terdapat Konvensi bersifat umum dan Konvensi bersifat khusus. Konvensi bersifat umum adalah Konvensi Internasional Tentang Hak Hak Asasi Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights) (ICCPR) dan Konvensi Internasional Tentang Hak Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (International Covenant on Economic Social and Cultural Rights) (ICESCR) yang akan disahkan Indonesia.
Konvensi bersifat khusus tercantum Konvensi terhadap hak hak asasi wanita. Konvensi itu termasuk Konvensi Tentang Hak Hak Politik Wanita (Convention on the Political Rights of Women) yang telah disahkan Indonesia dengan Undang Undang No.18/1956 maupun CEDAW.
2. Ketentuan CEDAW Bersifat Umum
CEDAW dimaksud menghapuskan diskriminasi terhadap wanita dan melindungi hak wanita. Pasal 1 CEDAW menegaskan istilah “diskriminasi” berarti setiap perbedaan, pengecualian atau pembatasan berdasarkan jenis kelamin yang mempunyai pengaruh atau tujuan untuk mengurangi dan menghapuskan pengakuan, penikmatan atau penggunaan HAM di bidang apapun berdasarkan persamaan antara pria dan wanita. Namun demikian, Pasal 4 menetapkan "diskriminasi” tersebut dianggap tidak terjadi dengan peraturan khusus sementara untuk mencapai persamaan antara pria dan wanita (affirmative action).
Pasal 2 CEDAW memuat ketetentuan umum yang akan dilaksanakan oleh Negara Negara Peserta CEDAW. Pertama, Pasal 2 butir a menetapkan kaidah persamaan wanita dengan pria wajib dicantumkan dalam Undang Undang Dasar dan perundang-undangan Negara Negara Peserta, kecuali kalau itu sudah dilaksanakan.
Kedua, Pasal 2 butir b berbunyi Undang Undang dan peraturan perundangan lain yang melarang diskriminasi terhadap wanita akan diundangkan. Jika dianggap perlu, peraturan perundangan tersebut akan menetapkan hukuman untuk diskriminasi terhadap wanita. Selain itu, Pasal 2 butir e menyatakan Negara Negara Peserta akan menjamin diskriminasi terhadap wanita tidak dilakukan oleh seorang, badan hukum perdata atau sekelompok di mana pun.
Ketiga, Pasal 2 butir d menentukan kegiatan atau kebiasaan yang bersifat diskriminatif tidak akan dilakukan oleh segala pejabat dan lembaga pemerinatah Negara Negara Peserta. Keempat, Pasal 2 butir f menyatakan Undang Undang, peraturan perundangan, kebiasaan dan praktek yang bersifat diskriminatif terhadap wanita akan diubah atau dicabut. Sebagaimana demikian, Pasal 5 butir a berbunyi kebudayaan Negara Negara Peserta akan diubah sesuai dengan CEDAW. Jadi, kebiasaan atau praktek yang bersifat diskriminatif terhadap wanita akan dihapuskan.
3. Ketentuan CEDAW Di Bidang Tertentu
Pasal 7 sampai dengan Pasal 14 memuat ketentuan khusus di bidang politik, ekonomi, sosial dan domestik. Di bidang politik, Pasal 7 butir a yuncto butir b menetapkan hak memilihi dan dipilih dalam Pemilihan Umum (Pemilu) akan didasarkan persamaan wanita dengan pria. Selanjutnya, hak mengikuti perumusan dan pelaksanaan kebijakan pemerintah juga akan disandarkan kaidah tersebut. Akhirnya, wanita bersama dengan pria akan mempunyai hak menduduki segala pekerjaan dalam pemerintahan maupun hak melaksanakan segala fungsi pemerintahan pada semua tingkatnya.
Di bidang sosial dan internasional, Pasal 7 butir c yuncto Pasal 8 menentukan partisipasi wanita bersama dengan pria di lembaga sosial masyarakat (LSM) maupun pada tingkat internasional akan dijamin. Di bidang lain, Pasal 10 sampai dengan Pasal 14 menggariskan penghapusan diskriminasi terhadap wanita dan perlindungan hak wanita dalam pendidikan, pekerjaan, kesehatan dan pedesaan.
4. CEDAW Dan Hukum
Pasal 15 mengandung ketentuan tentang hukum. Pasal 15 Ayat (1) menyatakan persamaan wanita dengan pria akan diberikan di muka hukum. Khususnya, Pasal 15 Ayat (2) menetapkan persamaan wanita dengan pria akan dijamin terhadap kecakapan hukum dalam hal sipil maupun kesempatan melakukan kecakapan tersebut. Kecakapan tersebut tercantum hak yang sama untuk mengesahkan perjanjian dan mengurus harta benda. Kecakapan tersebut pula tercantum perlakuan yang sama dalam lingkungan peradilan pada tingkat pertama, banding dan kasasi. Pasal 15 Ayat (4) menyatakan persamaan wanita dengan pria akan diberikan untuk mengadakan pergerakan dan memilih tempat kediaman.
5. CEDAW Dan Kekeluargaan
Pasal 16 memuat ketentuan di bidang hukum keluarga dan perkawinan. Secara umum, Pasal 16 Ayat (1) menyatakan persamaan wanita dengan pria akan dijamin terhadap hak dan tanggung jawab dalam hubungan kekeluargaan dan semua urusan mengenai perkawinan. Khususnya, beberapa hak wanita bersama dengan pria akan dijamin di bidang perkawinan. Pertama, Pasal 16 Ayat (1) huruf a mensyaratkan hak yang sama untuk melakukan ikatan perkawinan. Kedua, Pasal 16 Ayat (1) huruf b menggariskan hak wanita memilihi suami secara bebas dan haknya memasuki ikatan perkawinan hanya dengan persetujuan yang bebas sepenuhnya.
Ketiga, Pasal 16 Ayat (1) huruf c mensyaratkan hak dan tanggung jawab yang sama dalam perkawinan maupun pada putusnya. Keempat, Pasal 16 Ayat (1) huruf d mensyaratkan hak dan tanggung jawab yang sama sebagai orang tua, terlepas dari status kawin mereka, dalam urusan yang berhubungan dengan anak mereka. Namun demikian, dalam semua kasus, kepentingan anak akan diutamakan.
Kelima, Pasal 16 Ayat (1) huruf g mengakui hak pribadi yang sama sebagai suami isteri termasuk hak untuk memilihi nama, keluarga, profesi dan jabatan. Keenam, Pasal 16 Ayat (1) huruf f mensyaratkan hak yang sama untuk kedua suami dan isteri bertalian dengan harta benda. Ketujuh, Pasal 16 Ayat (2) melarang pertunangan dan perkawinan seorang anak.
6. Ketentuan CEDAW Bersifat Teknis
CEDAW disimpulkan dengan Pasal 17 yuncto Pasal 19 sampai dengan Pasal 22 terhadap Pembentukan Komite Penghapusan Diskriminasi terhadap Wanita dan Pasal 25 sampai dengan Pasal 30 terhadap hal yang bersifat administrasi dan prosedural terhadap CEDAW.
BAB II
HUKUM NEGARA
Kalau seorang wanita mencari penghapusan diskriminasi dan perlindungan haknya sebagaimana disebut dalam CEDAW, sistem pemerintahan dan tata urutan peraturan perundangan di Indonesia perlu dipahami. Dalam rangka itu, seorang wanita tersebut boleh mencari perlindungan melalui keberlakuan CEDAW dalam hukum negara di Indonesia, ketentuan Undang Undang Dasar 1945 (UUD 1945) beserta perundang-undangan lain tentang HAM.
Dalam peraturan perundangan tersebut, seorang wanita tersebut perlu mencari pengakuan kaidah penghapusan diskriminasi dan perlindungan hak wanita. Selain itu, dia juga perlu mencari penegakan kaidah tersebut dalam lingkungan peradilan negara maupun lembaga legislatif atau eksekutif. Seorang wanita tersebut dapat menyimpulkan bahwa pengakuan tersebut sudah lengkap sedang penegakannya dapat diperbaiki. Namun demikian, ada masa depan yang baik untuk penghapusan diskriminasi terhadap wanita dan perlindungan haknya.
1. Lembaga Pemerintahan dan Tata Urutan Peraturan Perundangan di Indonesia
1.1 Wewenang dan Susunan Lembaga Pemerintahan
Lembaga pemerintahan di negara kita merupakan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Pemerintah di Daerah. Pemerintah di Daerah merupakan pejabat daerah, yaitu Gubernur, Bupati, Walikota dan wakil-wakilnya; serta Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tingkat I (DPRD I) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tingkat II (DPRD II). Wewenang dan susunan lembaga lembaga pemerintahan tersebut diggariskan UUD 1945 sebagaimana ditambah Perubahan Pertama UUD 1945 Sidang Umum MPR Tahun 1999 beserta perundang-undangan.
MPR adalah lembaga tertinggi negara. MPR memegang dan melaksanakan kedaulatan rakyat sepenuhnya. MPR mempunyai tugas menetapkan Garis Garis Besar daripada Haluan Negara (GBHN), memilih Presiden serta Wakil Presiden dan mengubah UUD 1945. MPR terdiri atas anggota DPR ditambah dengan utusan daerah dan utusan golongan. Utusan daerah dipilih DPRD I sedang utusan golongan dipilih DPR. Utusan golongan `tidak menjadi bagian dari suatu partai politik serta yang kurang atau tidak terwakili secara proposional di DPR dan terdiri atas golongan ekonomi, agama sosial, budaya, ilmuwan, dan badan badan kolektif lainnya'.
Presiden memegang kekuasaan Pemerintahan. Presiden berhak mengajukan Rancangan Undang Undang (RUU) kepada DPR. Setiap RUU dibahas DPR dan Presiden untuk mendapat
Untuk hasil yang lebih lengkap dan jelas dalam bentuk Microsoft Word. Silahkan download disni.
0 komentar:
Posting Komentar