PENYUSUNAN GUGATAN DALAM RUANG LINGKUP KEPERDATAAN
Gugatan didalam Hukum Perdata dibagi menjadi 2:
a. GUGATAN PERMOHONAN ATAU GUGATAN VOLUNTAIR
Dasar hukum pasal 2 dan penjelasan pasal 2 ayat 1 UU No. 14 Tahun 1970 sebagaimanan diubah dalam UU No. 35 Tahun 1999 menyatakan: Penyelesaian setiap perkara yang diajukan kepada badan-badan peradilan mengandung pengertian didalamnya penyelesaian masalah yang bersangkutan dengan yurisdiksi voluntair;
CIRI-CIRI:
Masalah yang diajukan bersifat kepentingan sepihak
Permasalahan yang dimohon penyesuaian kepada pengadilan negeri pada prinsipnya tanpa sengketa dan tanpa pihak lain
Tidak ada pihak lain atau pihak ke yang ditarik sebagai lawan tetapi bersifat ex-parte
Produknya penetapan
Contoh pengangkatan anak dan permohonan isbat nikah
b. GUGATAN KONTENTIOSA
Dasar hukum pasal 2 dan penjelasan pasal 2 ayat 1 UU No. 14 Tahun 1970 sebagaimanan diubah dalam UU No. 35 Tahun 1999 dan sekarang diatu dalam Pasal 16 ayat 1 UU No. 4 Tahun 2004 sebagi pengganti UU No. 14 Tahun 1970, Pasal 118 (1) HIR, Pasal 119 HIR, Pasal 120 HIR, Pasal 1 RV. Gugatan Contentiosa adalah Gugatan yang mengandung sengketa diantara dua pihak atau lebih.
CIRI GUGATAN:
Pihaknya Penggugat dan tergugat
Permasalahan yang diajukan ke Pengadilan mengandung sengketa
Sengketa terjadi diantara minimal 2 pihak
Bersifat parte dengan komposisi pihak tergugat dan tergugat
Produknya merupakan Putusan
Contoh PMH, Wanprestasi, Warisan
ISI GUGATAN
Dalam HIR tidak ada tapi dalam RV tercantum dalam pasal 8
Isi gugatan memuat:
Identitas para pihak (formiil dan material) nama dan alamat
Posita (Fundamentum Petendi)
Merupakan rangkaian peristiwa yang menjadi dasar diajukannya gugatan
Petitum
Merupakan tuntutan hak yang dimintakan dalam pengajuan gugatan;
WEWENANG MENGADILI:
1. KOMPETENSI ABSOLUT
Yaitu wewenang yang didasarkan kepada pembatasan yuridiksi badan-badan peradilan. Badan peradilan yang ada di Indonesia yaitu:
• Peradilan Umum
• Peradilan Agama
• Peradilan Militer
• Peradilan Tata Usaha Negara
2. KOMPETENSI RELATIF
Yaitu kekuasaan pengadilan yang satu jenis dan satu tingkatn, dalam perbedaannya dengan kekuasaan pengadilan yang sama jenis dan sama tingkatan lainnya. Contoh: Pengadilan Negeri Yogyakarta, Pengadilan Negeri Sleman, Pengadilan Negeri Semarang,dll.
DALAM PASAL 118 HIR, DISEBUTKAN TENTANG DIMANA GUGATAN DI AJUKAN:
1) Dimana Tergugat bertempat tinggal;
2) Memilih salah satu tempat tinggal jika Tergugat banyak;
3) Dimana Obyek sengketa berada, jika obyek gugatan adalah tentang obyek sengketa;
4) Domisili pilihan (melalui Pengadilan Negeri atau Arbitrase yang telah disepakati oleh para pihak);
TATA CARA MEMASUKKAN GUGATAN:
• Gugatan diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan;
• Jumlah eksemplar didaftarkan bersama surat kuasa;
• Membayar panjar / voorskot pada Bank yang ditunjuk, kemudian Gugatan akan diberi Register Perkara;
• Gugatan akan diajukan oleh Panitera kepada Ketua Pengadilan Negeri menunjuk dan menetapkan Majelis Hakim yang akan mengadili;
• Hakim menetapkan hari persidangan;
DALAM HUKUM PERDATA, DASAR SESEORANG MENGAJUKAN GUGATAN ADALAH:
a. WANPRESTASI
Dasar hukum Pasal 1239 KUHPerdata, yang menyatakan “Tiap-tiap perikatan untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu, apabila si berutang tidak memenuhi kewajibannya, mendapatkan penyelesaiannya dalam kewajiban memberikan penggantian biaya, rugi dan bunga.”
Bahwa berdarkan pasal tersebut, prestasi, yaitu yang dapat berupa:
- Menyerahkan suatu barang (penjual menyerahkan barangnya kepada pembeli dan pembeli menyerahkan uangnya kepada penjual).
- Berbuat sesuatu (karyawan melaksanakan pekerjaan dan perusahaan membayar upahnya).
- Tidak berbuat sesuatu (karyawan tidak bekerja di tempat lain selain di perusahaan tempatnya sekarang bekerja).
- Tidak melaksanakan apa yang disanggupi akan dilakukannya.
- Melaksanakan apa yang dijanjikan, tetapi tidak sesuasi dengan janjinya.
- Melaksanakan apa yang dijanjikannya tapi terlambat.
- Melakukan suatu perbuatan yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.
Bentuk prestasi yang berupa “tidak berbuat sesuatu” mudah sekali ditentukan waktu terjadinya wanprestasi, yaitu pada saat debitur melaksanakan suatu perbuatan yang tidak diperbolehkan itu.
Jika dalam perjanjian tidak disebutkan kapan suatu hak dan kewajiban harus dilaksanakan, maka kesulitan menentukan waktu terjadinya wanprestasi akan ditemukan dalam bentuk prestasi “menyerahkan barang” atau “melaksanan suatu perbuatan”. Untuk keadaan semacam ini, menurut hukum perdata, penentuan wanprestasi didasarkan pada surat peringatan dari debitur kepada kreditur – yang biasanya dalam bentuk somasi (teguran). Dalam peringatan itu kreditur meminta kepada debitur agar melaksanakan kewajibannya pada suatu waktu tertentu yang telah ditentukan oleh kreditur sendiri dalam surat peringatannya. Dengan lewatnya jangka waktu seperti yang dimaksud dalam surat peringatan, sementara debitur belum melakasanakan kewajibannya, maka pada saat itulah dapat dikatakan telah terjadi wanprestasi.
Debitur yang wanprestasi kepadanya dapat dijatuhkan sanksi, yaitu berupa membayar kerugian yang dialami kreditur, pembatalan perjanjian, peralihan resiko, dan membayar biaya perkara bila sampai diperkarakan secara hukum di pengadilan.
b. PERBUATAN MELAWAN HUKUM
Dasar hukum Pasal 1365 KUHPerdata, yang menyatakan “Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugiaan kepada seorang lain, mewajibkan oran yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian itu.”
Ketentuan pasal 1365 KUHPerdata mengatur pertanggung-jawaban yang diakibatkan oleh adanya perbuatan melawan hukum baik karena berbuat (positip=culpa in commitendo) atau karena tidak berbuat (pasif=culpa in ommitendo). Sedangkan pasal 1366 KUHPerdata lebih mengarah pada tuntutan pertanggung-jawaban yang diakibatkan oleh kesalahan karena kelalaian (onrechtmatigenalaten).
Unsur-Unsur Perbuatan Melawan Hukum
1. Adanya suatu perbuatan.
Suatu perbuatan melawan hukum diawali oleh suatu perbuatan dari si pelakunya. Perbuatan disini meliputi perbuatan aktif (berbuat sesuatu) maupun pasif (tidak berbuat sesuatu), padahal secara hukum orang tersebut diwajibkan untuk patuh terhadap perintah undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan (public order and morals).
2. Perbuatan tersebut melawan hukum.
Manakala pelaku tidak melaksanakan apa yang diwajibkan oleh undang-undang, ketertiban umum dan atau kesusilaan, maka perbuatan pelaku dalam hal ini dianggap telah melanggar hukum, sehingga mempunyai konsekwensi tersendiri yang dapat dituntut oleh pihak lain yang merasa dirugikan.
3. Adanya kerugian bagi korban.
Yang dimaksud dengan kerugian, terdiri dari kerugian materil dan kerugian immateril. Akibat suatu perbuatan melawan hukum harus timbul adanya kerugian di pihak korban, sehingga membuktikan adanya suatu perbuatan yang melanggar hukum secara luas.
4. Adanya hubungan kausal antara perbuatan dengan kerugian.
Hubungan kausal merupakan salah satu ciri pokok dari adanya suatu perbuatan melawan hukum. Perbuatan melawan hukum dalam hal ini harus dilihat secara materiil. Dikatakan materiil karena sifat perbuatan melawan hukum dalam hal ini haru dilihat sebagai suatu kesatuan tentang akbat yang ditimbulkan olehnya terhadap diri pihak korban. Untuk hubungan sebab akibat ada2 (dua) macam teori, yaitu teori hubungan faktual dan teori penyebab kira-kira. Hubungan sebab akibat (causation in fact) hanyalah merupakan masalah fakta atau apa yang secara faktual telah terjadi. Sedangkan teori penyebab kira-kira adalah lebih menekankan pada apa yang menyebabkan timbulnya kerugian terhadap korban, apakah perbuatan pelaku atau perbuatan lain yang justru bukan dikarenakan bukan suatu perbuatan melawan hukum. Namun dengan adanya suatu kerugian, maka yang perlu dibuktikan adalah hubungan antara perbuatan melawan hukum dengan kerugian yang ditimbulkan.
0 komentar:
Posting Komentar