BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Ilmu dan teknologi, khususnya dalam kedokteran, lahir lahir dan berkembang didorong oleh kebutuhan manusia agar dapat mempertahankan aksistensi dan memenuhi kebutuhan hidupnya.dikembangkanya ilmu dan teknologi oleh manusia sebagai alat agar manusia dapat menjalankan misinya diatas bumi. Manusia sekurang-kurangnya mengemban 4 (empat) misi, yaitu: pengabdian, kekhalifahan, kerisalahan dan ikhsanisasi.
Fungsi pengabdian, disamping berdimensi transdental juga harus tercermin pada dimensi horizontal, yaitu pengabdian kepada sesama manusia dalam bentuk amal saleh. Fungsi kekhalifahan yaitu sebagai wakil Allah mengelola dan mengatur dunia agar tercapai kehidupan yang harmonis dan sejahtera. Fungsi kerisalahan yaitu menyampaikan Islam sebagai ajaran dan pedoman hidup manusia untuk mencapai keselamatan dan kebahagiaan.
Manusia diciptakan Allah sebagai mahluk yang paling baik strukturnya, paling mulia, melebihi mahluk lain. Jadi manusia mempunyai potensi yang paling unggul, termulia apabila dibandingkan dengan mahluk-mahluk ciptaan allah yang lain. Aktualisasi dari potensi-potensi yang dimiliki manusia tersebut merupakan fungsi kodrati yang disebut fungsi ihsanisasi, termasuk dalam bidang ilmu dan teknologi kedokteran.
Disamping itu, secara sosiologis, masyarakat telah lazim melakukan donor darah untuk kepentingan pelaksanaan transfusi, baik secara sukarela maupun dengan menjual kepada yang membutuhkannya. Keadaan ini perlu ditentukan status hukumnya atas dasar kajian ilmiah.
Masalah transfusi darah adalah masalah baru dalam hukum Islam, karena tidak ditemukan hukumnya dalam fiqh pada masa-masa pembentukan hukum Islam. Al-Qur’an dan Hadits pun sebagai sumber hukum Islam, tidak menyebutkan hukumnya, sehingga pantaslah hal ini disebut sebagai masalah ijtihadi, karena untuk mengetahui hukumnya diperlukan metode-metode istinbath atau melalui penalaran terhadap prinsip-prinsip umum agama Islam.
sebenarnya, transfusi (pemindahan) darah telah dilakukan oleh para ahli bidang kedokteran sejak ratusan tahun yang lalu, tepatnya pada abad ke-18. pada masa itu pengetahuan tentang sirkulasi darah yang dirintis oleh William harvey masih belum memuaskan. dalam kondisi seperti itu pada umumnya transfusi darah mengalami kegagalan dan banyak mendatangkan kecelakaan bagi manusia. namun para ahli tidak henti-hentinya melakukan percobaan sampai pada suatu saat Dr. Karl Landsteiner pada tahun 1900 telah menemukan golongan-golongan darah dan transfusi darah tidak merupakan pekerjaan yang berbahaya, tetapi sebaliknya menolong jiwa manusia dari ancaman kematian disebabkan kehilangan darah.
Disini kelompok kami akan membahas berbagai masalah tentang Hukum Transfusi dan menjual darah, yang mencakup:
1. Apa hukum transfusi darah dan bagaimanakah hubungan antara resipien dan donor darah dari segi syariah?
2. Bolehkah seseorang menjual darahnya, dan bagaimana status hukum imbalan ataupun penghargaan materi yang diterima oleh donor?
3. Bila seorang pasien membutuhkan darah, maka PMI menjualnya melalui Rumah Sakit kepada pasien tersebut, bolehkah hal ini secara syariah?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Hukum Transfusi Darah
Al-qur’an merupakan sumber hukum yang hidup dan dapat menampung segala perkembangan masa, karena Al-Qur’an tidak meninggalkan suatu tindakan baik tanpa menganjurkannya, suatu hukum masyarakat tanpa menjelaskannya.
Allah menjelaskan kepada manusia tentang hukum darah, yaitu haram memakan maupun memanfaatkannya, sebagaimana yang terdapat dalam surat al-Maidah ayat 3:
•
Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, daging hewan yang disembelih atas nama selain Allah……
Ayat diatas pada dasarnya melarang memakan maupun mempergunakan darah, baik secara langsung maupun tidak.
Akan tetapi apabila darah merupakan satu-satunya jalan untuk menyelamatkan jiwa seseorang yang kehabisan darah, maka mempergunakan darah dibolehkan dengan jalan transfusi. Sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Maidah ayat 32:
••
Dan barangsiapa yang memlihara kehidupan seorang manusia, maka ia seolah-olah memelihara kehidupan semua manusia.
Yang demikian itu sesuai pula dengan tujuan syariat Islam, yaitu bahwa sesungguhnya syariat Islam itu baik dan dasarnya ialah hikmah dan kemaslahatan bagi umat manusia, baik di dunia maupun di akhirat.
Oleh sebab itu setiap orang yang memahami syariat Islam akan melihat bagaimana prinsip-prinsip kemaslahatan itu menduduki tempat yang menonjol dalam syariat Islam. Karena semua hukum dalam Al-Qur’an didasarkan atas kemaslahatan bagi umat manusia. Hal ini sangat dibutuhkan untuk menolong seseorang yang dalam keadaan darurat, sebagaimana kaedah fiqhiyyah:
.خا صة او نت كا عامة الضرورة منزلة تنزل الحاجة
“Al-hajaatu tanzilu manzilata adh-dharuuroti ‘aamatan kaanat au khaashshatan”
Al-Hajat (sesuatu yang diperlukan) menempati tempat darurat baik secara umum maupun secara khusus.
الحاجة الضرورةولاكراهةمع مع حرام لا
“Laa haraama ma’a adh-dharuurati walaa karaahata ma’a al-haajati”
Tidak ada keharaman dalam darurat, tidak ada kemakruhan dalam hajat.
Kedua kaidah tersebut menjelaskan bahwa Agama Islam membolehkan hal-hal yang haram bila berhadapan dengan hajat manusia dan darurat. Dengan demikian transfusi darah untuk menyelamatkan seorang pasien dibolehkan karena hajat dan keadaan darurat.
Namun demikian, kebolehan mempergunakan darah dalam transfusi tidak dapat dipakai sebagai alasan untuk mempergunakannya kepada yang lain, kecuali apabila ada dalil yang menunjukkan kebolehannya. Hukum Islam melarang hal yang demikian, karena dalam hal ini darah hanya dibutuhkan untuk ditransfer kepada pasien yang membutuhkannya saja, sesuai dengan kaidah Fiqhiyyah:
تعزرها بقدر للضرورة بيح أ ما
“Maa ubiiha lidhdharuurati biqadri ta’azzurihaa”
Sesuatu yang dibolehkan karena darurat dibolehkan hanya sekedar menghilangkan kedaruratan itu.
Dengan ayat Al-Qur’an dan kaidah Fiqhiyyah yang sudah kami jelaskan bahwa Allah menghendaki kemudahan dan tidak menghendaki kesukaran dalam melaksanakan ajaran-ajaran Agama. Maka penyimpangan terhadap hukum-hukum yang telah ditetapkan oleh nash dalam keadaan terpaksa dapat dibenarkan, asal tidak melampui batas. Keadaan keterpaksaan dalam darurat tersebut bersifat sementara, tidak permanen. Ia hanya berlaku selama dalam keadaan darurat tersebut.
B. Hubungan Antara Donor dan Resipien (Penerima)
Adapun Hubungan antara donor dan resepien setelah terjadi transfusi darah, tidak membawa akibat hukum ada hubungan kemahraman (haram kawin), umpamanya dipandang sebagai saudara sepersusuan. Sebab, faktor-faktor yang dapat menyebabkan kemahramannya, sudah ditentukan dan ditetapkan oleh Agama Islam sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an, Allah berfirman:
• • •
Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, Saudara-saudara bapakmu yang perempuan; Saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang Telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang Telah terjadi pada masa lampau; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Q.S. An-Nisa’ (4): 23).
Dari ayat tersebut diatas dapat disimpulkan yang disebut Mahram karena adanya hubungan nasab. Misalnya hubungan antara anak dengan ibunya atau saudaranya sekandung, dsb, karena adanya hubungan perkawinan misalnya hubungan antara seorang dengan mertuanya atau anak tiri dan istrinya yang telah disetubuhi dan sebagainya, dan mahram karena adanya hubungan persusuan, misalnya hubungan antara seorang dengan wanita yang pernah menyusuinya atau dengan orang yang sesusuan dan sebagainya.
Dengan demikian jelas, bahwa transfusi darah tidak mengakibatkan hubungan kemahraman antara donor darah dengan resipien (penerima). Karena itu jika si donor dan resipien ingin mengadakan hubungan perkawinan, maka tidak ada larangan dalam Agama Islam, bahkan berdasarkan mafhum mukhalafah surat an-Nisa’ tadi tidak ada larangan sama sekali.
C. Hukum Menjual Darah serta Hukum Menerima Imbalan Materi Setelah Donor
Jual-beli termasuk salah satu system ekonomi Islam. Dalam Islam, ekonomi lebih berorientasi kepada nilai-nilai logika, etika dan persaudaraan, yang kehadirannya secara keseluruhan hanyalah untuk mengabdi kepada Allah. Dengan demikian nilai-nilai tersebut dapat difungsionalkan pada tingkah laku ekonomi manusia khususnya dan peradaban umat manusia umumnya.
Dari uraian di atas, timbul pertanyaan bagaimana hukum menjual darah? Padahal sudah diketahui bahwa darah itu adalah najis? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, sebelumnya dikemukakan hadits Jabir yang diriwayatkan dalam kedua kitab sahih, Bukhari dan Muslim. Jabir berkata sebagai berikut yang artinya:
“Rasulullah S.A.W. bersabda, sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya mengharamkan memperjualbelikan khamr, bangkai, babi, dan berhala. (Lalu Rasul ditanya para sahabat), bagaimana (orang Yahudi) yang memanfaatkan minyak bangkai; mereka pergunakan untuk memperbaiki kapal dan mereka gunakan untuk menyalakan lampu? Rasul menjawab, semoga Allah melaknat orang Yahudi, diharamkan Minyak (lemak) bangkai bagi mereka, mereka memperjualbelikannya dan memakan (hasil) harganya.”
Hadits Jabir ini menjelaskan tentang larangan menjual najis; termasuk didalmnya menjual darah, karena darah juga termasuk najis sebagaimana yang dijelaskan oleh Al-Qur’an Surat al-Maidah ayat 3. Menurut hukum asalnya menjual barang najis adalah Haram. Namun yang disepakati oleh para Ulama hanyalah khamr atau arak dan daging babi. Sedangkan memperjualbelikan barang najis yang bermanfaat bagi manusia, seperti memperjualbelikan kotoran hewan untuk keperluan pupuk.
Menurut Mazhab Hanafi dan Dzahiri, Islam membolehkan jual beli barang najis yang ada manfaatnya seperti kotoran hewan. Maka secara analogi (qiyas) madzhab ini membolehkan jual beli darah manusia karena besar sekali manfaatnya untuk menolong jiwa sesama manusia, yang memerlukan transfusi darah.
Namun Imam Syafi’i mengharamkan jual beli benda najis termasuk darah . ayat Al-Qur’an menyatakan secara tegas bahwa darah termasuk benda yang diharamkan. Firman Allah dalam surat Al-Maidah ayat 3 yang artinya: “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai darah, daging babi (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah”. (QS. Al-Maidah ayat 3).
Benda yang diharamkan tidak boleh untuk dijual belikan. Berdasarkan Hadits Rasulullah SAW yang artinya: “Sesungguhnya Allah jika mengharamkan sesuatu, maka mengharamkan juga harganya”. (HR. Ahmad dan Abu Daud).
Memperhatikan dua silang pendapat diatas, maka jual beli darah adalah sesuatu yang tidak pantas dan tidak etis. Sebab jika hal ini diperbolehkan, maka darah dijadikan ajang bisnis oleh manusia. Berkaitan jual beli darah nampaknya sangat bertentangan dengan tujuan luhur dari donor darah, yaitu menyelamatkan jiwa manusia dari kebinasaan.
Apabila praktik transfusi darah itu memberikan imbalan sukarela kepada donor atau penghargaan apapun baik materi maupun non materi tanpa ikatan dan transaksi, maka hal itu diperbolehkan sebagai hadiah dan sekedar pengganti makanan ataupun minuman untuk membantu memulihkan tenaga. Ada baiknya bila pemerintah memikirkan dan merumuskan kebijakan dalam hal ini seperti memberikan sertifikat setiap donor yang dapat dipergunakannya sebagai kartu diskon atau servis ekstra dalam pelayanan kesehatan di Rumah Sakit bilamana orang yang berdonor darah memerlukan pelayanan kesehatan, atau bahkan mendapatkan pelayanan gratis bilamana ia memerlukan bantuan darah sehingga masyarakat akan rajin menyumbangkan darahnya sebagai bentuk tolong-menolong dan benar-benar menjadi tabungan darah baik untuk dirinya maupun orang lain sehingga terjalin hubungan yang simbiosis mutualis.
D. Pandangan Agama Islam
masalah donor darah adalah masalah yang bauntuk baru, dalam arti kata tidak ditemukan hukumnya pada masa pembentukan hukum islam, ataupun dalam Al-Qur’an maupun dalam Hadits, sebagaimana telah dijelaskan terdahulu. seiring dengan perkembangan zaman dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang pada akhirnya menimbulkan hal-hal yang baru, maka masalah seperti diatas bermunculan dimana-mana dan semuanya menuntut ada ketentuan hukumnya. untuk itu para ulama yang berkompeten berusaha merumuskanya dengan berpegang kepada prinsip-prinsip umum dari al-Qur’an dan Hadits. karena hal yang semacam ini merupakan masalah ijtihadiah, maka merupakan hal yang biasa, jika didalamnya terdapat perbedaan pendapat yang tidak sama antara yang satu dengan yang lainya dan tentu pada akhirnya akan melahirkan kesimpulan yang berbeda pula.
agama islam tidak melarang seorang muslimin atau muslimah menyumbangkan darahnya dengan tujuan kemanusiaan dan bukan komersial. darah itu dapat disambungkan secara langsung kepada yang memerlukanya, seperti untuk keluarga sendiri, atau diserahkan kepada Palang Merah Indonesia atau bank darah untuk disimpan dan sewaktu-waktu dapat digunakan untuk menolong kepada orang yang memerlukan, ataukah seagama atau tidak. demikian juga sebaliknya didonorpun tidak mempersoalkan tentang penggunaan darah tersebut. apabila hal ini dipersoalkan, maka akan mengalami kesukaran bagi pengelola (Palang Merah), karena penggunaan darah itu harus memperhatikan juga golongan darah yang menerimanya.
sebagai dasar hukum yang membolehkan donor darah ini dapat dilihat dalam kaidah hukum islam berikut:
“bahwa pada prinsipnya segala sesuatu itu boleh (mubah), kecuali ada dalil yang mengharamkanya”.
berdasarkan kaidah tersebut diatas, maka hukum donor darah itu dibolehkan, karena tidak ada dalil yang melarangnya, baik al-Qur’an maupun Hadits. namun demikian tidak berarti, kebolehan itu dapat dilakukan tanpa syarat, bebas begitu saja. sebab bisa saja terjadi, bahwa sesuatu yang pada awalnya diperbolehkan, tetapi karena hal-hal yang dapat membahayakan resipien, maka pada akhinya menjadi terlarang. umpamanya saja, donor dalam keadaan berpenyakit menular seperti AIDS dan penyakit penyakit lainya (yang dapat menular via darah), maka tranfusi darah menjadi terlarang. oleh sebab itu, sebelum para donor memberikan darahnya, harus diperiksa lebih dahulu (bagi yang diduga ada penyakitnya).
Menjual belikan darah baik secara langsung maupun melalui rumah sakit dapat dihindarkan karena sebenarnya transfusi darah terlaksana berkat kerjasama sosial yang murni subsidi silang melalui koordinasi pemerintah dan bukan menjadi objek komersial sebagaiman dilarang Syariat Islam dan bertentangan dengan perikemanusiaan, sehingga setiap individu tanpa dibatasi status ekonomi dan sosialnya berkesempatan untuk mendapatkan bantuan darah setiap saat bilamana membutuhkannya sebab di sini harus berlaku hukum barang siapa menamam kebaikan maka ia berhak mengetam pahala dan ganjaran kebaikannya.
Imam Abu Hanifah dan Zahiri membolehkan menjual-belikan benda najis yang ada manfaatnya, seperti kotoran hewan seperti serbuk. Secara analogis mazhab ini membolehkan jual beli darah karena besar manfaatnya bagi manusia untuk keperluan transfusi darah untuk keperluan operasi dan sebagainya. Namun Imam Syafi’i mengharamkan jual beli benda najis termasuk darah . ayat Al-Qur’an menyatakan secara tegas bahwa darah termasuk benda yang diharamkan. Firman Allah dalam surat Al-Maidah ayat 3 yang artinya: “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai darah, daging babi (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah”. (QS. Al-Maidah ayat 3).
Benda yang diharamkan tidak boleh untuk dijual belikan. Berdasarkan Hadits Rasulullah SAW yang artinya: “Sesungguhnya Allah jika mengharamkan sesuatu, maka mengharamkan juga harganya”. (HR. Ahmad dan Abu Daud).
Memperhatikan dua silang pendapat diatas, maka jual beli darah adalah sesuatu yang tidak pantas dan tidak etis. Sebab jika hal ini diperbolehkan, maka darah dijadikan ajang bisnis oleh manusia. Berkaitan jual beli darah nampaknya sangat bertentangan dengan tujuan luhur dari donor darah, yaitu menyelamatkan jiwa manusia dari kebinasaan.
Seharusnya PMI itu tidak boleh memperjual-belikan darah karena PMI itu mendapatkan darahnya dari orang yng ikhlas dan tidak membutuhkan berupa materi. Karena kalau darah itu diperjual-belikan berarti dia telah menyulitkan orang yang membutuhkan darah. Terutama dia menyulitkan orang yang tidak mampu untuk membayar sebuah darah karena darah itu mahal. Selain itu, PMI juga harus memberikan darah bagi orang yang membutuhkan dengan gratis atau percuma.
Kalau ditinjau dari segi hukum, maka diantara para ulama ada yang memperbolehkan jual beli darah, sebagaimana halnya jual beli barang najis yang ada manfaatnya, seperti kotoran hewan.dengan demikian secara analogis (Qiyas), diperbolehkan memperjualbelikan darah manusia dan memang besar manfaatnya untuk menolong jiwa manusia. Pendapat ini dianut oleh mazhab Hanafi dan Zhahiri.
Kalau dipikir dalam-dalam, maka Palang Merah Indonesia yang memperjualkanbelikan darah kepada rumah sakit itu kurang manusiawi, kalau tidak dikatakan tidak manusiawi, sebab penggunaan darah itu untuk menolong nyawa sipenderita (secara lahiriyah). Dalam keadaan yang semacam ini, seharusnya yang bicara nurani, bukan materi yang selalu menonjol. Berbeda halnya kalau uang dipunggut untuk sekedar biaya administrasi, karena darah itu memerlukan perawatan (pemeliharaan) yang baik sebelum dipergunakan.
E. Kesimpulan
Dalam masalah transfusi darah sebagai penemuan ilmu dan teknologi kedokteran, hukum Islam bukanlah hambatan. Hukum Islam cukup fleksibel, transfusi darah dibolehkan untuk menyelamtkan jiwa seseorang yang kehabisan darah. bahkan melaksanakan transfusi dalam keadaan demikian dianjurkan demi menjaga keselamatan jiwa. Jika pelaksanaannya didasarkan atas pengabdian kepada Allah, maka ia menjadi ibadat bagi pelaksananya. Kebolehan transfusi darah disini didasarkan kepada hajat dalam keadaan darurat, karena tidak ada jalan lain untuk menyelamatkan jiwa orang itu, kecuali dengan jalan transfusi.
Demikian pula hukumnya menjual darah untuk kepentingan pelaksanaan transfusi, Islam membolehkannya, asal penjualan itu terjangkau oleh orang yang membutuhkannya. Hal ini berguna untuk biaya memulihkan kekuatan dan kesehatan setelah darahnya didonorkan. Akan tetapi apabila penjualannya melampui batas kemampuan orang yang membutuhkan darah atau untuk tujuan komersial, jelas hukumnya haram, karena bertentangan dengan prinsip kemanusiaan dan memberi kemudharatan kepada orang lain.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an Al-Karim
Hasan, Ali, Muhammad,Masail Fiqhiyyah Al-Haditsah “Pada Masalah Kontemporer Hukum Islam”, cet. Pertama, Penerbit: PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996.
Syamsuddin, Pardi, Problematika Hukum Islam Kontemporer, cet. kedua, Penerbit: PT. Pustaka Firdaus, Jakarta, 1997.
http://ustadzridwan.com/hukum-donor-darah/
http://www.subkialbughury.com/2010/04/fiqih-kontemporer-transfusi-darah/
0 komentar:
Posting Komentar