A. SEKILAS TENTANG MUHAMMADIYAH
Muhammadiyah didirikan di Yogyakarta oleh Kyai Haji Ahmad Dahlan pada 8 Dzulhijjah 1330 Hijriyah bertepatan dengan 18 November 1912 Miladiyah. Perkataan “Muhammadiyah” dinisbahkan kepada nama Muhammad, Nabi dan Rasul akhir zaman. Penisbahan itu dimaksudkan guna mengikuti jejak perjuangan Rasulullah untuk kemudian melanjutkan risalah dakwahnya dalam kehidupan umat manusia, khususnya di Tanah Air Indonesia. Karenanya Muhammadiyah sebagaimana dirumuskan dalam Anggaran Dasar hasil muktamar ke-45 tahun 2005 menyatakan jatidirinya sebagai Gerakan Islam dan Dakwah Amar Makruf Nahi Munkar, berakidah Islam bersumber pada Al-Quran dan Sunnah.
Secara formal, tujuan dari Gerakan Muhammadiyah yang membawa misi dakwah dan Tajdid adalah “terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya”. Masyarakat semacam ini mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: pertama, memiliki keseimbangan antara kehidupan lahiriyah dan batiniyah, individual dan sosial, duniawi dan ukhrowi dan seterusnya; kedua, mengamalkan nilai-nilai kebajikan, seperti keadilan, kejujuran, kedisiplinan dan seterusnya, ketiga, bersedia bekerjasama dan berlomba-lomba dalam kebaikan; keempat, memiliki kesamaan karakter dengan masyarakat madani (civil society); kelima, berperan sebagai shuhada’ ‘alannas; keenam, menjadi masyarakat yang serba unggul atau utama (khaira ummah); ketujuh, memiliki kepedulian tinggi terhadap kelangsungan ekologis dan martabat hidup manusia; kedelapan, menjauhkan diri dari pelilaku yang membawa kerusakan (alfasad).
B. PERKEMBANGAN MUHAMMADIYAH
Setelah Muhammadiyah berdiri pada tahun 1912 maka K.H Ahmad Dahlan melakukan pengembangan terhadap organisasinya, sebagai sebuah organisasi yang berasaskan Islam. Organisasi Muhammadiyah memiliki dasar dan tujuan. Adapun dasar didirikan Muhammadiyah disebabkan oleh dua faktor :
1. Faktor intern
Faktor ini merupakan faktor dasar didirikannya Muhammadiyah, dimana sikap beragama da sistem pendidikan Islam masih jauh dari apa yang dirumuskan oleh ajaran agama. Sikap ajaran umat Islam Indonesia pada saat itu masih menganut kebudayaan Hindu, Syirik, taklid, bid’ah dan khurafat sangat tertanam dalam masyarakat muslim. Pendidikan yang diselenggaranpun masih menganut system tradisional. Jauh tertinggal dari sistem pendidikan barat, untuk mengantisipasi hal itu Muhammadiyah mendirikan lembaga pendidikan Islam yang menganut sistem barat.
2. Faktor Ekstern
Faktor lain yang mendorong lahirnya pemikiran Muhammadiyah adalah sikap dan politik penjajahan kolonial Belanda yang pendidikannya mengarah kepada westernisasi dan kristenisasi. Dengan adanya usaha itu maka Muhammadiyah mencoba melakukan hal yang sama untuk mengantisipasi kegiatan sosial, politik dan agama yang dijalankan oleh Zending Belanda.
Dengan kedua dasar di atas, organisasi yang dipimpin oleh K.H Ahmad Dahlan mencoba meniru kerja Zending yaitu mendirikan lembaga pendidikan, rumah miskin, rumah sakit dan lain-lain. Dengan adanya kegiatan social yang demikian, Muhammadiyah tumbuh menjadi organisasi social yang keagamaan ditengah-tengah masyarakat muslim Indonesia. Berkat pengalamannya dalam organisasi begitu luas Muhammadiyah begitu cepat berkembang sampai keluar Yogyakarta.
C. LEGISLASI DALAM MUHAMMADIYAH
- Hakikat ijtihad dalam Muhammadiyah
Sebagaimana telah dijelaskan diatas bahwa Muhammadiyah dikenal sebagai gerakan Tajdid. Sebenarnya sejak tahun 1968 rumusan Tajdid dikalangan Muhammadiyah telah ada, akan tetapi rumusan tersebut sangat sederhana, tanpa disertai penjelasan yang memadai. Masalah tersebut baru dibahas pada muktamar tarjih XXII di Malang, tahun 1989.
Adapun rumusan Tajdid yang resmi dari Muhammadiyah itu adalah dari segi bahasa, Tajdid berarti pembaharuan, dan dari segi istilah Tajdid memiliki dua arti, yakni :
a. Pemurnian
b. Peningkatan, pengembangan, modernisasi dan yang semakna dengannya.
Untuk melaksanakan Tajdid dalam kedua pengertian istilah diatas, diperlukan aktualisasi akan pikiran yang cerdas dan fitri, serta akal budi yang bersih, yang dijiwai oleh ajaran Islam.
Rumusan Tajdid diatas, mengisyaratkan bahwa dalam Muhammadiyah ijtihad dapat dilakukan terhadap peristiwa atau kasus yang tidak tedapat secara eksplisit dalam sumber utama ajaran Islam, yakni al-Qur’an dan Hadis, dan terhadap kasus yang terdapat dalam kedua sumber utama itu. Ijtidah dalam bentuknya yang kedua ini dilakukan dengan cara menafsirkan kembali kedua sumber utama tersebut sesuai dengan kondisi masyarakat sekarang ini. Pada prinsipnya Muhammadiyah mengakui peranan akal dalam memahami kedua sumber utama tersebut, namun akal juga masih terbatas dalam memahami nash al-Qur’an dan Hadis. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa jika pemahaman akal berbeda dengan kehendak dhahir nash, maka kehendak dhahir nash harus didahulukan daripada pemahaman akal.
Ada yang berpendapat, fungsi akal dalam Muhammadiyah tidak dominan dalam menyelesaikan persoalan-persoalan fikih. Memang benar bahwa majlis tarjih Muhammadiyah menegaskan kerelatifan akan dalam memahami nash al-Qur’an dan Hadis. Tetapi kerelatifan akal itu hanya terbatas dalam memahami masalah-masalah ibadah yang ketentuannya sudah diatur dalam nash. Peran akal cukup penting dalam menyelesaikan masalah-masalah mu’amalah untuk tercapainya kemaslahatan umat manusia.
Konsep kemaslahatan umat manusia tidak diperoleh penjelasan resmi dari majlis tarjih Muhammadiyah, namun dari tulisan-tulisan para tokoh Muhammadiyah bahwa kemaslahatan yang dimaksud adalah kemaslahatan yang sesuai dengan syari’at Islam atau setidaknya tidak bertentangan dengan syari’at itu. Jika maslahah bertentangan dengan nash maka nash harus didahulukan daripada maslahah. Dengan kata lain Muhammadiyah hanya menerima maslahah mursalah seperti halnya yang dikembangkan oleh imam Malik.
Muhammadiyah memiliki kesamaan dengan Ibnu Taimiyah mengenai kedudukan akal terhadap wahyu. Muhammadiyah mempunyai jalur salaf kepada beliau melalui Rasyid Ridha, tidak kepada Ibnu Rusyd melalui Muhammad Abduh. Dalam penggunaan akal, Abduh lebih bersifat liberal dan filosofis sebagaimana halnya Ibnu Rusyd, sedang Rasyid Ridha lebih bersifat tradisional sebagaimana Ibnu Taimiyah. Tentang akal beliau mengatakan, akal itu tidak akan mencapai kebenaran-kebenaran agama dengan sendirinya, melainkan harus disertai dengan dalil naqli, dan tidak sebaliknya. Dengan demikian akal tidak dapat men-ta’wil wahyu ketika satu sama lain dianggap bertentangan.
Pandangan Muhammadiyah tentang ijtihad yaitu menyelesaikan masalah dan mengkaji ulang, hanya berlaku dalam bidang fikih saja. Dalam bidang fikih pun, kelihatannya Muhammadiyah masih terbatas pada masalah yang belum diatur berdasarkan dalil qath’i, baik wurud maupun dalalah-nya. Masalah aqidah termasuk masalah yang tidak boleh di ijtihadkan lagi, apalagi dikaji secara rasional. Ini yang disebut dengan lahan pemurnian dan bukan lahan modernisasi.
Adapun rumusan Tajdid yang resmi dari Muhammadiyah itu adalah dari segi bahasa, Tajdid berarti pembaharuan, dan dari segi istilah Tajdid memiliki dua arti, yakni :
a. Pemurnian
b. Peningkatan, pengembangan, modernisasi dan yang semakna dengannya.
Untuk melaksanakan Tajdid dalam kedua pengertian istilah diatas, diperlukan aktualisasi akan pikiran yang cerdas dan fitri, serta akal budi yang bersih, yang dijiwai oleh ajaran Islam.
Rumusan Tajdid diatas, mengisyaratkan bahwa dalam Muhammadiyah ijtihad dapat dilakukan terhadap peristiwa atau kasus yang tidak tedapat secara eksplisit dalam sumber utama ajaran Islam, yakni al-Qur’an dan Hadis, dan terhadap kasus yang terdapat dalam kedua sumber utama itu. Ijtidah dalam bentuknya yang kedua ini dilakukan dengan cara menafsirkan kembali kedua sumber utama tersebut sesuai dengan kondisi masyarakat sekarang ini. Pada prinsipnya Muhammadiyah mengakui peranan akal dalam memahami kedua sumber utama tersebut, namun akal juga masih terbatas dalam memahami nash al-Qur’an dan Hadis. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa jika pemahaman akal berbeda dengan kehendak dhahir nash, maka kehendak dhahir nash harus didahulukan daripada pemahaman akal.
Ada yang berpendapat, fungsi akal dalam Muhammadiyah tidak dominan dalam menyelesaikan persoalan-persoalan fikih. Memang benar bahwa majlis tarjih Muhammadiyah menegaskan kerelatifan akan dalam memahami nash al-Qur’an dan Hadis. Tetapi kerelatifan akal itu hanya terbatas dalam memahami masalah-masalah ibadah yang ketentuannya sudah diatur dalam nash. Peran akal cukup penting dalam menyelesaikan masalah-masalah mu’amalah untuk tercapainya kemaslahatan umat manusia.
Konsep kemaslahatan umat manusia tidak diperoleh penjelasan resmi dari majlis tarjih Muhammadiyah, namun dari tulisan-tulisan para tokoh Muhammadiyah bahwa kemaslahatan yang dimaksud adalah kemaslahatan yang sesuai dengan syari’at Islam atau setidaknya tidak bertentangan dengan syari’at itu. Jika maslahah bertentangan dengan nash maka nash harus didahulukan daripada maslahah. Dengan kata lain Muhammadiyah hanya menerima maslahah mursalah seperti halnya yang dikembangkan oleh imam Malik.
Muhammadiyah memiliki kesamaan dengan Ibnu Taimiyah mengenai kedudukan akal terhadap wahyu. Muhammadiyah mempunyai jalur salaf kepada beliau melalui Rasyid Ridha, tidak kepada Ibnu Rusyd melalui Muhammad Abduh. Dalam penggunaan akal, Abduh lebih bersifat liberal dan filosofis sebagaimana halnya Ibnu Rusyd, sedang Rasyid Ridha lebih bersifat tradisional sebagaimana Ibnu Taimiyah. Tentang akal beliau mengatakan, akal itu tidak akan mencapai kebenaran-kebenaran agama dengan sendirinya, melainkan harus disertai dengan dalil naqli, dan tidak sebaliknya. Dengan demikian akal tidak dapat men-ta’wil wahyu ketika satu sama lain dianggap bertentangan.
Pandangan Muhammadiyah tentang ijtihad yaitu menyelesaikan masalah dan mengkaji ulang, hanya berlaku dalam bidang fikih saja. Dalam bidang fikih pun, kelihatannya Muhammadiyah masih terbatas pada masalah yang belum diatur berdasarkan dalil qath’i, baik wurud maupun dalalah-nya. Masalah aqidah termasuk masalah yang tidak boleh di ijtihadkan lagi, apalagi dikaji secara rasional. Ini yang disebut dengan lahan pemurnian dan bukan lahan modernisasi.
- Lembaga ijtihad Muhammadiyah
Ijtihad dalam Muhammadiyah tidak dilakukan secara individual, namun dengan cara kolektif. Hal ini dapat dilihat dengan dibentuknya sebuah lembaga yang disebut Majlis Tarjih atau Lajnah Tarjih.
Majlis tarjih adalah suatu lembaga dalam Muhammadiyah yang membidangi masalah-masalah keagamaan, khususnya hukum bidang fikih. Majlis ini dibentuk dan disahkan pada kongres Muhammadiyah XVII tahun 1928 di Yogyakarta, dengan KH. Mas Mansur sebagai ketua pertamanya.
1. Tugas pokok Majlis Tarjih
Sejak didirikan sampai sekarang, Majlis ini telah banyak mengalami perkembangan dan perubahan. Semula majlis ini hanya membahas dan memutuskan masalah-masalah keagamaan yang diperselisihkan, dengan cara mengambil pendapat yang dianggap kuat dalilnya. Tugas utama Majlis Tarjih pada awalnya hanya membuat tuntunan atau pedoman bagi warga Muhammadiyah, terutama mengenai masalah ibadah. Namun seiring dengan bergantinya waktu dan keadaan, tugas pokok Majlis Tarjih tidak terbatas pada masalah-masalah khilafiyat dalam ibadah saja, malainkan juga mencakup masalah-masalah mu’amalah kontemporer.
Pimpinan Pusat Muhammadiyah pada tahun 1971 menetapkan Qaidah Lajnah Tarjih, dalam pasal 2 Qaidah tersebut dijelaskan tugas dari Lajnah Tarjih yaitu :
a. Menyelidiki dan memahami ilmu agama Islam untuk memperoleh kemurniannya.
b. Menyusun tuntunan ‘aqidah, akhlaq, ibadah, mu’amalah dunyawiyyah.
c. Memberi fatwa dan nasihat, baik atas permintaan maupun Trjih sendiri memandang perlu.
d. Menyalurkan perbedaan pendapat / paham dalam bidang keagamaan kearah yang lebih maslahat.
e. Mempertinggi mutu ulama’
f. Hal-hal lain dalam bidang keagamaan yang diserahkan oleh pimpinan Persyarikatan.
2. Metode ijtihad Majlis Tarjih
Dalam pembahasan kali ini akan dikemukakan beberapa sumber hukum dalam islam yang diterima oleh Muhammadiyah, kemudian akan diuraikan pula secara singkat metode-metode berijtihad yang lazim digunakan oleh Muhammadiyah. Bagi Muhammadiyah ijtihad bukan merupakan sumber hukum melainkan sebagai metode penetapan hukum dalam Islam.
a. Al-Qur’an dan as-Sunnah al-Shahihah
Muhammadiah berpendapat bahwa sumber utama dalam islam adalah al-Qur’an dan as-Sunnah al-Shahihah. Al-Qur’an merupakan rujukan utama dalam menetapkan hukum, sedangkan Hadis berfungsi sebagai penjelas terhadap al-Qur’an. Akan tetapi jika Hadis tesebut tidak sejalan apalagi bertentangan dengan al-Qur’an, maka Hadis itu tidak dapat diterima. Kriteria hadis yang shahihah disini tidak semata-mata ditentukan dari sanad saja, tetapi juga harus ditinjau dari segi matannya.
b. Ijma’ Shahabat
Muhammadiyah pada dasarnya menerima metode ijtihad yang telah ditetapkan oleh para ahli ushul fiqh terdahulu, namun disana sini terdapat “modifikasi” atau lebih tepat lagi disebut kombinasi seperlunya. Ijma’ yang dibahas dalam ushul fiqh kelihatannya tidak dalam setiap periode diterima oleh Muhammadiyah. Muhammadiyah hanya menerima konsep Ijma’ yang terjadi dikalangan shahabat Nabi. Hal ini mengisyaratkan bahwa menurut Muhammadiyah, Ijma’ tidak mungkin terjadi lagi setelah masa shahabat. Pada masa shasabat dimungkinkan adanya ijma’, karena umat Islam masih sedikit jumlahnya.
c. Qiyas
Qiyas sebagai metode penetapan hukum pada dasarnya diterima oleh Muhammadiyah, dengan catatan tidak mengenai ibadah mahdah. Namun sebagian kelomok ada yang setuju dan ada juga yang tidak menghendaki adanya metode ini dalam pembentukan hukum di Muhammadiyah.
d. Istihsan
Dalam rumusan manhaj Majlis Tarjih dapat dipahami bahwa Muhammadiyah menerima metode istihsan. Dalam poin ke Sembilan manhaj tersebut dinyatakan, bahwa men-ta’lil, dalam arti menggali hikmah dan tujuan hukum, dapat digunakan untuk memahami kandungan dalil-dalil al-Qur’an dan Hadis. Kegiatan ini erat kaitannya dengan istihsan.
e. Istislah
Menurut Muhammadiyah, kemaslahatan umat merupakan sesuatu yang harus diwujudkan. Karena itu, dalam masalah-masalah yang berhubungan dengan mu’amalah peran akal cukup besar. Maslahah dalam Muhammadiyah tidak seperti halnya diungkapkan oleh al-Thufi yakni “maslahah harus didahulukan dari pada nash, dalam arti maslahah dapat men-takhshish nash”. Dengan demikian Muhammadiyah tetap mendahulukan dhahir nash daripada maslahah, ketika satu sama lain dianggap bertentangan. Pendapat ini juga dianut oleh kebanyakan ahli ushul fiqh.
f. Saddu al-dzari’at
Tujuan digunakannya metode ini adalah untuk menghindari ter-jadinya fitnah dan mafsadah. Jika diambil pengertian sebaliknya, maka tujuan digunakannya metode ini adalah untuk kemaslahatan manusia.
Adapun jalur yang ditempuh Muhammadiyah dalam berijtihad ada tiga jalur, yaitu :
a. Al-Ijtihad al-Bayani, yakni menjelaskan hukum yang kasusnya telah terdapat dalam nash al-Qur’an dan Hadis.
b. Al-Ijtihad al-Qiyasi, yakni menyelesaikan kasus baru, dengan cara menganalogikannya dengan kasus yang hukumnya telah diatur dalam al-Qur’an dan Hadis.
c. Al-Ijtihad al-Istishlahi, yakni menjelaskan beberapa kasus baru yang tidak terdapat dari kedua sumber hukum diatas, dengan cara menggunakan penalaran yang didasarkan atas kemaslahatan.
Majlis tarjih adalah suatu lembaga dalam Muhammadiyah yang membidangi masalah-masalah keagamaan, khususnya hukum bidang fikih. Majlis ini dibentuk dan disahkan pada kongres Muhammadiyah XVII tahun 1928 di Yogyakarta, dengan KH. Mas Mansur sebagai ketua pertamanya.
1. Tugas pokok Majlis Tarjih
Sejak didirikan sampai sekarang, Majlis ini telah banyak mengalami perkembangan dan perubahan. Semula majlis ini hanya membahas dan memutuskan masalah-masalah keagamaan yang diperselisihkan, dengan cara mengambil pendapat yang dianggap kuat dalilnya. Tugas utama Majlis Tarjih pada awalnya hanya membuat tuntunan atau pedoman bagi warga Muhammadiyah, terutama mengenai masalah ibadah. Namun seiring dengan bergantinya waktu dan keadaan, tugas pokok Majlis Tarjih tidak terbatas pada masalah-masalah khilafiyat dalam ibadah saja, malainkan juga mencakup masalah-masalah mu’amalah kontemporer.
Pimpinan Pusat Muhammadiyah pada tahun 1971 menetapkan Qaidah Lajnah Tarjih, dalam pasal 2 Qaidah tersebut dijelaskan tugas dari Lajnah Tarjih yaitu :
a. Menyelidiki dan memahami ilmu agama Islam untuk memperoleh kemurniannya.
b. Menyusun tuntunan ‘aqidah, akhlaq, ibadah, mu’amalah dunyawiyyah.
c. Memberi fatwa dan nasihat, baik atas permintaan maupun Trjih sendiri memandang perlu.
d. Menyalurkan perbedaan pendapat / paham dalam bidang keagamaan kearah yang lebih maslahat.
e. Mempertinggi mutu ulama’
f. Hal-hal lain dalam bidang keagamaan yang diserahkan oleh pimpinan Persyarikatan.
2. Metode ijtihad Majlis Tarjih
Dalam pembahasan kali ini akan dikemukakan beberapa sumber hukum dalam islam yang diterima oleh Muhammadiyah, kemudian akan diuraikan pula secara singkat metode-metode berijtihad yang lazim digunakan oleh Muhammadiyah. Bagi Muhammadiyah ijtihad bukan merupakan sumber hukum melainkan sebagai metode penetapan hukum dalam Islam.
a. Al-Qur’an dan as-Sunnah al-Shahihah
Muhammadiah berpendapat bahwa sumber utama dalam islam adalah al-Qur’an dan as-Sunnah al-Shahihah. Al-Qur’an merupakan rujukan utama dalam menetapkan hukum, sedangkan Hadis berfungsi sebagai penjelas terhadap al-Qur’an. Akan tetapi jika Hadis tesebut tidak sejalan apalagi bertentangan dengan al-Qur’an, maka Hadis itu tidak dapat diterima. Kriteria hadis yang shahihah disini tidak semata-mata ditentukan dari sanad saja, tetapi juga harus ditinjau dari segi matannya.
b. Ijma’ Shahabat
Muhammadiyah pada dasarnya menerima metode ijtihad yang telah ditetapkan oleh para ahli ushul fiqh terdahulu, namun disana sini terdapat “modifikasi” atau lebih tepat lagi disebut kombinasi seperlunya. Ijma’ yang dibahas dalam ushul fiqh kelihatannya tidak dalam setiap periode diterima oleh Muhammadiyah. Muhammadiyah hanya menerima konsep Ijma’ yang terjadi dikalangan shahabat Nabi. Hal ini mengisyaratkan bahwa menurut Muhammadiyah, Ijma’ tidak mungkin terjadi lagi setelah masa shahabat. Pada masa shasabat dimungkinkan adanya ijma’, karena umat Islam masih sedikit jumlahnya.
c. Qiyas
Qiyas sebagai metode penetapan hukum pada dasarnya diterima oleh Muhammadiyah, dengan catatan tidak mengenai ibadah mahdah. Namun sebagian kelomok ada yang setuju dan ada juga yang tidak menghendaki adanya metode ini dalam pembentukan hukum di Muhammadiyah.
d. Istihsan
Dalam rumusan manhaj Majlis Tarjih dapat dipahami bahwa Muhammadiyah menerima metode istihsan. Dalam poin ke Sembilan manhaj tersebut dinyatakan, bahwa men-ta’lil, dalam arti menggali hikmah dan tujuan hukum, dapat digunakan untuk memahami kandungan dalil-dalil al-Qur’an dan Hadis. Kegiatan ini erat kaitannya dengan istihsan.
e. Istislah
Menurut Muhammadiyah, kemaslahatan umat merupakan sesuatu yang harus diwujudkan. Karena itu, dalam masalah-masalah yang berhubungan dengan mu’amalah peran akal cukup besar. Maslahah dalam Muhammadiyah tidak seperti halnya diungkapkan oleh al-Thufi yakni “maslahah harus didahulukan dari pada nash, dalam arti maslahah dapat men-takhshish nash”. Dengan demikian Muhammadiyah tetap mendahulukan dhahir nash daripada maslahah, ketika satu sama lain dianggap bertentangan. Pendapat ini juga dianut oleh kebanyakan ahli ushul fiqh.
f. Saddu al-dzari’at
Tujuan digunakannya metode ini adalah untuk menghindari ter-jadinya fitnah dan mafsadah. Jika diambil pengertian sebaliknya, maka tujuan digunakannya metode ini adalah untuk kemaslahatan manusia.
Adapun jalur yang ditempuh Muhammadiyah dalam berijtihad ada tiga jalur, yaitu :
a. Al-Ijtihad al-Bayani, yakni menjelaskan hukum yang kasusnya telah terdapat dalam nash al-Qur’an dan Hadis.
b. Al-Ijtihad al-Qiyasi, yakni menyelesaikan kasus baru, dengan cara menganalogikannya dengan kasus yang hukumnya telah diatur dalam al-Qur’an dan Hadis.
c. Al-Ijtihad al-Istishlahi, yakni menjelaskan beberapa kasus baru yang tidak terdapat dari kedua sumber hukum diatas, dengan cara menggunakan penalaran yang didasarkan atas kemaslahatan.
0 komentar:
Posting Komentar